Pengertian Asuransi Jiwa

SUDUT HUKUM | Sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya asuransi sebagai suatu kegiatan ekonomi agak sukar didefinisikan secara tepat. Setiap penulis memberikan definisinya sendiri-sendiri, walaupun maksud dan tujuannya sama. Pemberian definisi ini tertanggung juga dari sudut penglihatan si pemberi definisi itu sendiri. Istilah Assurance (Inggris) dan Assurantie (Belanda) merupakan terjemahan dari istilah asuransi atau pertanggungan. Istilah pertanggungan umumnya dipakai dalam literatur hukum dan kurikulum pergguruan tinggi hukum di Indonesia. Akan tetapi kegiatan usaha maupun pendidikan hukum. Kedua istilah tersebut dipakai dalam Undang-undang perasuransian dan juga buku-buku hukum perasuransian. Sehingga terlihat bahwa tidak ada perbedaan antara penggunaan kata pertanggungan atau asuransi.

Pengertian Asuransi Jiwa


Untuk selanjutnya akan dikutip berbagai pandangan para sarjana yang memberikan definisinya atau batasan tentang pengertian dari asuransi atau pertanggungan jiwa itu sendiri. Antara lain seperti diungkapkan oleh Santosoe Poedjosoebroto mendefinisikan asuransi atau pertanggungan jiwa, adalah sebagai berikut:

Asuransi atau pertanggungan jiwa adalah suatu perjanjian, dimana penanggung dengan menerima suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk member suatu pembayaran kepada tertanggung atau tertunjuk, mana kala terjadi suatu peristiwa yang tidak pasti yang harus ada hubungannya dengan meninggalnya tertanggung tadi.

Dalam Pasal 246 KUHD, dirumuskan secara otentik mengenai pengertian asuransi atau pertanggungan:

Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikat diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan suatu penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapakan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.

Ketentuan Pasal 246 KUHD menunjukan bahwa KUHD lebih menitik beratkan kepada asuransi atau pertanggungan kerugian yaitu golongan pertanggungan yang pada umumnya mempunyai objek bersifat materiil.

Kalau diperhatikan dari definisi asuransi tersebut sesuai dengan Pasal 246 KUHD maka dapat dilihat 3 unsur:
  1. Pihak terjamin (Verzekerde) berjanji membayar uang premi kepada pihak penjamin (Verzekepaar).
  2. Pihak penjamin berjanji akan membayar sejumlah uang kepada pihak terjamin, sekaligus atau berangsur-angsur apabila terlaksana unsur ke-3.
  3. Suatu peristiwa yang semula belum jelas akan terjadi.

Dari Pasal 246 KUHD tersebut dapat dilihat bahwa perjanjian asurnsi merupakan perjanjian timbal balik, artinya hak dan kewajiban para pihak di dalam perjanjian tersebut seimbang. Penanggung dengan menerima premi dari tertangung dengan berkewajiban mengganti kerugian yang mungkin diderita oleh tertanggung, sedangkan tertanggung berkawajiban untuk membayar premi dan berhak mendapatkan penggantian pembayaran atas suatu peristiwa yang tak tertentu.

Asuransi merupakan perjanjian bersyarat, hal ini karena pelaksanaan kewajiban dari pihak tertanggung digantungkan pada terjadinya suatu peristiwa tak tertentu yaitu suatu peristiwa yang tidak diharapkan dan tidak dapat diperkirakan akan terjadinya.

Definisi asuransi atau pertanggungan yang terdapat dalam rumusan Pasal 246 KUHD tersebut adalah merupakan definisi asuransi atau pertanggungan kerugian yang obyeknya yaitu harta kekayaan sehingga tidak sesuai lagi bagi asuransi atau pertanggungan jiwa karena jiwa manusia bukanlah harta kekayaan.

Dalam KUHD, tidak dijumpai kata pertanggungan yang berbeda artinya dengan kata asuransi. Judul dari Buku Kesatu BAB IX KUHD Pasal 302-308 berbunyi tentang asuransi atau pertanggungan jiwa akan tetapi tidak ada satu pasalpun yang memuat rumusan definisi asuransi atau pertanggungan jiwa.

Sedangkan dalam KUHPerdata Buku III Bab XV Pasal 1774 ditegaskan bahwa asuransi termasuk dalam golongan persetujuan untung-untungan, yaitu suatu persetujuan yang hasilnya mengenai untung rugi bagi semua pihak maupun bagi sementara, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. Bentuk lainnya adalah bunga cagak hidup, perjudian dan pertaruhan.

Mengenai hal ini, Emmy Pangaribuan Simanjuntak tidak sependapat apabila perjanjian asuransi digolongkan ke dalam perjanjian untunguntungan. Dikatakannya bahwa dalam banyak hal ketentuan dalam Pasal 1774 KUHPerdata itu tidak tepat, sebab didalam perjanjian untunguntungan itu para pihak secara sengaja dan sadar menjalani suatu kesempatan untung-untungan dengan prestasi secara timbal balik tidak seimbang. Perjanjian yang demikian ini dilarang oleh undang-undang apabila itu merupakan suatu permainan atau perjudian dan undang-undang tidak akan memberikan perlindungan kepadanya (Pasal 1778 KUHPerdata). Yang dibolehkan hanya mengenai perjanjian asuransi (Pasal 1775-Pasal 1787 KUHPerdata). Alasan lainnya adalah bahwa dalam perjanjian asuransi, penanggung didalam mempertimbangkan resiko yang akan ditanggungnya, ia juga menerima suatu kontra prestasi yang disebut premi dari tertanggung.

Dengan mengutip pendapat Mr. T. J. Dorhout Mees yang mengatakan bahwa Pasal 1774 KUHPerdata yang memasukkan perjanjian asuransi ke dalam perjanjian untung-untungan hanyalah dalam arti bahwa besarnya kewajiban penanggung dalam asuransi itu akan ditentukan oleh kejadian-kejadian yang kemudian akan terjadi, maka hal itu lebih memperkuat pendapatnya bahwa tidak tepat dikatakan bahwa asuransi termasuk ke dalam perjanjian untung-untungan.

Dalam asuransi terkandung adanya suatu resiko yang terjadinya belum dapat dipastikan. Di samping itu adanya pelimpahan atau pengalihan tanggung jawab memikul beban resiko dari pihak yang mempunyai beban tersebut kepada pihak lain yang sanggup mengambil alih tanggung jawab. Sebagai kontra prestasi dari pihak lain yang melimpahkan tanggung jawab ini, ia diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menerima pelimpahan atau ambil alih tanggung jawab yang disebut premi.

Dengan demikian pada hakekatnya asuransi merupakan suatu perjanjian yang menimbulkan ikatan timbal balik, yang didalamnya mencakup unsur-unsur yaitu:
  • Asuransi itu pada asasnya adalah suatu perjanjian kerugian (schade verzekering) atau indemniteits contract.
  • Adanya pihak-pihak yaitu pihak penanggung dan pihak tertanggung.
  • Asuransi itu merupakan perjanjian bersyarat.
  • Adanya premi yang dibayar oleh tertanggung.

Dari unsur-unsur tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa asuransi itu merupakan suatu persetujuan timbal balik yang berarti masing-masing pihak berjanji akan melakukan sesuatu bagi pihak lain, dimana dalam hal ini masingmasing pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak penjamin akan membayar sejumlah uang kepada terjamin, apabila suatu peristiwa akan terjadi dimana masing-masing pihak tidak mengetahuinya kapan peristiwa tersebut terjadi. Di sini harus terdapat hubungan sabab akibat diantara peristiwa dan kerugian.

Asuransi dikatakan sebagai suatu perjanjian kerugian, dalam hal ini jelas bahwa penanggung mengikatkan diri untuk mengganti kerugian karena pihak tertanggung menderita kerugian dan yang diganti itu adalah seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita (prinsip indemniteit).

Ada kalanya suatu ganti rugi itu tidaklah seluruh kerugian yang diderita. Ini dapat terjadi apabila tidak seluruhnya harga objek asuransi itu diasuransikan, sehingga masih ada resiko yang ditanggung oleh tertanggung sendiri. Oleh karena itulah maka kita masih melihat adanya ketentuan yang ditarik lebih lanjut dari prinsip indemniteit itu ialah, bahwa asuransi itu tidak boleh menjurus pada pemberian ganti rugi yang lebih besar daripada kerugian yang diderita (pasal 253 KUHD).

Asuransi juga dikatakan sebagai suatu perjanjian bersyarat artinya bahwa kewajiban mengganti rugi dari penanggung hanya dilaksanakan apabila peristiwa tertentu atas mana diadakan asuransi itu terjadi. Jadi pelaksanaan kewajiban mengganti rugi digantungkan pada satu syarat.

Dari definisi pasal 246 KUHD, Wirjono Projodikuro menarik beberapa unsur yang ada dalam pasal 246 KUHD, yaitu:
  1. Pihak terjamin membayar uang premi kepada pihak penjamin, sekaligus atau berangsur-angsur.
  2. Pihak penjamin berjanji akan membayar sejumlah uang kepada pihak terjamin sekaligus atau berangsur-angsur, apabila terlaksana unsur ketiga.
  3. Suatu peristiwa yang semula belu terang akan terjadi.

Dari beberapa unsur suatu perjanjian asuransi tersebut, menyebabkan para pihak yang membuat suatu perjanjian asuransi akan dapat bersikap lebih tegas terutama yang menyangkut syarat-syarat yang harus ada dalam perjanjian asuransi. Hal ini sangat penting sekali adalah untuk menentukan hak dan kewajiban yang akan timbul dari para pihak, pada saat perjanjian asuransi itu sedang berlangsung maupun akan saat berakhirnya perjanjian asuransi tersebut.

Akhirnya pengertian asuransi atau pertanggungan jiwa yang lebih lengkap, karena tidak hanya mencakup asuransi kerugian tetapi juga asuransi jiwa yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Posted in Tak Berkategori