Konsep Umum Hukum Kepailitan di Indonesia

SUDUT HUKUM | Kepailitan di Indonesia pertama kali diatur dalam Verordening ter Invoering van de Faillissementsverordening atau Undang-Undang Kepailitan sebagaimana termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. Gejolak moneter pada pertengahan tahun 1997 menimbulkan kendala besar bagi perekonomian nasional Indonesia, ditambah lagi dengan munculnya kondisi dimana sejumlah pelaku usaha sebagai debitor tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada lembaga pembiayaan sebagai kreditor.

Keadaan ini sudah tidak relevan lagi apabila tetap beracuan pada Verordening ter Invoering van de Faillissementsverordening, sehingga pada tanggal 22 April 1998 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Mula-mula kepailitan untuk kasus pedagang (pengusaha) Indonesia diatur dalam Wetboek van Koophandel (W.v.K),

Buku Ketiga, yang berjudul Van de Voorzieningen in Geval van Onvermogen van Kooplieden (Peraturan tentang Ketidakmampuan Pedagang). Aslinya peraturan ini termuat dalam Pasal 749 sampai dengan Pasal 910 W.v.K, tetapi kemudian telah dicabut berdasarkan Pasal 2 Verordening ter Invoering van de Faillissementsverordening (S. 1906-348).

Sebagai upaya memahami terjadinya perubahan terhadap Verordening ter Invoering van de Faillissementsverordening hingga menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, perlu diketahui latar belakang mengapa perubahan tersebut dilakukan. Beberapa pertimbangan yang dikemukakan di bagian pertimbangan dari undang-undang kepailitan tersebut adalah sebagai berikut:
  • Gejolak moneter yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap kehidupan perekonomian nasional, dan menimbulkan kesulitan yang besar di kalangan dunia usaha untuk meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajiban kepada kreditor;
  • Untuk memberikan kesempatan kepada pihak kreditor dan perusahaan sebagai debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil, diperlukan sarana hukum yang dapat digunakan secara cepat, terbuka, dan efektif;
  • Salah satu sarana hukum yang menjadi landasan bagi penyelesaian utangpiutang adalah peraturan tentang kepailitan, termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang;
  • Peraturan tentang kepailitan yang masih berlaku, yaitu Verordening ter Invoering van de Faillissementsverordening atau Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348, memerlukan penyempurnaan dan penyesuaian dengan keadaan dan kebutuhan bagi penyelesaian utang-piutang tadi;
  • Untuk mengatasi gejolak moneter beserta akibatnya yang berat terhadap perekonomian saat ini, salah satu persoalan yang sangat mendesak dan memerlukan pemecahan adalah penyelesaian utang-piutang perusahaan, dan dengan demikian adanya peraturan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran yang dapat digunakan oleh debitor dan para kreditor secara cepat, terbuka dan efektif menjadi sangat perlu untuk segera diwujudkan;
  • Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka penyelesaian utang-piutang di atas, terwujudnya mekanisme penyelesaian sengketa secara adil, cepat, terbuka, dan efektif melalui suatu pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum yang dibentuk dan bertugas menangani, memeriksa, dan memutuskan berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan termasuk di bidang kepailitan dan penundaan pembayaran, juga sangat diperlukan dalam penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya;
  • Sehubungan dengan adanya kebutuhan yang sangat mendesak bagi penyelesaian masalah seperti tersebut di atas, dipandang perlu untuk secepatnya melakukan penyempurnaan terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang tentang Kepailitan (Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348) dan menetapkannya dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 bukan merupakan undang-undang kepailitan yang baru di Indonesia, melainkan hanyalah sekedar mengubah dan menambah Verordening ter Invoering van de Faillissementsverordening Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 Nomor 348.

Sebelum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan disahkan menjadi undang-undang, telah terjadi suatu perdebatan akibat perbedaan pendirian antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Alasan pemerintah untuk segera mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan adalah karena tenggang waktu yang ditetapkan dalam Letter of Intent15 yang telah ditandatangani antara International Monetary Fund16 dan pemerintah mengenai keharusan bagi Indonesia untuk segera mengundangkan undang-undang kepailitan telah terlampaui waktunya.

Sedangkan kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menginginkan agar materi yang diatur dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut untuk diubah, karena terdapat banyak hal yang tidak memadai pengaturannya. Sehingga pada akhirnya, jalan keluar sehubungan dengan perbedaan pendapat tersebut adalah disepakati bahwa pemerintah dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 15 Letter of intent merupakan suatu surat resmi penyampaian konfirmasi keseriusan dalam bisnis dan inti transaksi finansial yang akan dilakukan, serta sebagai pengantar bagi para pihak untuk bernegosiasi dan mencapai kesepakatan hingga ke Memorandum of Understanding dan persetujuan kontrak (contract agreement) dengan transaksi finansial di dalamnya, tanpa ada konsekuensi hukum apabila kesepakatan gagal dicapai selama negosiasi sebelum persetujuan kontrak ditandatangani.

Sesuai dengan kesepakatan tersebut, seharusnya paling lambat pada tanggal 9 September 1999 pemerintah sudah harus menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Kepailitan yang baru sebagai pengganti dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Namun akibat dari berbagai alasan dan hambatan, pemerintah baru berhasil menyelesaikan rancangan undang-undang tersebut setelah lewat dari waktu yang disepakati. Hingga akhirnya diundangkan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU setelah dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini17 (Undang-Undang Kepailitan dan PKPU).

Black’s Law Dictionary memberikan definisi dari pailit atau bankrupt sebagai berikut:

the state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”.

Berdasarkan definisi pailit yang dikemukakan dalam Black’s Law Dictionary tersebut, dapat dipahami bahwa pengertian pailit adalah suatu keadaan atau kondisi 17 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.

Hukum formal yang saat ini berlaku di Indonesia berkenaan dengan kepailitan antara lain sebagai berikut:
  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut KUHPerdata, khususnya Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1133, dan Pasal 1134;
  • Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; dan
  • Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut Undang-Undang Perseroan Terbatas, khususnya Pasal 104 dan Pasal 142.

Pasal 1131 KUHPerdata menentukan, harta kekayaan debitor bukan hanya untuk menjamin kewajiban melunasi utang kepada kreditor yang diperoleh dari perjanjian utang-piutang di antara mereka, tetapi untuk menjamin semua kewajiban yang timbul dari perikatan debitor.

Pasal 1132 KUHPerdata mengisyaratkan bahwa setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditor lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditor-kreditor lainnya.

Menurut Pasal 1133 KUHPerdata, seorang kreditor dapat diberikan kedudukan untuk didahulukan terhadap pada kreditor lain apabila tagihan kreditor yang bersangkutan merupakan:
  1. Tagihan yang berupa hak istimewa;
  2. Tagihan yang dijamin dengan hak gadai; dan
  3. Tagihan yang dijamin dengan hipotek.

Menurut Pasal 1134 KUHPerdata, jika tidak dengan tegas ditentukan lain oleh undang-undang, maka kreditor pemegang hak jaminan harus didahulukan daripada kreditor pemegang hak istimewa untuk memperoleh pelunasan dari hasil penjualan harta kekayaan debitor yang menurut Pasal 1131 KUHPerdata menjadi agunan atau jaminan bagi utang-utangnya.

Selain pengaturan tingkat prioritas dan urutan pelunasan masing-masing piutang para kreditor dalam KUHPerdata, perlu ada undang-undang lain yang mengatur tentang bagaimana cara membagi hasil penjualan harta kekayaan debitor untuk melunasi piutang-piutang masing-masing kreditor berdasarkan urutan tingkat prioritasnya, serta pengaturan mengenai siapa yang melakukan pembagian harta kekayaan debitor dan bagaimana cara melakukan pembagian tersebut. Undangundang tentang kepailitan yang pada saat ini berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Undang-Undang Perseroan Terbatas juga mengatur beberapa ketentuan mengenai kepailitan dalam Pasal 104 dan Pasal 142.