Tanggung Jawab Negara Terhadap Investasi Asing

Hubungan antar 2 negara bisa terjalin dalam bentuk apa saja, salah satu contohnya adalah investasi. Investasi di Indonesia berkembang sangat pesat seiring berjalannya waktu dan arus globalisasi yang terus meluas. Indonesia, sebagai salah satu negara yang cukup besar kekayaan alamnya menjadi salah satu sasaran empuk bagi para investor asing untuk menanamkan modal.

Dalam berinvestasi tak sedikit dari mereka yang langsung terun ke lapangan untuk mengawasi usahanya maka dari itu mereka perlu tempat tinggal meski itu rumah susun atau rumah tunggal. Indonesia melihat hal ini sebagai kebutuhan orang asing yang berinvestasi di Indonesia untuk menunjang investasi mereka, hal itu dibuktikan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 103 Tahun 2015.

Tanggung Jawab Negara Terhadap Investasi Asing


Kepemilikan hanya diberikan bagi orang asing yang sudah diberi izin tinggal di Indonesia. Peraturan pemerintah tersebut menyebutkan bahwa hak yang digunakan oleh orang asing adalah hak pakai. Meskipun hak yang dipakai adalah hak pakai, selama mereka masih berbisnis di Indonesiahak tersebut bisa diperpanjang tanpa ada kesulitan. Hunian juga bisa diwariskan kepada orang asing yang telah memiliki izin tinggal.

Namun jika masa izin tinggal sudah habis maka pemerintah memberikan satu tahun untuk melepaskan atau mengalihkannya pada pihak lain yang memenuhi syarat. Sudah jelas bahwa Indonesia sangat mendukung investasi asing tapi bagaimana jika perusahaan asing tersebut memberikan dampak buruk terhadap lingkungan Indonesia dan ‘tidak bertanggung jawab’ atas apa yang telah dilakukannya?

Dalam hal ini maka akan ada 2 kepentingan yang ingin dicapai yaitu kepentingan orang asing dan kepentingan negara teritorial. Dalam hal ini pastilah masyarakat merasa dirugikan apalagi jika berbicara soal pencemaran lingkungan.

Hal ini tidaklah mengada-ada, coba kita ingat kasus pencemaran lingkungan akibat limbah merkuri di Mimika oleh penambangan PT Freeport Indonesia di tahun 2004, kasus pencemaran lingkungan akibat limbah merkuri di Nangroe Aceh Darussalam oleh PT Exxon Mobil Oil Indonesia di tahun 2005, dan kasus pencemaran lingkungan Teluk Buyat oleh PT Newmont Minahasa Raya di tahun 2004.

Dalam hal ini, ada kepentingan 2 negara yang ingin dilindungi, negara ingin melindungi kekuatan hukum dari sisi teritorialnya sedangkan negara lain yang bersangkutan ingin melindungi warganya secara maksimal meskipun ia berada di luar negri. Hal ini terkadang menimbulkan konflik antarnegara. Konflik yang bisa terjadi terkait dengan properti adalah pengambilalihan harta benda asing secara tidak sah.

Negara asing pun mengharapkan adanya standar minimum internasional yang bisa diterapkan sebagai standar hukum dan perlindungan efektif hukum (penegakannya) agar warganya yang ada di luar negeri terlindungi. Di sisi lain, negara teritorial terutama negara berkembang ingin warga negara asing tunduk pada hukum nasional di negaranya dengan alasan WNA tersebut datang dan tinggal di teritorial lain maka ia harus menuruti hukum nasional yang berlaku dan disamakan kedudukannya dengan warga nasional lain.

Hal ini terus menjadi perdebatan antara pendukung standar perlakuan (hukum) internasional dan nasional.

Hal ini pun dibahas oleh Gracia Amador di Komisi Hukum Internasional tahun 1956 dan ia merumuskan bahwa WNA harus mendapatkan HAM sama porsinya dengan warga nasional, dan jika terjadi pelanggaran maka hukum internasional yang akan bertindak.

Indonesia sudah melaksanakan hal ini dengan memberi izin tinggal dan hak pakai dalam kepemilikan properti untuk investor asing sehingga mereka mendapat hak yang sama dengan masyarakat lokal tetapi tetap dengan persyaratan berbeda tanpa menyulitkan investor asing.

Dan jika Indonesia ingin menasionalisasikan perusahaan yang telah berbisnis dan mencemarkan lingkungan dengan tidak memperhatikan Amdal, maka acuannya adalah 2 Resolusi Majelis Umum yaitu GA Res 3201 dan GA Res 3281 (XX1X) Charter of Economic Rights and Duties yang merumuskan bahwa nasionalisasi adalah sah jika ada ganti rugi sesuai hukum nasional.

Dan persoalan ini diselesaikan dengan cara bilateral maupun multirateral yang berisi jaminan negara teritorial untuk tidak menasionalisasikan kepemilikan asing yang ada di wilayahnya. Sehingga Indonesia dapat dinyatakan sah menasionalisasikannya.

Dapat kita lihat di sini bahwa hubungan antara 2 negara atau lebih dalam berinvestasi tidak akan menimbulkan masalah jika keduanya sama-sama memperhatikan ketentuan yang berlaku dan bertanggung jawab atas apa yang dikelolanya di negara itu. Sehingga investasi tetap berjalan tanpa mengganggu hubungan baik antara 2 negara atau lebih yang bersangkutan.

/*Christine Cleine
Mahasiswi