Saksi dan Alat Bukti Keterangan Saksi

SUDUT HUKUM | Dalam KUHP pengertian saksi diatur dalam Pasal 1 butir 26, Saksi adalah orang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan, peradilan suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan saksi sendiri diatur dalam Pasal pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Berdasarkan perumusan tersebut maka dalam keterangan saksi, hal yang harus diungkapkan didepan sidang pengadilan yaitu:
  • Yang ia dengar sendiri, bukan hasil cerita atau pendengaran dari orang lain. Saksi secara pribadi harus mendengar langsung peristiwa pidana yang kejadian yang terkait dengan peristiwa pidana tersebut.
  • Yang ia lihat sendiri, kejadian tersebut benar-benar disaksikan langsung dengan mata kepala sendiri oleh saksi baik secara keseluruhan atapun rentetan, fragmentasi peristiwa pidana yang diperiksa.
  • Yang ia alami sendiri sehubungan dengan perkara yang sedang diperiksa, biasanya merupakan korban dan menjadi saksi utama dari peristiwa pidana yang bersangkutan. Pasal 160 Ayat (1) huruf b menyatakan bahwa yang pertamakali didengar keterangannya adalah saksi korban.
  • Didukung oleh sumber hukum dan alasan dari pengetahuan itu, sehubungan dengan peristiwa, keadaan, kejadian yang didengar, dilihat dan atau dialaminya. Setiap unsur keterangan harus diuji kebenarannya. Antara keterangan saksi dan sumbernya harus benar-benar konsisten satu dengan yang lainnya.

Syarat sahnya alat bukti keterangan saksi


Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian keterangan saksi maka alat bukti keterangan ini sah apabila memenuhi dua kategori syarat:
  • Syarat Formil, yaitu:

  1. Pasal 160 ayat (3) menyebutkan: “Sebelum memberi keterangan saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing. Bahwa ia akan memberi keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya”. Sumpah atau janji ini wajib diucapkan setelah pemberian keterangan. Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (4) KUHP.
  2. Saksi harus sudah dewasa, hal ini terkait dengan Pasal 171 KUHP yang menyataan bahwa anak dibawah umur 15 tahun atau belum menikah, boleh saja memberikan kesaksian namun tidak boleh disumpah. Padahal pada pasal 160 ayat (3) KUHP mewajibkan adanya sumpah atau janji. Keterangan saksi dari seseorang yang tidak disumpah ini tidak punya kekuatan sebagai alat bukti sah. Maka batas kedewasaan menurut KUHP untuk memberikan kesaksian adalah umur 15 Tahun atau belum menikah.
  3. Saksi tidak sakit ingatan atau sakit jiwa sebagaimana disebutkan Pasal 171 butir b KUHP, mengingat mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana meski kadang-kadang ingatannya baik kembali. Jadi tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam member keterangan. Keterangan mereka hanya dapat dipakai sebagai petunjuk saja, sebagaimana juga berlaku bagi orang yang belum dewasa.

  • Syarat materil

Syarat materil mengacu pada Pasal 1 butir 27 KUHP dan Pasal 185 ayat (1) KUHP, YAITU:
  1. Setiap keterangan saksi diluar apa apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi diluar yang dilihat atau dialaminya, keterangan yang diberikan diluar pendengaran, penglihatan atau yang terjadi, tidak dapat dinilai dan dijadikan sebagai alat bukti.
  2. Testimonium de audite atau keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.
  3. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh hasil dari pemikiran bukan merupakan keterangan saksi. Pasal 185 ayat (5) KUHP36.

Selain syarat-syarat diatas, syarat lain yang harus dipenuhi sebagai syarat sahnya alat bukti adalah:
  1. Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan, agar dapat dinilai sebagai alat bukti sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 185 ayat (1) KUHP. Keterangan saksi tentang apa yang didengar, dilihat dan dialaminya sendiri tentang suatu peristiwa tertentu baru dapat bernilai sebagai alat bukti ketika dinyatakan didepan sidang pengadilan. Keterangan saksi diluar pengadilan tidak bernilai sebagai alat bukti. Dalam keadaan tertentu keterangan saksi dipenyidikan yang berupa berita acara pemeriksaan dapat digunakan juga sebagai alat bukti disidang pengadilan, jika saksi ketika member keterangan berada bawah sumpah (Pasal 116 ayat 1 KUHP), ketika ada dugaan saksi berhalangan menghadiri pemeriksaan disidang pengadilan.
  2. Saksi tidak sakit ingatan atau sakit jiwa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 171 butir b KUHP, mengingat mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana meski kadangkadang ingatannya baik kembali. Jadi tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberi keterangan. Keterangan mereka hanya dapat dipakai sebagai petunjuk saja, sebagaimana juga berlaku bagi orang yang belum dewasa.

Macam-macam saksi:

  • Saksi A Charge

Saksi yang diajukan oleh penuntut umum karena kesaksianya memberatkan terdakwa.
  • Saksi A De Charge

Saksi yang sifatnya meringankan terdakwa dan biasanya diajukan terdakwa atau penasihat hukumnya. Pasal 160 ayat (3) KUHP menegaskan dalam hal saksi yang memberatkan terdakwa atau yang meringankan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara atau diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama sidang berlangsung atau sebelum putusan dijatuhkan. Maka hakim wajib mendengarkan.
  • Saksi yang mengalami langsung suatu tindak pidana yang sedang diproses. Saksi menjadi korban dalam tindak pidana tersebut. Posisi korban ini sangat penting dalam sidang pengadilan, hal ini dinyatakan dalam Pasal 160 ayat 1 KUHP dimana yang mana didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi.
  • Saksi Pelapor

Saksi yang memberikan laporan tentang terjadinya tindak pidana. Pasal 1 butir 24 KUHP menyebutkan bahwa laporan adalah laporan pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang diduga akan terjadinya suatu peristiwa pidana. Pasal 108 menjelaskan lebih lanjut.