Sistem Pembuktian dalam Perkara Tindak Pidana

SUDUT HUKUM | R. Subekti (1987: 7), berpendapat bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang diketemukan dalam suatu persengketaan. Di dalam mencapai kebenaran materiil tersebut tidak cukup hanya berdasarkan alat-alat bukti yang sah saja, melainkan juga harus berdasarkan pada keyakinan hakim. Sebab walaupun terdapat alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, tetapi apabila Hakim tidak mempunyai keyakinan bahwa terdakwa bersalah atas tindak pidana yang didakwakan Jaksa kepadanya, maka Hakim tetap akan menjatuhkan putusan bebas dari segala dakwaan.

Pada dasarnya dalam proses pembuktian dikenal adanya tiga sistem pembuktian, yaitu:
  1. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie).
  2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (negatief wettelijk).
  3. Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (laconviction raisonnee) (Andi Hamzah, 2008: 247).


Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie)

Menurut D. Simons dalam Andi Hamzah (2008: 247), mendefinisikan bahwa sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana.

Menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian. Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie).

Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu, artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheori).


Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (negatief wettelijk)

Menurut Andi Hamzah (2008: 250), HIR maupun KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang negatif (negatief wettelijk). Hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP, yang menyatakan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Untuk Indonesia, yang sekarang ternyata telah dipertahankan oleh KUHAP, Wirjono Prodjodikoro (Andi Hamzah, 2008: 253) berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.

Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (laconviction raisonnee)

Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu (laconviction raisonnee). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyaninan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturanperaturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu
motivasi.

Hukum Acara Pidana di Indonesia menganut sistem pembuktian negatif, dalam arti pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan perundang-undangan dan pada keyakinan hakim dan menurut undangundang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan perundangundangan. Hal ini didasarkan pada Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa dari dua alat bukti sah itu diperoleh keyakinan hakim.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa di dalam sistem pembuktian negatif menurut Undang-Undang ini ada hubungan yang erat antara keyakinan Hakim dan alat-alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang. Keyakinan Hakim dapat diperoleh atau ditimbulkan dari adanya alat-alat pembuktian yang sah, begitu juga sebaliknya alat-alat pembuktian tersebut harus dapat memberikan keyakinan pada Hakim. Misalnya, walaupun ada sejumlah saksi, maka Hakim dapat membebaskan terdakwa dari segala hukuman, sebab bukanlah hal yang tidak mungkin bahwa saksi-saksi tersebut adalah orang-orang yang dibayar untuk menjerumuskan terdakwa.

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam Andi Hamzah (2008: 253) bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.