Pengertian Statehood

SUDUT HUKUM | Para ahli hukum telah mengemukakan sejumlah definisi statehood. Sejak tahun 1918, Pasquale Fiore, serang ahli hukum dari Italia, telah mendefinisikan statehood dengan memberi penekanan pada kekuasaan politik dan hukum:

The State is an association of a considerable number of men living within a definite territory, constituted in fact as a political society and subject to the supreme authority of a sovereign, who has the power, ability and means to maintain the political organization of the association, with the assistance of the law, and to regulate and protect the rights of the members, to conduct relations with other states and to assume responsibility for its acts.


(Negara adalah sebuah asosiasi sejumlah besar orang yang hidup dalam suatu wilayah tertentu, yang dibentuk sebagai masyarakat politik dan tunduk pada otoritas tertinggi yang berdaulat, yang memiliki kekuatan, kemampuan dan sarana untuk mempertahankan organisasi politik asosiasi tersebut, dengan bantuan hukum, dan untuk mengatur dan melindungi hak-hak para anggota, untuk melakukan hubungan dengan negara-negara lain dan untuk memikul tanggung jawab atas tindakannya.)

Pada tahun 1930, Thomas Baty dalam bukunya yang berjudul Canons of International Law, mendefinisikan negara sebagai “kumpulan orang – orang yang terorganisir, yaitu, suatu himpunan manusia dimana kehendak milik beberapa dari mereka selalu menjadi apa yang berlaku.” Definisi ini memberi penekanan pada kedaulatan, yaitu kekuatan politik yang terorganisir atas wilayah dan penduduknya. Baty memberi definisi yang sedikit lebih jauh daripada beberapa ahli hukum lainnya dalam mendefinisikan karakter internal negara. Menurutnya, negara adalah suatu fungsi yang kompleks, yang unsur-unsurnya terdiri dari orang-orang, budaya dan tradisi, tanah yang mereka tinggali, dan organisasi mereka sebagai kesatuan yang utuh.”

Juga berbeda dari ahli – ahli lain, Hans Kelsen mencoba untuk mendefinisikan kenegaraan dari segi hukum. Menurutnya, negara bukanlah merupakan individu – individunya, melainkan serikat spesifik dari individu dan serikat ini adalah fungsi dari hukum yang mengatur perilaku bersama mereka. Salah satu hasil teori hukum murni adalah pengakuan bahwa peraturan koersif yang terdiri dari komunitas politik yang kita sebut negara adalah tatanan hukum . Apa yang biasanya disebut tatanan hukum negara, atau tatanan hukum yang didirikan oleh negara, adalah negara itu sendiri . Hukum dan negara biasanya dianggap dua entitas yang berbeda.

Tetapi jika diakui bahwa negara pada dasarnya suatu peraturan atas perilaku manusia dan bahwa karakteristik penting dari perautan dan paksaan ini adalah elemen penting dari hukum, maka pandangan dualisme tradisional tidak bisa lagi dipertahankan.

Formulasi Kelsen ini tidak menekankan kemerdekaan maupun kepemilikian wilayah sebagaimana definisi sebelumnya. Mengingat perkembangan masa depan, yang paling penting adalah merupakan unsur legalitas internasional. Meskipun negara – negara pada tahun 1930 telah menyatakan keraguan apakah suatu entitas adalah negara jika negara tersebut muncul melalui pelanggaran hukum internasional (misalnya , negara yang disponsori Jepang di Manchuria), Kelsen tidak menganggap pandangan ini sebagai sesuatu yang penting.

Sebenarnya, sangatlah menarik bahwa seorang ahli hukum yang memikirkan gagasan statehood sebagai tatanan hukum – suatu konsepsi yang progresif dibandingkan dengan yang hanya didasarkan pada efektivitas – tidak banyak mengembangkan gagasan bahwa statehood memerlukan legalitas internasional. Kelsen tetap menawarkan gagasan kenegaraan yang didirikan atas dasar kekuasaan.

Meskipun tampak menjanjikan, definisi Kelsen tentang negara sebagai sistem hukum tidak bertahan setelah Perang Dunia II. Hanya sedikit, kalaupun ada, penulis yang tidak mementingkan peran wilayah dan jumlah penduduk. Hersch Lauterpacht, misalnya, justru sangat menekankan faktor-faktor tersebut.

Gagasan Kelsen tentang legalitas dan kenegaraan akan tetap ditinjau kembali dalam dimensi baru yang ia sendiri tampaknya telah abaikan – dimensi internasional. Pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, Lauterpacht, meskipun tidak selantang ahli – ahli lain yang menegaskan legalitas internasional sebagai prasyarat untuk kenegaraan, mulai mengisyaratkan pandangan yang sesuai dengan krisis Rhodesia dari tahun 1960-an dan 1970-an, bahwa untuk membentuk kenegaraan, selain kontrol yang efektif, juga diperlukan kepatuhan terhadap standar hukum internasional minimum.

Dalam usaha untuk mendefinisikan statehood, masalah yang ada bukanlah tidak adanya sumber-sumber akademis. Ahli – ahli hukum memberikan begitu banyak pandangan tentang hal tersebut. Masalah yang ada, sesungguhnya, adalah kurangnya sumber – sumber hukum lain. Meskipun ada berbagai literatur yang membahas kenegaraan dan parameternya, sangatlah sedikit sumber otoritatif yang menawarkan definisi yang bisa diterapkan negara.