Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Saksi Buta Dalam Perkawinan

SUDUT HUKUM | Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa perkawinan adalah akad atau perjanjian untuk mengikat hubungan suami isteri dengan tujuan untuk bersenang-senang (istimta’ dan jima’).

Perkawinan akan mewujudkan ikatan yang menghalalkan hubungan suami isteri manakala dalam perkawinan tersebut sudah memenuhi rukun dan syaratnya. Mayoritas ulama‟ sepakat bahwa rukun nikah ada lima, yaitu; mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali, dua orang saksi dan ijab-qabul. Dalam setiap rukun tersebut terdapat persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Sesuai dengan fokus pembahasan penulis, yaitu pada syarat saksi. Saksi hendaknya memiliki sifat-sifat tertentu, yaitu:
  • Hendaknya memiliki kapabilitas untuk mengamban persaksian, telah baligh dan berakal.
  • Dengan kehadiran mereka hendaknya terwujud makna pengumuman pernikahan.
  • Hendaknya mampu menghargai pernikahan ketika menghadirinya.

Mengenai sifat al ahliyah yang disepakati dan disyaratkan dalam persaksian nikah adalah al ahliyah al kamilah (kapasitas sempurna), mampu mendengar ucapan para pihak yang melakukan akad dan memahaminya. Syarat-syarat saksi adalah sebagai berikut:
  1. Berakal, tidaklah sah orang gila bersaksi dalam acara akad nikah, karena tujuan persaksian tidak terwujud, yaitu mengumumkan dan menetapkan pernikahan di masa datang ketika ada pengingkaran.
  2. Baligh, tidaklah sah persaksian anak kecil sekalipun sudah mumayyiz (tamyiz), karena kehadiran anak kecil tidak merealisasikan tujuan persaksian, yaitu mengumumkan dan menghargai prosesi pernikahan. Kedua syarat di atas sudah disepakati oleh para ulama‟. Kedua syarat tersebut dapat dikumpulkan dalam satu syarat, yaitu saksi harus orang yang mukallaf (mampu dibebani hukum)
  3. Berbilang, syarat ini telah disepakati oleh para ulama‟. Akad nikah tidak akan terlaksana dengan satu orang saksi saja.
  4. Laki-laki, ini merupakan syarat menurut mayoritas ulama‟ selain hanafiyah. Hendaknya saksi nikah itu dua orang lakilaki, pernikahan tidak sah dengan satu orang saksi perempuan.
  5. Merdeka, ini merupakan syarat menurut mayoritas ulama‟ selain Hanbilah. Hendaknya kedua saksi tersebut adalah orang yang merdeka, karena pernikahan tidak sah dengan persaksian dua orang budak laki-laki, karena budak tidak mempunyai hak wali terhadap dirinya sendiri.
  6. Adil, istiqamah dan senantiasa mengikuti ajaran-ajaran agama, sekalipun hanya secara lahiriyah. Yaitu orang yang melakukan tindakan kefasikan secara sembunyi-sembunyi.
  7. Islam, syarat ini telah disepakati oleh seluruh ulama‟. Kedua saksi harus dipastikan seorang muslim, tidak cukup dengan saksi yang Islamnya belum jelas. Syarat ini diberlakukan apabila kedua mempelai sama-sama Islam.
  8. Dapat melihat, ini syarat menurut ulama‟ Syafi‟iyyah dalam pendapat yang paling benar, oleh karena itu kesaksian orang buta ttidak dapat diterima. Argumen yang diajukan adalah bahwa perkataan atau ucapan tidak dapat diterima kecuali dengan dilihat secara langsung dan mendengarkannya.
  9. Dapat mendengar para pihak yang melakukan akad dan memahaminya.
Salah satu syarat saksi yang masih menjadi perdebatan ulama‟ madzhab adalah tentang apakah saksi itu harus bisa melihat prosesi akad nikah atau saksi boleh dari orang buta, dalam arti saksi tidak bisa melihat atau menyaksikan secara langsung proses akad nikah. Perbedaan pendapat tersebut terjadi antara Imam Abu Hanifah dengan Imam al Syafi‟i. Akan tetapi penulis memfokuskan pembahasan pada pendapat Imam Abu Hanifah yang membolehkan persaksian yang dilakukan oleh orang buta dalam perkawinan.

Sifat-sifat saksi yang dapat menjadikan sah akad nikah menurut Imam Abu Hanifah adalah berakal, baligh, merdeka, Islam untuk pernikahan orang Islam, mendengar para pihak yang melakukan akad, berbilangan.

Kriteria-kriteria saksi di atas tidak menyebutkan saksi harus dapat melihat. Hal itu memberikan isyarat bahwa orang buta dapat bertindak atau diperbolehkan menjadi saksi dalam pernikahan. Sebagaimana dalam pernyataannya berikut ini:

Sebagaimana syarat-syarat saksi yang telah disebutkan sebelumnya, kemampuan saksi untuk melihat para pihak yang melakukan akad nikah tidak termasuk syarat. Oleh karena itu, akad nikah sah dengan dihadiri oleh saksi buta, karena alasan yang telah kami sebutkan dan bahwasanya orang buta tidak berpengaruh kecuali pada saat melakukan persaksian, karena sulit membedakan antara orang yang disaksikan (dua pihak yang melakukan akad). Ketahuilah, bahwa orang buta tidak tercela dalam bertindak sebagai wali nikah, tidak pula dalam qabul nikah untuk dirinya sendiri dan tidak dalam larangan untuk kebolehan menjadi saksi secara umum, maka orang buta termasuk orangorang yang tetap menjadikan sah nikah dengan kehadirannya.


Berdasarkan pernyataan di atas, permasalahan saksi buta disamakan dengan masalah perwalian dalam perkawinan, qabul nikah. Karena orang buta diperbolehkan menjadi wali dan atau melakukan qabul nikah untuk dirinya sendiri, maka orang buta juga diperbolehkan menjadi saksi dalam perkawinan. Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan:

Setiap orang yang layak atau sah menjadi wali dalam pernikahan dengan dirinya sendiri, maka dia patut untuk menjadi saksi.

Apabila tidak layak menjadi wali nikah, maka orang tersebut tidak layak menjadi saksi.

Setiap orang yang memiliki qabul nikah untuk dirinya sendiri maka akad nikah sah dengan kedatangannya, apabila tidak memiliki qabul nikah untuk dirinya, maka tidak sah menjadi saksi.

Berdasarkan penjelasan tentang saksi buta di atas, maka dapat dipahami bahwa masalah persaksian ini dimasukkan dalam kategori perwalian dan hak qabul. Ketika orang tersebut (orang buta) dapat bertindak sebagai wali dan bisa memiliki qabul nikah untuk dirinya sendiri maka dia dapat bertindak sebagai saksi dan pernikahan yang disaksikan oleh orang buta adalah sah hukumnya.