Putusan Pengadilan Agama

Putusan Pengadilan Agama

Peranan hakim sebagai aparat kekuasaan kehakiman Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, pada prinsipnya tidak lain daripada melaksanakan fungsi peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Dalam menjalankan fungsi peradilan ini, para hakim peradilan agama harus menyadari sepenuhnya bahwa tugas pokok hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam setiap putusan yang hendak dijatuhkan oleh hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara, perlu diperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Ketiga hal ini harus mendapat perhatian yang seimbang secara profesional, meskipun dalam praktik sangat sangat sulit untuk mewujudkannya. Hakim harus berusaha semaksimal mungkin agar setiap putusan yang dijatuhkan itu mengandung asas tersebut diatas. Jangan sampai ada putusan hakim yang justru menimbulkan keresahan dan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, terutama bagi pencari keadilan.

Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya, ia harus menyusun putusan dengan baik dan benar. Putusan itu harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, guna mengakhiri sengketa yang diperiksanya. Putusan hakim tersebut disusun apabila pemeriksaan sudah selesai dan pihak-pihak yang berperkara tidak lagi menyampaikan sesuatu hal kepada hakim yang memeriksa perkaranya. Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk putusan tertulis maupun lisan.

Setiap putusan pengadilan agama harus dibuat oleh haki dalam bentuk tulisan dan ditandatangani oleh hakim ketua dan hakim-hakim anggota yang ikut memeriksa perkara sesuai dengan penetapan majelis hakim yang dibuat oleh ketua pengadilan agama, serta ditandatangani pula oleh panitera pengganti yang ikut sidang sesuai penetapan panitera (Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970).

Apa yang diucapkan oleh hakim dalam sidang haruslah benar-benar sama dengan apa yang tertulis, dan apa yang dituliskan haruslah benar-benar sama dengan apa yang diucapkan dalam sidang pengadilan.

Putusan yang bersifat perdata, Pasal 178 ayat (2) HIR dan Pasal 189 ayat (2) RBg mewajibkan para hakim untuk mengadili semua tuntutan sebagaimana tersebut dalam surat gugatan. Haki dilarang menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut sebagaimana tersebut dalam Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189 ayat (3) R.Bg. kecuali apabila hal-hal yang tidak dituntut itu disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana tersebut dlaam Pasal 41c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintan Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam.