Pengampuan (Curatele)

SUDUT HUKUM | Pengampuan adalah suatu keadaan dimana seorang yang sudah dewasa tetapi tidak dapat bertindak sendiri karena ketakmampuan-nya, maka harus diangkat seorang untuk mewakili dan mengawasi orang tersebut. Undang-undang (KUHPerd) menyebut 3 alasan seseorang dapat ditempatkan di bawah pengampuan, yaitu:

  • Karena sakit ingatan (gila), dungu dan mata gelap:

Sakit ingatan yang dimaksud di sini harus terus menerus, dan yang dapat mengajukan permohonan untuk ditempat di bawah pengampuan adalah tiap keluarga sedarah dan suami atau isteri. Hanya dalam hal ada orang yang mata gelap, keluarganya tidak bertindak (diam saja), maka Jaksa dapat menuntut ditempatkannya orang itu di bawah pengampuan.

  • Karena lemah kekuatan jiwa (pikiran):

R. Subekti, SH. (1987: 56) memberi contoh lemah kekuatan jiwa (pikiran) adalah terlalu lanjut umur, sakit keras, cacat dan lain-lainnya. Yang dapat mengajukan permohonan agar ditempatkan di bawah pengampuan adalah orang yang bersangkutan.

  • Karena boros:

Pemborosan adalah pengeluaran luar biasa serta menghabiskan kekayaan secara tidak bertanggungjawab. Yang dapat mengajukan permohonan agar ditempatkan di bawah pengampuan adalah tiap anggota keluarga sedarah garis lurus dan kesamping sampai derajat keenam dan suami atau isteri.

Permohonan untuk dapat diajukan di bawah pengampuan kepada Hakim yang meliputi daerah dimana orang yang akan dimintakan pengampuannya (calon kurandus) bertempat tinggal. Orang yang ditaruh di bawah curatele itu, berhak meminta banding (appel) di pengadilan tinggi.
Prosedur mengajukan permohonan pengampuan kepada pengadilan fakta atau bukti perlunya pengampuan; Hakim mendengar keluarga sedarah/semenda; pemberitahuan resmi kepada calon kurandus; keputusan hakim dalam rapat terbuka; setelah keputusan hakim berkekuatan hukum, baru mengangkat seorang curator (Pasal 437-445 KUHPerd). Permulaan pengampuan adalah tanggal keputusan hakim dan harus diumumkan dalam Berita Negara.

Akibat suatu pengampuan, seoramg kurandus oleh undang-undang dianggap sama kedudukannya dengan anak, jadi tidak cakap (Pasal 452 KUHPerd). Walau Pasal 446 ayat 2 KUHPerd menyatakan segala tindakan perdata yang dilakukan oleh seorang kurandus setelah permulaan pengampuan adalah batal demi hukum (nietig), tetapi batalnya harus dimintakan kepada hakim (vernietigbaar).

Seorang penderita sakit gila tidak dapat menikah karena ia tidak ada kemauan sadar, lain halnya dengan si pemboros, dapat menikah tetapi dengan ijin kuratornya dan curator pengawas (BHP = Balai Harta Peninggalan) atau Weeskamer (Pasal 452 ayat 2 yis 38, 151 KUHPerd). Mengenai pernikahan kurandus karena lemah kekuatan jiwa (pikiran) para penulis tidak ada kesepakatan. Kurandus karena menderita sakit gila tidak dapat membuat wasiat, kecuali kurandus karena boros.

Tindakan hukum yang dibuat oleh kurandus sebelum keputusan pengampuan karena gila, dungu/mata gelap dapat diputuskan batal oleh hakim, jika dapat dibuktikan alasan pengampuan telah ada saat tindakan hukum itu dilakukan (Pasal 447 KUHPerd). Jika seorang kurandus telah meninggal dunia, semua tindakan yang telah dilakukannya tidak dapat digugat berdasarkan sakit gila, dungu / mata gelap, kecuali:

  1. Jika pengampuan sudah diputuskan atau diminta sebelum ia meninggal dunia;
  2. Jika bukti tentang adanya penyakit itu ternyata dari tindakan itu sendiri;
  3. Surat wasiat selalu dapat ditentang berdasarkan penyakit gila (Pasal 448 KUHPerd).

Semua ketentuan mengenai perwalian berlaku terhadap pengampuan. Seorang pengampu demi undang-undang menjadi wali dari anak-anak sah si kurandus. Pengampuan berakhir selain karena kematian kurandus, juga karena pengampuan dihentikan (Pasal 460/461 KUHPerd). Permohonan penghentian pengampuan atas seorang kurandus dapat dilakukan oleh pengampu, namun para ahli hukum berpendapat permohonan itu juga dapat dilakukan oleh kurandus sendiri. Penghentian pengampuan dilakukan dengan keputusan hakim dan diumumkan dalam Berita Negara (Pasal 461 yo 444 KUHPerd).