Pengertian Hak Ulayat

SUDUT HUKUM | Sebelum berlakunya UUPA, hukum pertanahan di Indonesia bersifat dualisme yaitu sebagai akibat politik pemerintahan Hindia Belanda, sehingga timbul berbagai kelembagaan hak atas tanah yang bersumber pada hukum barat dan hukum adat. Hak atas tanah yang bersumber pada hukum adat salah satunya adalah hak ulayat. Pada masa penjajahan, sistem hukum pertanahan yang dijalankan pemerintah, lebih berorientasi pada sistem hukum barat sehingga pada kenyataannya kepentingan golongan bumi putera (pribumi) yang memberlakukan hukum adat selalu dalam posisi yang lemah bahkan tidak menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi hak-hak rakyat atas tanah dan mengabaikan keberadaan masyarakat hukum adat termasuk hak ulayatnya atas tanah.
Hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya, yang disebut hak ulayat. Oleh Van Vollenhoven dalam Tolib setiady (2013:312), hak ulayat disebut sebagai beschikkingrescht”. Istilah ini dalam Bahasa Indonesia (juga dalam bahasa-bahasa daerah) merupakan suatu pengertian baru, dikarenakan dalam bahasa indonesia istilah yang dipergunakan itu lebih mengarah kepada pengertian sebagai “lingkungan kekuasaan”, sedangkan “beschikkingrescht” itu lebih mengarah kepada hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah itu sendiri.

Adapun istilah-istilah daerah yang mengandung pengertian lingkungan kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun “tanah yang merupakan wilayah yang dikuasai masyarakat hukum adat” antara lain yaitu; Patuanan (Ambon), Pawatasan (Kalimantan), Wewengkon (Jawa), Prabumian (Bali), Tatabuan (Bolaang Mongondow), Limpo (Sulawesi Selatan), Nuru (Buru), Ulayat (Minangkabau), Torluk (Angkola), Paer (Lombok), Golat (Batak), dan lain sebagainya.
Oleh berbagai pakar hukum adat, hak ulayat diartikan dalam berbagai perumusan, namun mempunyai berbagai persamaan pemahaman, meski istilah yang dipergunakanya berbeda-beda, tidak selalu dalam istilah hak ulayat. Beberapa pakar hukum adat yang mengemukakan pendapatnya tentang hak ulayat yakni Roestandi Ardiwilaga dalam Ida Nurlinda (2009:68), mengemukakan bahwa hak ulayat adalah hak dari persekutuan (masyarakat) hukum adat untuk menggunakan dengan bebas tanah tanah yang merupakan hutan belukar dalam lingkungan wilayahnya, guna kepentingan persekutuan hukum itu sendiri dan anggota anggotanya; juga untuk kepentingan orang-orang di luar persekutuan hukum itu dengan izin terlebih dahulu, dan membayar pengakuan/recognisi.
Imam Sudiyat (1981:2), menamakan hak ulayat dengan sebutan hak purba yaitu hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan/gens/stam), sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya. Berangkat dari pengertian tersebut, Imam sudiyat mengemukakan ciri-ciri hak ulayat sebagai berikut:
  • Hanya masyarakat hukum adat itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah ulayat yang merupakan bagian dari hak ulayat dalam wilayah kekuasaanya;
  • Orang dari luar persekutuan yang hendak menggunakan tanah ulayat tersebut harus mendapat izin terlebih dahulu dari persekutuan hukum yang ada;
  • Warga persekutuan hukum dapat mengambil manfaat dari tanah merupakan bagian dari hak ulayat untuk kepentingan pribadi dan keluarganya;
  • Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi dalam wilayah kekuasaanya;
  • Hak ulayat tidak boleh dilepaskan, dipindahtangankan, diasingkan untuk selamanya;
  • Hak ulayat meliputi juga hak-hak yang telah digarap oleh perseorangan.

Boedi Harsono (1999:185), mengartikan hak ulayat sebagai seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah dalam wilayahnya, yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa. Kewenangan dan kewajiban tersebut ada yang termasuk ke dalam bidang hukum perdata, yaitu yang berhubungan dengan hak bersama; dan ada yang termasuk ke dalam bidang hukum publik, yaitu berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur, dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaanya.

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh ketiga pakar hukum adat tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak ulayat merupakan hak yang spesifik dan khas, yang keberadaanya tidak dapat dipisahkan dari masyarakat hukum adat itu sendiri. Spesifik dan khas, karena meskipun hak ulayat tersebut merupakan hak suatu komunitas masyarakat hukum adat, tetapi tetap membuka peluang akan adanya pihak lain di luar komunitas tersebut, untuk memanfaatkan hak ulayat tersebut dengan berbagai persyaratan. Artinya meskipun hak ulayat itu eksklusif, tetapi tidak mengedepankan eksklusivitasnya (Maria Sumardjono, 2007:55).