Pengertian Fasakh Nikah

SUDUT HUKUM | Fasakh artinya putus atau batal. Menurut bahasa kata “fasakh” berasal dari bahasa arab yang berarti batal atau rusak.

Sedang menurut istilah dapat diartikan sebagai berikut:
  • Menurut DR. Ahmad Al Ghundur

Fasakh adalah batal akad (pernikahan) dan hilangnya keadaan yang menguatkan kepadanya”.
  • Menurut Muhammad Husain Az- Zihabi

Fasakh adalah akad batalnya (nikah) secara spontan.
  • Menurut Sayyid Sabiq

Memfasakh adalah membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara kami suami isteri.
  • Menurut Prof. K.H. Hasbullah Bakry SH.

Fasakh adalah perceraian yang diselenggarakan oleh hakim berdasarkan atas sebab-sebab yang telah ditetapkan oleh syari’ah salah satu suami/isteri sakit gila, sopak (belang), sakit kusta (lepro). Suami innin (tidak kuasa bersetubuh) suami miskin, tidak kuasa memberi makan, pakaian atau tempat kediaman kepada isterinya (seperti telah ditetapkan pada syari’ah) fasakh dapat juga diminta apabila pernikahan sudah dijanjikan bahwa mempelai laki-laki atau mempelai wanita harus mempenuhi syarat-syarat tertentu, umpamanya tentang keturunan atau pekerjaan kemudian ternyata tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan itu.
  • Menurut Ensiklopedi Islam fasakh ialah pemutusan hubungan pernikahan oleh hakim atas permintaan suami atau isteri atau keduanya akibat timbulnya hal-hal yang dirasa berat oleh masing- masing atau salah satu pihak suami-isteri secara wajar dan tidak dapat mencapai tujuan pernikahan.


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fasakh nikah adalah suatu bentuk perceraian yang putus hakim karena adanya hal-hal yang dirasa berat oleh masing-masing atau salah satu pihak suami-isteri sehingga tujuan pernikahan tidak dapat terwujud.

Percerian dapat terjadi oleh berbagai faktor dalam suatu perkawinan. Perceraian merupakan realitas yang tidak dapat dihindari apabila kedua belah pihak telah mencoba untuk mencari penyelesaian dengan jalan damai yakni dengan jalan musyawarah, jika masih belum terdapat kesepakatan dan merasa tidak bisa melanjutkan keutuhan keluarga maka barulah kedua belah pihak bisa membawa permasalahan ini ke pengadilan untuk dicari jalan keluar yang terbaik.

Pengadilan merupakan upaya terakhir untuk mempersatukan kembali suami dan istri yang berniat bercerai tadi dengan jalan membuka lagi pintu perdamaian dengan cara musyawarah memakai penengah yakni hakim, untuk orang yang beragama Islam akan membawa permasalahan ini kepada Pengadilan Agama sementara untuk agama lainnya merujuk kepada Pengadilan Negeri tempat mereka tinggal. Secara umum alasan perceraian dalam masyarakat adalah sudah tidak ada lagi kecocokan di antara suami dan istri yang disebabkan oleh berbagai hal. Perceraian merupakan suatu perbuatan hukum yang tentunya akan membawa pula akibat-akibat hukum tertentu Untuk lebih jelasnya, akan penulis uraikan dengan bentuk-bentuk perceraian yang lain diantaranya:
  1. Perceraian karena kematian, yaitu jika salah seorang dari suami atau isteri meninggal dunia.
  2. Perceraian karena talak, yaitu lepasnya tali akad nikah dengan kata talak dan semacamnya.
  3. Perceraian karena khulu’, yaitu perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai iwad yang diberikan oleh isteri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan pernikahan, baik dengan kata khulu’, mubara’ah (pembebasan) maupun talak.
  4. Perceraian karena li’an, yaitu sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh isterinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima, disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.
  5. Perceraian karena ila’ yaitu sumpah seorang suami kepada isterinya untuk tidak mengumpulinya selama 4 bulan atau selama-lamanya.
  6. Perceraian karena zihar, yaitu ucapan seorang suami kepada isterinya “kamu seperti punggung ibuku”.
  7. Perceraian karena fasakh, yaitu batal dan lepasnya ikatan pernikahan antara suami isteri. Adakalanya disebabkan terjadinya kerusakan atau cacat pada akad nikah itu sendiri dan adakalanya disebabkan hal-hal yang datang kemudian yang menyebabkan akad pernikahan tersebut tidak dapat dilanjutkan.


Rujukan:

  • Ahmad Warson Munawir, Kamus Indonesia – Arab, Jakarta: Pustaka Progresif, 1996,
  • Ahmad Ghundur, At-Talaq Fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, Wa’al-Qonun, Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1967,
  • M.Husain Az-zihabi, Asy-syari’ah al-islamiyyah, Mesir: Dar at-Ta’lif, 1968,
  • Sayyid Sabiq, Fiqih As-Sunnah, jilid2, Beirut: Dar Al-Fikr, 1992,
  • Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN Pusat, Ilmu Fiqih, Jilid II, 1984/1985.
  • Taqiy Ad-Din Abi Bakr, Kifayah Al-Ahyar, Juz I, Indonesia: Dar. Ihya’ Al- Kutub Al- Arobiyyah, t-th.
  • Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Djambatan.t-th.
  • Depag RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Arda Utama, 1992/1993.