Harta Kekayaan dalam Perkawinan

SUDUT HUKUM | Setelah mempelai menandatangani akta perkawinan, maka barulah statusnya menjadi suami isteri. Dalam hal ini perlu dibicarakan mengenai harta kekayaan mereka setelah perkawinan. Sebagai perbandingan dipandang perlu menguraikan secara singkat ketentuan harta kekayaan suami isteri sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang diatur dalam pasal 119 KUHPerd. Pasal tersebut menyatakan bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan isteri.

Apabila perkawinan tersebut berakhir, maka dalam hal itu diatur oleh pasal 128 KUHPerd yang menyatakan bahwa setelah bubarnya persatuan (perkawinan), maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing dengan tidak memperdulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperolehnya.

Percampuran kekayaan adalah mengenai seluruh aktiva dan pasiva baik yang dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam perkawinan maupun yang akan diperoleh di kemudian hari selama perkawinan. Kekayaan bersama itu oleh undang-undang dinamakan “Gemeensehap”. Hak untuk mengurus kekayaan berada di tangan suami. Terhadap kekuasaan suami, isteri diberi hak untuk (bila suami melakukan pengurusan yang sangat buruk) minta kepada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan, atau jika suami mengobralkan kekayaannya dapat dimintakan curetele.

Uang dari buku tabungan pos, meskipun sudah jatuh dalam Gemeensehap, si isteri dapat memakai sendiri, begitu pula halnya dengan gajinya, asalkan yang disebutkan terakhir ini untuk keperluan keluarga. Si isteri dapat diberi kekuasaan oleh hakim untuk menjual atau menggadaikan benda-benda Gemeensehap dalam hal si suami sedang bepergian atau tidak mampu memberikan ijinnya misalnya karena sakit keras atau gila.

Untuk hutang prive harus dituntut suaminya atau isteri yang membuatnya, sedang yang harus disita mula-mula benda-benda prive, bila tidak ada benda prive atau kurang, benda bersama dapat disita. Akan tetapi jika suami yang membuat hutang benda prive isteri tidak dapat disita dan begitu pula sebaliknya.

Untuk hutang gemeensehap, mula-mula disita benda Gemeensehap, bila tidak mencukupi dapatlah benda prive suami atau isteri yang membuat hutang itu. Umumnya jika hutang yang dibuat isteri, maka suami selalu dapat dipertanggung jawabkan atas hutangnya itu, tidak demikian halnya isteri. Sejak tahun 1963 dengan SEMA-RI No. 3 tahun 1963 hal-hal yang dibicarakan di atas yang menempatkan kedudukan isteri tidak cakap setelah menikah tidak berlaku lagi. Terlebih-lebih setelah tahun 1974, dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 suami dan isteri setara kedudukan hukum dan sosialnya.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengenai harta kekayaan suami dan isteri diatur dalam Pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari mempelai ke dalam perkawinan dinyatakan dalam ayat 2 pasal tersebut yakni harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah pengawasan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Mengenai pengurusan Gemeensehap, undang-undang ini menyatakan berbeda dengan undang-undang sebelumnya, yaitu mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Bila ketentuan di atas dihubungkan dengan bubarnya perkawinan, pasal 37 undang-undang tersebut menegaskan bahwa perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Terhadap kata-kata yang disebutkan terakhir itu memang sinkron dengan ketentuan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini berarti bila kelak perkawinannya berakhir (cerai) maka harta bersama akan diselesaikan berdasarkan hukum agama atau hukum adat suami isteri yang bersangkutan.