Konsep Politik Hukum Pidana

SUDUT HUKUM | Politik hukum pidana (legal policy) adalah arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam konteks Indonesia tujuan dan sistem itu terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila yang melahirkan kaidah-kaidah hukum.

Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan politik hukum. Politik hukum terdiri atas rakngkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto, istilah politik dipakai dalam berbagai arti, yaitu:
  • Perkataan politiek dalam bahasa Belanda berarti sesuatu yang berhubungan dengan negara;
  • Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan negara.

Hubungan antara politik dan hukum bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variabel (variabel terpengaruh) dan politik sebagai independent variabel (variabel berpengaruh). Dapat dirumuskan politik hukum sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.

Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, politik hukum sangat penting, paling tidak, untuk dua hal Pertama, sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan ke dalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal. Dua hal ini penting karena keberadaan peratuan perundangundangan dan perumusan pasal merupakan jembatan antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan dari politik hukum tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan.

Politik hukum pidana terdapat dua dimensi. Dimensi pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundangundangan (kebijakan dasar atau basic policy) Dimensi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakukan suatu peraturan perundang-undangan (kebijakan pemberlakuan atau enactment policy). Suatu ketentuan, khususnya dalam bentuk undang-undang yang akan dibentuk selalu diletakkan lebih dulu politik hukumnya (legal policy) atas suatu pembentukan undang-undang, maka dalam hal ini menyangkut apakah perlu dilakukan pembentukan atau perubahan atas suatu undang-undang yang sudah ada, seberapa jauh perubahan harus dilakukan dan bentuk-bentuk perubahan yang diperlukan dalam rangka untuk merespon dan mengakomodir kepentingan pihakpihak yang akan diatur. Payung politik hukum (legal policy) yang utama dalam setiap ketentuan perundang-undangan harus selalu bermuara pada tujuan Negara sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945.

Politik kriminal itu dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas:
  • Dalam arti sempit, politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana.
  • Dalam arti yang lebih luas, merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi.
  • Dalam arti yang paling luas, merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat.

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non penal policy). Pada dasarnya penal policy lebih menitik beratkan pada tindakan represif setelah terjadiny suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik kriminal secara makro, non penal policy merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Karena bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya satu tindak pidana. Sasaran utama non penal policy adalah mengenai dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana”. Kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang dan kepada para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah satu komponen dari modern criminal science disamping criminology dan criminal law.

Penal policy atau politik hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif). Kebijakan legislatif merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Dalam kaitan ini kebijakan untuk membuat peraturan perundangundangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan, sebagai usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undangan pidana yang merupakan bagian integral dari politik sosial.

Politik kriminal menggunakan politik hukum pidana maka harus merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan benar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan harus benarbenar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya. Pengaruh umum pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang mengetahui tentang adanya sanksi (pidana) itu. Dan intensitas pengaruhnya tidak sama untuk semua tindak pidana.

Terhadap tindak pidana yang oleh masyarakat dianggap sepele, artinya kalau orang melakukannya tidak dianggap tercela, misalnya dalam pelanggaran lalu lintas, ancaman pidana berat merupakan mekanisme kontrol yang cukup ampuh untuk mencegah perbuatan tersebut. Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat dengan masalah “kriminalisasi”, yaitu proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana.

Masalah pidana sering dijadikan tolok ukur sampai seberapa jauh tingkat peradaban bangsa yang bersangkutan. Dalam menghadapi masalah sentral yang sering disebut masalah kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut:
  1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
  2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakanperbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat.
  3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle).
  4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejumlah mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilainilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannnya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya maka kebijakan penegakan hukum termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah, penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif.

Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di Indonesia haruslah dilakukan secara terus menerus agar hukum dapat memainkan peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam hidup bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin
keadilan di dalam masyarakat. Upaya pembangunan tatanan hukum yang terus menerus ini diperlukan. Sebagai pelayan bagi masyarakat. Karena hukum itu tidak berada pada kevakuman, maka hukum harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa berkembang. Sebagai alat pendorong kemajuan masyarakat. Secara realistis di Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bekerja secara efektif, sering dimanipulasi, bahkan jadi alat (instrumen efektif) bagi penimbunan kekuasaan.

Upaya pembaruan tatanan hukum itu haruslah tetap menjadikan Pancasila sebagai paradigmanya, sebab Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar, ideologi, cita hukum dan norma fundamental negara harus dijadikan orientasi arah, sumber nilai-nilai dan karenanya juga kerangka berpikir dalam setiap upaya pembaruan hukum. Menurut Widiyanti, diperlukan parameter hukum yang baik agar tercapai penegakannya (enforceability) yang tinggi, oleh karena itu ketentuan yang dibentuk harus memenuhi kriteria yaitu:
  • Necessity, bahwa hukum harus diformulasikan sesuai dengan kebutuhan sistematis dan terencana;
  • Adequacy, bahwa rumusan norma-norma hukum harus memiliki tingkat dan kadar kepastian yang tinggi,
  • Legal certainty, bahwa hukum harus benar-benar memuat kaidah-kaidah dengan jelas dan nyata, tidak samar-samar dan tidak menimbulkan penafsiran;,
  • Actuality, bahwa hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan zaman, tanpa mengabaikan kepastian hukum;
  • Feasibility, bahwa hukum harus memiliki kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan terutama berkenaan dengan tingkat penataannya;
  • Verifiability, bahwa hukum yang dikerangkakan harus dalam kondisi yang siap uji secara objektif;
  • Enforceability, bahwa pada hakikatnya terus memiliki daya paksa agar diaati dan dihormati;
  • Provability, bahwa hukum harus dibuat sedemikian rupa agar mudah dalam pembuktian.

Salah satu kelemahan dalam pembangunan hukum saat ini adalah dalam tataran implementasinya bukan dalam tataran pembentukan hukumnya (penciptaan hukum positif, karena soal penciptaan hukum normatif Indonesia luar biasa hebatnya), karena begitu suatu undang-undang disahkan atau diberlakukan, maka dengan berbagai macam kendala akan timbul, karena persoalan hukum bukan sekedar hanya persoalan susunan norma-norma atau untaian kata-kata manis, tetapi menjadi persoalan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Belum lagi kalau berbicara mengenai kelemahan dalam berbagai substansi peraturan perundangundangan yang normanya kurang jelas sehingga sulit untuk diimplementasikan, overlapping substansi antara satu undang-undang dengan undang-undangan lainnya, saling rebutan kewenangan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Pada hal semuanya phenomena tersebut tidak selayaknya/perlu terjadi, karena sesama pejabat publik atau civil servant tidak perlu rebutan kewenangan, karena tujuan keberadaan civil servant adalah melakukan tugas sebagai pelayan masyarakat demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan oleh negara.

Kewenangan atau kekuasaan sering dijadikan sebagai sarana untuk melakukan penyimpangan (abuse of power), sehingga ada kecenderungan untuk selalu meminta kekuasaan yang lebih melalui suatu undang-undang. Kebangkitan hukum nasional mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dalam sebuah mekanisme sistem peradilan pidana. Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggungjawab. Namun semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling interrelasi dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Menurut Barda Nawawi Arief, pelaksanaan dari politik hukum pidana harus melalui beberapa tahap kebijakan yaitu sebagai berikut:
  • Tahap Formulasi

Yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat Undang-Undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil Perundangundangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif.
  • Tahap Aplikasi

Yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap yudikatif.
  • Tahap Eksekusi

Yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparataparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana yang dibuat oleh pembuat undangundang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.

Hukum itu ekpresi dan semangat dari jiwa rakyat (volksgeis). Selanjutnya dikatakan bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Konsep demikian ini memang didukung oleh kenyataan dalam sejarah yaitu pada masyarakat yang masih sederhana sehingga tidak dijumpai perana pembuat undang-undang seperti terdapat pada masayarakat modern.Pada masyarakat yang sedang membangun perubahan dibidang hukum akan berpengaruh terhadap bidang-bidang kehidupan lainnya, begitu juga sebaliknya Penjelasan di atas menunjukkan fungsi hukum disatu pihak dapatlah dipergunakan sebagai sarana untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik dan dilain pihak untuk mempertahankan susunan masyarakat yang telah ada serta mengesahkan perubahan-perubahan yang telah terjadi di masa lalu. Jika mengetengahkan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang sedang pada masa transisi, perlu ada penetapan prioritas-prioritas dan tujuan yang hendak dicapai, sedangkan suber atau datanya dapat diperoleh melalui penelitian-penelitian terhadap masyarakat di berbagai bidang kehidupan. Data yang sudah diperoleh kemudian diabstraksikan agar dapat dirumuskan kembali ke dalam norma hukum yang kemudian disusun menjadi tata hukum.

Hukum berasal dari masyarakat dan hidup serta berproses di dalam masyarakat, maka pembaharuan hukum tidak mungkin dilepaskan secara mutlak dari masyarakat. Ini berarti bahwa yang dihadapi adalah kenyataan-kenyataan sosial dalam arti yang luas. Kenyataan yang ada seperti yang dihadapi Indonesia yaitu masyarakatnya yang heterogen dengan tingkat bentuk masyarakat yang berbeda-beda, mulai dari yang sederhana sampai pada masyarakat yang komplek masyarakat transisi yang mengalami proses dari yang sederhana ke komplek tidak jarang dihadapkan pada sebagian nilai yang harus ditinggalkan, tetapi ada pula yang harus dipertahankan karena mendukung proses penyelesaian masa transisi. Memang setiap pebangunan maerupakan proses menuju suatu tujuan tertentu melalui berbagai terminal; selama terminal-terminal tadi masih harus dilalui maka transisi masih akan tetap ada.

Politik kriminal menurut Syed Hussein Alatas dapat diartikan ke dalam tiga kelompok sebagai berikut:
  • Dalam arti sempit, politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana.
  • Dalam arti yang lebih luas, merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi.
  • Dalam arti yang paling luas, merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat.

Politik kriminal menggunakan politik hukum pidana maka harus merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan benar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya. Pengaruh umum pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang mengetahui tentang adanya sanksi atau pidana atas perbuatan tersebut. Intensitas pengaruhnya tidak sama untuk semua tindak pidana. Terhadap tindak pidana yang oleh masyarakat dianggap sepele, artinya kalau orang melakukannya tidak dianggap tercela, misalnya dalam pelanggaran lalu lintas, ancaman pidana berat merupakan mekanisme kontrol yang cukup ampuh untuk mencegah perbuatan tersebut. Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat dengan masalah kriminalisasi yaitu proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana.