Daya Paksa Absolut

SUDUT HUKUM | Daya paksa (overmacht) tercantum di dalam Pasal 48 KUHP. Undang-undang hanya menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan karena dorongan keadaan yang memaksa. Kalimat aslinya berbunyi:

Met Strafbaar is hij die een feit begaat waartoe hij door overmacltt is gedrongen.

Undang-undang tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan keadaan memaksa (overmacht). Tidaklah jelas, apakah overmacht itu, apa sebab sehingga dipidana, apakah menyangkut perbuatan (feit) ataukah pembuatnya. Masalah ini telah berabad-abad dipersoalkan oleh para yuris dan filosof. Remmelink yang mengerjakan buku Hazewinkel-Suringa, cetakan ke 8, mengatakan, bahwa pada cetakan ini ia akan membicarakan sebab yang menjadi dasar tidak dapat dipidananya overmacht itu. Di dalam hukum alam katanya orang berpendapat bahwa perbuatan karena keadaan terpaksa itu berada di luar semua hukum. Necessitas no haber legem (Not kennt kein Gebot), kata hukum Kononik. Fichte berpendapat bahwa siapa yang membuat karena overmacht exempt von der Rechsordnung. Menurut penjelasan (MvT), orang yang karena sebab yang datang dari luar sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan, yaitu setiap kekuatan, dorongan, paksaan yang orang tidak dapat memberikan perlawanan.

Dalam literatur hukum pidana biasanya daya paksa itu dibagi dua yang pertama daya paksa yang absolut atau mutlak, biasa disebut vis absoluta. Bentuk ini sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya, karena di sini pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Jadi ia tidak mempunyai pilihan lain sama ‘sekali. Misalnya, seseorang yang diangkat oleh orang pegulat yang kuat lalu dilemparkan ke orang lain sehingga orang lain itu tertindas dan cedera. Orang yang dilemparkan itu sendiri sebenarnya menjadi korban juga sehingga sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan menindas orang lain.

Orang yang dilemparkan ini tidak dapat berbuat lain. Daya paksa absolut ini seperti tersebut di muka bersifat fisik, tetapi dapat juga bersifat psikis, misalnya orang yang hipnotis, sehingga melakukan delik. Di sini pun orang tersebut tidak dapat berbuat lain.Di sini daya paksa itu datang dari luar. Mungkin dari manusia seperti tersebut di muka, mungkin pula dari alam, misalnya pilot yang pesawatnya terhempas ke landasan karena gempa dan menimpa pula pesawat lain sehingga jatuh korban di pesawat lain itu. Menurut Vos, memasukkan vts absoluta ke dalam daya paksa adalah berkelebihan (overbodig), karena pembuat yang dipaksa secara fisik itu sebenarnya tidak berbuat. Perbuatan itu berarti perbuatan yang disadari dan orang yang memaksa itu bukan sebagai pembuat tidak langsung tetapi sebagai pembuat. Orang yang dipaksa tidak termasuk dalam rumusan delik. Jadi, kalau ia dituntut mestinya diputus bebas (yang sengaja atau kelalaian merupakan unsur delik) bukan lepas dari tuntutan hukum. Kecuali beberapa hal dalam delik pelanggaran karena di situ kesalahan tidak secara tegas merupakan elemen delik. (Hal ini dapat dibandingkan dengan strict liability (tanggung jawab mutlak).

Van Bemmelen mengatakan bahwa daya paksa(overmacht) itu merupakan suatu pengertian normatif. Itu meliputi hal-hal di mana seseorang karena ancaman terpaksa melakukan delik.Kalau seseorang diancam dengan pistol untuk membunuh orang lain, dapat dianggap sebagai telah berbuat karena daya paksa.

Yang disebut Van Bemmelen ini adalah bentuk yang sebenarnya daya paksa itu, yang biasa disebut daya paksa relatif atau vis compul siva.Daya paksa relatif ini dibagi dua lagi, yaitu yang pertama daya paksa dalam arti sempit (overmacht in engere zin) dan daya paksa disebut keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa dalam arti sempit iaIah yang disebabkan oleh orang lain (seperti contoh Van Bemmelen di muka) sedangkan daya paksa yang berupa keadaan darurat (noodtoestand) disebabkan oleh bukan manusia.

Contoh klasik keadaan darurat ialah jika terjadi kecelakaan kapal seperti Tampomas l, orang melompat ke laut, dan ada yang mendapatkan sepotong papan sebagai pelampung tetapi hanya untuk seseorang saja. Jika ada orang yang merebut dan mendorong orang yang memegang- papan itu supaya ia sendiri selamat, maka disebut keadaan darurat (noodtoe.stand).Contoh klasik ini diperkenalkan oleh Cicero di dalam bukunya Republica et de ifficio yang menunjuk tulisan filosof Yunani yang bernama Karneades.

Keadaan darurat semacam ini sering disebut sebagai suatu kepentingan melawan kepentingan, atau ada dua kepentingan yang saling berhadapan, yaitu kepentingan untuk hidup.Kepentingan pertama yakniorang yang memegang papan “untuk hidup”, begitu pula yang hendak merebut papan itu, juga dengan kepentingan “untuk hidup”.

Keadaan darurat yang lain, yaitu pertentangan antara kepentingan,dan kewajiban, misalnya seseorang yang dikejar binatang buas lari masuk ke rumah orang tanpa izin. Di sini kepentingan untuk hidup berhadapan dengan kewajiban untuk menaati hukum (tidak memasuki rumah orang tanpa izin).Bentuk ketiga dari daya paksa, yaitu kewajiban berhadapan dengan kewajiban. Atau dengan kata lain, pembuat harus melakukan dua kewajiban sekaligus yang saling bertentangan. Misalnya kewajiban seorang penjaga keamanan yang setiap saat harus selalu berada di posnya, berhadapan dengan kewajiban untuk melaporkan, permufakatan jahat untuk melakukan delik yang diketahuinya, (Pasal 164 KUHP). Kalau ia pergi melapor ke pos polisi tentang adanya permufakatan itu, berarti ia meninggalkan pos penjagaannya yang berarti melalaikan kewajiban tersebut. Atau contoh lain seseorang yang dipanggil menjadi saksi pada dua pengadilan yang bersamaan waktunya. Maka ia harus meninggalkan salah satu kewajiban tersebut (Menurut Pasal 522 KUHP seseorang yang dipanggil sebagai saksi tidak datang tanpa alasan sah, diancam dengan pidana).

Pertanyaan yang timbul berikutnya ialah apakah daya paksa (overmacht) termasuk dasar pembenar atau dasar pemaaf. Para penulis berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa semua bentuk daya paksa (overmacht), baik dalam arti sempit maupun keadaan darurat (nodtoestand) termasuk dasar pemaaf (schulduitsluitingsgrond). Alasannya ialah semua perbuatan yang dilakukan itu masih tetap melawan hukum; hanya orangnya tidak dipidana karena terpaksa, baik yang berasal dari manusia maupun dari keadaan. Van Hattum berpendapat demikian, diikuti oleh Moeljatno.
Dikatakan oleh Moeljatno:

Dari pendapat-pendapat tersebut di atas yang paling dapat saya setujui adalah pendirian Van Hattum. Atas perbuatan yang dilakukan orang karena pengaruh daya paksa, di mana fungsi batinnya tidak dapat bekerja secara normal karena adanya tekanan-tekanan dari luar, orang itu dapat dimaafkan kesalahannya. Yang masih menjadi persoalan tentunya ialah berapa besar seharusnya tekanan batin dari luar itu, untuk dapat dikatakan ada daya paksa yang mengakibatkan kesalahan dapat dimaafkfkan. “

Tetapi pendapat yang umum ialah daya paksa itu dapat berupa dasar pembenar dan dapat pula berupa dasar pemaaf. Jadi menurut para ahli ini daya paksa (overmacht) yang tercantum di dalam Pasal 48 KUHP dapat dipisahkan menurut teori atas dua jenis. Van Bemmelen menyebut keadaan darurat (noodtoe,stand) sebagai dasar pembenar (rechtvaardigingsgrond). Disini perbuatan dibenarkan, misalnya sopir (pengendara) yang memberhentikan kendaraannya di jalan umum karena mobilnya mogok, dapat mengajukan sebagai keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa membenarkan (reach tvaardigt) perbuatan-perbuatan yang jika pembuat itu sendiri tidak mempunyai pilihan yang lain selain melanggar peraturan sebagaimana contoh di atas.

Sedangkan daya paksa dalam arti sempit artinya ada paksaan dari orang lain, termasuk dalam dasar pemaaf.Yang berpendapat daya paksa dapat dimasukkan sebagai dasar pembenar dan dasar pemaaf seperti ini termasuk pula Simons, Noyon-Langemeijer, Hazewinkel-Suringa dan juga Jonkers.Hazewinkel-Suringa menunjuk putusan mengenai keadaan darurat (noodtoestand) yang paling termasyhur, yaitu arrest kaca mata (opticien arrest, H. R. 15 Oktober 1923 N.J. 1923. Putusan Pengadilan Amsterdam melepaskan seorang penjual kacamata dari semua tuntutan hukum, sesudah dibuktikan bahwa ia pada waktu toko sudah harus ditutup (menurut peraturan yang berlaku di Amsterdam), menjual sebuah kacamata pada seorang yang bernama de Groothkarena kacamatanya ditiup oleh angin badai, sehingga kacamata tuan De Grooth jatuh dan pecah, jika penjual kaca mata tersebut tidak melanggar, maka ia membiarkan tuan De Gorthtidak dapat melihat apa-apa lagi dan oleh karena itu ia berada dalam keadaan berbahaya.

Hazewinkel-Suringa selanjutnya menghubungkan putusan ini dengan pendapat Simons, yang mengatakan dalam hati ini Hoge Raad telah menambah keadaan darurat dalam arti. sempit yang dahulu berupa daya paksa psikis menjadi lebih luas, yaitu daya paksa obyektif (objectieve overmacht).Di sini tidak lagi berupa daya paksa psikis yang mengatakan tidak dipidananya pembuattetapi telah menjadi dasar pembenar (rechtvaardigingsgrond), yaitu tidak dipidananya perbuatan: Hazewinkel-Suringa menunjuk H.R. 24 Maret 1953.

Jadi, jelaslah bahwa Hazewinkel-Suringa sama dengan Van Bemmelen membedakan daya paksa sebagai dasar pembenar dan dasar pemaaf. Paksaan psikis atau daya paksa dalam arti sempit merupakan dasar pemaaf, sedangkan keadaan darurat merupakan dasar pembenar. Tetapi Vos mengatakan bahwa keadaan darurat (noodtoestand) tidak selalu berupa dasar pembenar, kadang-kadang berupa dasar pemaaf. la memberi contoh jika seseorang menghilangkan nyawa beberapa orang untuk menyelamatkan jiwanya sendiri, maka perbuatan itu tidak dapat dibenarkan tetapi orangnya tidak dapat dipertanggungjawabkan, hal ini karena keadaan darurat merupakan salah satu dasar pemaaf. Sebaliknya jika seseorang meninggalkan pos penjagaan karena pergi melaporkan tentang terjadinya permufakatan untuk melakukan kejahatan, maka di sini ada dasar pembenar.

Kalau kita bandingkan dengan KUHP Jerman (Barat) yang baru, Notstaad terbagi dua, yaitu Pasal 34 mengatur tentang dasar pembenar (Rechtfertigender Notstand) dan Pasal 35 mengatur dasar pemaaf (Entschuldigender Notstaad), Lain halnya dengan Pompe, yang mengkategorikanseluruh daya paksa (overmacht) sebagai dasar pembenar. Alasannya ialah pemisahan antara “daya paksa” sebagai dasar peniadaan kesalahan dan “keadaan darurat” sebagai dasar pembenar tidak dapat diterima. Daya paksa itu adalah suatu dorongan (orang) yang tidak dapat melawannya. Penerapannya dikaitkan dengan kelayakan, perundang-undangan dan keadaan konkret. Arti faktor psikis di dalam daya paksa di luar pembuat. Faktor psikis di dalam daya paksa memperlihatkan hubungan antara melawan hukum dan kesalahan .

Van Hamel pun mengatakan bahwa baik dorongan psikis merupakan keadaan darurat (noodtoestand) sebagai dasar pembenar, karena pembuat tidak perlu memberi perlawanan. Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa daya paksa (overmacht) itu selalu datang dari luar diri pembuat yang lebih kuat dari dirinya sendiri. Melihat istilah overmacht sudah menunjukkan maksud itu. Kekuatan dari luar itu mendorong dirinya untuk berbuat yang tidak dapat ia tidak berbuat. Memori Penjelasan (MvT) juga menyebutnya sebagai sebab luar dari tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Oleh karena itu keyakinan susila dan keberatan batin tidaklah merupakan daya paksa. Seorang pendeta yang menghasut orang agar menolak dinas militer berdasarkan keyakinan susila mengenai persiapan perang dan membunuh sesama manusia, dapat dituntut karena menghasut (H.R. 26 Juni 1916, N.J. 1916, him. 703).