Wasiat Wajibah

Menurut Ahmad Rafiq, wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakuka penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula. Terdapat dua unsur yang penting yang membedakan antara wasiat biasa dengan wasiat wajibah, yaitu:

  • Wasiat wajibah ditetapkan berdasarkan ketetapan hukum dan perundangundangan yang dibuat oleh penguasa atau hakim, sehingga pelaksanaannya berdasarkan ketetapan perundang-undangan atau aturan hukum dan tidak bergantung kepada ada atau tidaknya seseorang berwasiat semasa hidupnya. Oleh karena itu, ketentuan seperti ini berbeda dengan wasiat biasa, di mana pelaksanaannya sangat bergantung kepada kehendak si pewasiat. Batasan pengertian di atas juga menunjukkan bahwa wasiat wajibah sebenarnya tidak murni wasiat, dalam tata aturannya terdapat aspek-aspek yang sama dengan kewarisan, seperti tidak dibutuhkannya ijab dan qabul dari si pemberi wasiat dan si penerima wasiat. Disamping itu, wasiat wajibah berlaku secara terpaksa oleh peraturan perundang-undangan.
  • Wasiat ini diperuntukkan kepada saudara yang suatu halangan syarak (misalnya saudara yang beragama non-muslim) atau karena terdindingi oleh ahli waris yang lain, sehingga tidak berhak menerima warisan. Berbeda dengan wasiat biasa, di mana wasiat itu boleh diperuntukkan kepada orang lain yang bukan ahli waris atau bukan karib kerabat.
Wasiat Wajibah

Seiring berjalannya waktu, wasiat wajibah ini sendiri tidak hanya di peruntukkan untuk anak angkat dan/atau orang tua angkat saja, melainkan dapat juga diperuntukkan kepada ahli waris non-muslim. Seperti di dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 368.K/AG/1995, di mana di dalam putusan ini hakim memutuskan anak dari si pewaris yang meninggal dunia mendapatkan wasiat wajibah, dikarenakan anak dari si pewaris tersebut beragama non-muslim. Selain itu pada putusan Mahkmah Agung Republik Indonesia No. 51.K/AG/1999, di mana di dalam putusan ini hakim memutuskan ahli waris pengganti dari si pewaris yang mendapatkan wasiat wajibah, dikarenakan pula ahli waris pengganti dari si pewaris tersebut beragama non-muslim.

Kemudian di tahun 2010, Mahkamah Agung Republik Indonesia memberikan putusan yang menetapkan bahwa istri dari pewaris yang beragama non-muslim juga mendapatkan wasiat wajibah, dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 16.K/AG/2010. Sehingga dalil Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 180 dapat dipahami bahwa kewajiban berwasiat adalah dengan ketetapan agama yang harus dilaksanakan dan bukan dengan keputusan hakim, namun demikian Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama (pasal 2), dan dalam pasal 11 dinyatakan Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dalam bidang perkara tertentu berdasarkan asas personalitas ke Islaman.

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mempunyai ketentuan tersendiri tentang konsep wasiat wajibah ini, yaitu membatasi orang yang berhak menerima wasiat wajibah halnya kepada anak angkat dan orang tua angkat saja.24 Dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai Pasal 193.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, ahli waris yang berbeda agama tidak akan mendapatkan bagian warisan karena tidak termasuk sebagai ahli waris. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 disebutkan bahwa seseorang itu termasuk ahli waris apabila pada saat pewaris meninggal dunia ia dalam keadaan beragama Islam, memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris serta tidak terhalang secara hukum untuk memperoleh bagian warisan. Dengan mengacu pada ketentuan pasal 171 di atas, maka ahli waris yang terhalang tidak termasuk sebagai ahli waris dan oleh karena itu tidak akan memperoleh bagian warisan.

Wasiat wajibah ini mempunyai titik singgung secara langsung dengan hukum kewarisan Islam, maka pelaksanaannya diserahkan berdasarkan kebijakan hakim dalam menetapkannya dalam proses pemeriksaan perkara waris yang diajukan kepadanya.