Ruang Lingkup Siyasah Dusturiyah

SUDUT HUKUM | Fiqh siyasah dusturiyah mencakup bidang kehidupan yang sangat luas dan kompleks. Keseluruhan persoalan tersebut, dan persoalan fiqh siayasah dusturiyah umumnya tidak lepas dari dua hal pokok: pertama, dalil-dalil kulliy, baik ayat-ayat Al-Quran maupun hadis, maqosidu syariah, dan semangat ajaran Islam di dalam mengatur masyarakat, yang akan tidak akan berubah bagaimanapun perubahan masyarakat. Karena dalil-dalil kulliy tersebut menjadi unsur dinamisator di dalam mengubah masyarakat. Kedua, aturan-aturan yang dapat berubah karena perubahan situasi dan kondisi, termasuk di dalamnya hasil ijtihad para ulama, meskipun tidak seluruhnya.

Fiqh siyasah dusturiyah dapat terbagi kepada:

  1. Bidang siyasah tasyri’iyah, termasuk dalam persolan ahlu hali wal aqdi, perwakilan persoaln rakyat. Hubungan muslimin dan non muslim di dalam satu negara, seperti Undang-Undang Dasar, Undang-undang, Peraturan Pelaksanaan, Peraturan daerah, dan sebagainya.
  2. Bidang siyasah tanfidiyah, termasuk di dalamnya persoalan imamah, persoalan bai’ah, wizarah, waliy al-ahadi, dan lain-lain
  3. Bidang siyasah qadlaiyah, termasuk di dalamnya masalah-masalah peradilan
  4. Bidang siyasah idariyah, termasuk di dalamnya masalah-masalah administratif dan kepegawaian.


Ulama-ulama terdahulu umumnya lebih banyak berbicara tentang pemerintahan dari pada negara, hal ini disebabkan antara lain oleh:

  • Perbedaan antara negara dan pemerintah, hanya mempunyai arti yang teoritis dan tidaak mempunyai arti yang praktis sebab setiap perbuatan negara di dalam kenyataanya adalah perbuatan pemerintah, bahkan lebih konkret lagi orang-orang yang diserahi tugas untuk menjalankan pemerintah. Sedangkan para fuqaha/ulama menitikberatkan perhatian dan penyelidikannya kepada hal-hal praktis.
  • Karena sangat eratnya hubungan antara pemerintah dan negara, negara tidak dapat berpisah dari pemerintah, demikian pula pemerintah hanya mungkin ada sebagai organisasi yang disusun dan digunakan sebagai alat negara.
  • Kalau fuqaha lebih tercurah perhatiannya kepada kepala negara (imam), karena yang konkret adalah orang-orang yang menjalankan pemerintahan, yang dalam hal ini dipimpin oleh kepala negara (imam).
  • Fakta sejarah Islam menunjukkan bahwa masalah yang pertama yang dipersoalkan oleh umat Islam setelah rasulullah wafat adalah masalah kepala negara, oleh karena itu logis sekali apabila para fuqaha memberikan perhatian yang khusus kepada masalah kepala negara dn pemerintahan ketimbang masalah kenegaraan lainnya.
  • Masalah timbul dan tenggelamnya suatu negara adalah lebih banyak mengenai timbul tenggelamnya pemerintahan daripada unsur-unsur negara yang lainnya.

Walapun demikian, ada juga di antara para fuqaha dan ulama Islam yang membicarakan pula bagian-bagian lainnya dari negara, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Mawardi, Al-Ghazali, Ibnu Rusydi, dan Ibnu Khaldun.

Apabila dipahami penggunaan kata dustur sama dengan constitution dalam Bahasa Iggris, atau Undang-undang Dasar dalam Bahasa Indonesia, kata-kata “dasar” dalam Bahasa Indonesia tidaklah mustahil berasal dari kata dustur. Sedangkan penggunaan istilah fiqh dusturi, merupakan untuk nama satu ilmu yang membahas masalah-masalah pemerintahan dalam arti luas, karena di dalam dustur itulah tercantum sekumpulan prinsip-prinsip pengaturan kekuasaan di dalam pemerintahan suatu negara, sebagai dustur dalam suatu negara sudah tentu suatu perundang-undangan dan aturan-aturan lainnya yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan dustur tersebut.

Sumber fiqh dusturi pertama adalah Al-Quran al-Karim yaitu ayat-ayat yang berhubungan dengan prinsip-prinsip kehidupan kemasyarakatan, dalil-dalil kulliy dan semnagat ajaran Al-Quran. Kemudian kedua adalah hadis-hadis yang berhubungan dengan imamah, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan Rasulullah SAW di dalam menerapkan hukum di negeri Arab. Ketiga, adalah kebijakan-kebijakan khulafa al-Rasyidin di dalam mengendalikan pemerintahan. Meskipun mereka mempunyai perbedaan dai dlam gaya pemerintahannya sesuai dengan pembawaan masing-masing, tetapi ada kesamaan alur kebijakan yaitu, berorientasi kepada sebesar-besarnya kepada kemaslahatan rakyat. Keempat, adalah hasil ijtihad para ulama, di dalam masalah fiqh dusturihassil ijtihad ulama sangat membantu dalam memahami semangat dan prinsip fiqh dusturi.

Dalam mencari mencapai kemaslahatan umat misalnya haruslah terjamin dan terpelihara dengan baik. Dan sumber kelima, adalah adat kebiasaan suatu bangsa yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Al-Quran dan hadis. Adat kebiasaan semacam ini tidak tertulis yang sering di istilahkan dengan konvensi. Dan ada pula dari adat kebiasaan itu diangkat menjadi suatu ketentuan yang tertulis, yang persyaratan adat untuk dapat diterima sebagai hukum yang harus di perhatikan.