Pengertian Tabarru

SUDUT HUKUM | Tabarru’ berasal dari kata tabarra’a-yatabarra’u-tabarru’an, artinya sumbangan, hibah, dan kabajikan, atau derma. Orang yang mamberi sumbangan disebut mutabarri’’dermawan’. Tabarru’ merupakan pemberian sukarela seseorang kepada orang lain, tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan berpindahnya kepemilikan harta itu dari pemberi kepada orang yang diberi.

Jumhur ulama mendefisinikan tabarru’ dengan“ akad yang mengakibatkan pemilikan harta, tanpa ganti rugi, yang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup kepada orang lain secara sukarela”. Niat tabarru’ „dana kebajikan’ dalam akad asuransi syariah adalah alternative uang yang sah yang dibenarkan oleh syara’ dalam melepaskan diri dari praktik gharar yang diharamkan oleh Allah SWT, kata tabarru’ tidak ditemukan. Akan tetapi, tabarru’ dalam arti dana kebajikan dari kata al-birr „kebajikan’ dapat ditemukan dalam Al-quran.

Bukanlah menghadapkan wajahmu kearah timur dan barat itu semua kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,malaikat-malaikat, kitab kitab, nabi-nabi, dan memberikan barang yang dicintainya kepada kerabatnya, anak yatim, anak-anak miskin, musafir (yang memperlukan pertolongan), dan orang yang meminta minta ,serta (memerdekakan) hamba sahaya”. (Al-Baqarah:177)


Dalam konteks akad dalam Asuransi Syariah, tabarru’ bermaksud memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas untuk saling membantu diantara sesame peserta takaful (Asuransi Syariah) apabila ada diantaranya yang mendapat musibah. Dana klaim yang diberikan diambil darirekening dana tabarru’ yang sudah diniatkan oleh semua peserta ketika akan menjadi peserta Asuransi Syariah, untuk kepentingan dana kebajikan atau dana tolong-menolong. Karena itu, dalam akad tabarru’ pihak yang member dengan ikhlas memberikan sesuatu tanpa ada keinginan untuk menerima apapun dari yang menerima, kecuali kebaikan dari AllahSWT.

Dalam akad tabarru’ “hibah”, peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan, perusahaan hanya bertindak sebagai pengelola.
Syaikh Husain Hamid Hisan menggambarkan “akad-akad tabarru’” sebagai cara yang di isyaratkan Islam untuk mewujudkan ta’awun dan tadhamun. Dalam akad tabarru’, orang yang menolong dan berdarma (mutabarri) tidak berniat mencari keuntungan dan tidak menuntut “pengganti” sebagian imbalan dari apa yang telah ia berikan. Karena itulah, akad-akad tabarru’ diperbolehkan.

Wahbah az-Zuhaili kemudian mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa asuransi „ta’awuni’ „tolong-menolong’ diperbolehkan dalam syariat Islam, karena hal itu termasuk akad tabarru’ dan sebagai bentuk tolong menolong dalam kebaikan. Pasalnya, setiap peserta membayar kepesertaanya (preminya) secara sukarela untuk meringankan dampak resiko dan memulihkan kerugian yang dialami salah satu peserta asuransi.