Ketentuan Pasal 102 tentang Batas Waktu Suami Mengingkari Anak dalam Kasus Li’an

SUDUT HUKUM | Dalam pernikahan apabila terjadi perselisihan dimana suami tidak mau mengakui anak yang dilahirkan istrinya maka solusi yang diberikan dalam hukum di Indonesia adalah dengan melakukan li’an. Hal ini diterangkan dalam KHI pasal 101 bahwa “Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedangkan istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an.”

KUH Perdata tidak mencantumkan kata li’an namun lebih menjelaskan pada pengingkaran anak yang dapat dilakukan oleh suami, pengingkaran anak yang dilakukan suami membawa hukum baru terhadap anak yang dilahirkan istri, meskipun anak tersebut lahir dari atau dalam perkawinan yang sah. Setelah suami mengingkari anak yang dilahirkan istri maka anak tersebut menjadi anak tidak sah, dimana ia tidak memiliki hubungan nasab dengan suami dari ibu yang melahirkannya.

Adapun prosedur pengingkaran anak yang dilakukan suami itu diatur dalam hukum Islam dan hukum positif. Dalam KUH Perdata pasal 252 “Dia dapat mengingkari keabsahan seorang anak, yang dilahirkan tiga ratus hari setelah putusan pisah meja dan ranjang memperoleh kekuatan hukum yang pasti, tanpa mengurangi hak istrinya untuk mengemukakan peristiwa-peristiwa yang cocok kiranya untuk menjadikan bukti bahwa suaminya adalah bapak anak itu. Bila pengingkaran itu dinyatakan telah sah, perdamaian antara suami istri itu tidak menyebabkan si anak memperoleh kedudukan sebagai anak sah.” Dalam pasal 256 KUH Perdata memberi batasan waktu mengingkari anak sebagai
berikut:
  1. Satu bulan jika ia tinggal di tempat kelahiran si anak atau sekitarnya.
  2. Dua bulan setelah pulang kembalinya, jika ia berada dalam keadaan tidak hadir.
  3. Dua bulan setelah tipu muslihat diketahuinya, jika kelahiran anak tersebut disembunyikan darinya.

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa Ulama Madzhab berbeda pendapat mengenai waktu mengingkari anak dalam kasus li’an. Malik mensyaratkan, suami harus mengingkari kandungan istrinya untuk dapat melakukan li’an.Syafi’i juga sependapat dengan Imam Malik dan berbeda dengan abu Hanifah yang mengatakan bahwa mengingkari anak dapat dilakukan ketika istri melahirkan.

Berbeda dari KHI yang menjelaskan tentang batas waktu suami melayangkan gugatan pengingkaran anak, pasal 102 menjelaskan bahwa:
  • Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudh putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada ditempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada pengadilan agama.
  • Pengingkaran sesudah masa lampau waktu tersebut tidak dapat diterima. Batasan 180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas minimal usia kandungan, demikian juga waktu 360 hari bukan menunjukan batas maksimal usia bayi dalam kandungan. Akan tetapi menjelaskan batas waktu mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama. Al- Qur’an member petunjuk yang jelas tentang masalah ini. Batas minimal usia bayi dalam kandungan adalah 6 bulan dihitung saat akad nikah dilangsungkan.


Ketentuan ini diambil dari firman Allah:

Mengandungnya sampai menyapihnya adalah 30 (tiga puluh) bulan (dua setengah tahun)”. (QS. al-Ahqaf,46:15)

Ibunya telah menyapihnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun”. (QS. Luqman, 31:14)

Kedua ayat itu oleh Ibn Abbas dan disetujui para ulama, ditafsirkan bahwa ayat pertama menunjukkan bahwa tenggang waktu mengandung dan menyapihnya setelah bayi disusukan secara sempurna membutuhkan waktu dua tahun atau dua puluh enpat bulan. Berarti, bayi membutuhkan waktu 30 bulan – 24 bulan = 6 bulan di dalam kandungan. Oleh sebab itu bayi kurang dari enam bulan tidak bisa dihubungkan kekerabatannya dengan bapaknya kendatipun dalam ikatan perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepadaa ibunya dan keluarga ibunya saja seperti diterangkan dalam KHI pasal 100.

Pasal 102 KHI tidak merinci batas minimal dan maksimal usia bayi dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sah tidaknya anak yang dilahirkan istri.36 KHI disebut juga sebagai fiqh Indonesia dimana ia menggabungkan seluruh pemikiran Imam Madzhab yang dianut di Indonesia dan melihat kondisi masyarakat Indonesia sebagai acuan dalam perumusan pasal-pasal dalam KHI. Pasal 102 lebih di arahkan pada waktu yang sama dengan kandungan yang dapat melahirkan anak sah yaitu masa hamil minimal 6 bulan dari akad dan masa hamil maksimal 360 hari.

Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa adanya perbedaan mengenai batas waktu suami mengingkari anak dalam kasus li’an, dimana KUH Perdata menyebutka bahwa pengingkaran anak dilakukan 300 hari sesudah sidang perceraian, KHI menyebutkan batas waktu mengajukan gugatan pengingkaran anak adalah 180 hari setelah anak lahir dan 360 hari setelah putusnya perceraian. Sedangkan menurut Imam Madzhab ada yang menyebutkan mengingkari anak harus dilakukan saat istri hamil dan ada juga Imam Madzhab yang menyebutkan bahwa pengingkaran anak harus menunggu anak itu lahir.