Dasar Hukum Isbat Nikah

SUDUT HUKUM | Pada dasarnya kewenangan perkara isbat nikah bagi pengadilan agama dalam sejarahnya adalah diperuntukkan bagi mereka yang melakukan perkawinan dibawah tangan sebelum diberlakukannya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (penjelasan pasal 49 ayat (2), Jo. Pasal 64 UU No. 1 Tahun 1974). Namun kewenangan ini berkembang dan diperluas dengan dipakainya ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 ayat 2 dan 3, dalam ayat (2) disebutkan: “isbat nikah yang diajukan ke pengadilan agama”, pada ayat (3) disebutkan : isbat nikah yang diajukan ke pengadilan agama terbatas mengenai hal yang berkenaan dengan : a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. hilangnya akta nikah; c. adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang- Undang No.1 Tahun 1974.


Dengan melihat uraian dari pasal 7 ayat 2 dan 3 KHI tersebut, berarti bahwa KHI telah memberikan kewenangan lebih dari yang diberikan oleh Undang-Undang; baik oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, padahal menurut pasal 2 TAP MPR RI No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan; INPRES tidaklah termasuk dalam tata urutan perundang-undang Republik Indonesia.


Pasal 2 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 beserta penjelasannya menentukan bahwa adanya kewenangan suatu peradilan untuk menyelesaikan perkara yang tidak mengandung unsur sengketa (voluntair) adalah dengan syarat apabila dikehendaki (adanya ketentuan / penunjukan ) oleh Undang-Undang.


Mengenai isbat nikah ini PERMENAG No. 3 Tahun 1975 yang dalam pasal 39 ayat 4 menentukan bahwa jika KUA tidak bisa membuatkan duplikat akta nikah karena catatannya telah rusak atau hilang atau karena sebab lain, maka untuk menentukan adanya nikah, talak, cerai, atau rujuk, harus ditentukan dengan keputusan (dalam arti penetapan) Pengadilan Agama; tetapi hal ini berkaitan dengan pernikahan yang dilakukan sebelum UU No. 1 Tahun 1974 bukan terhadap perkawinan yang terjadi sesudahnya.


Dengan demikian mengenai kompetensi absolut tentang isbat nikah sebagai perkara voluntair ini tidak bisa dianologikan (qiyaskan) dengan perkara pembatalan perkawinan, perceraian, atau poligami. Prinsipnya pengadilan tidak mencari-cari perkara tetapi perkara itu telah menjadi kewenangannya karena telah diberikan oleh Undang-Undang. Menurut Prof. Wasit Aulawi, MA berpendapat bahwa perkara isbat nikah tidak dilayani. Perkara isbat nikah adalah perkara voluntair yang harus ditunjuk Undang- Undang, kalau Undang-Undang tidak memberikan kewenangan maka pengadilan tidak berwenang.11 Apabila perkawinan di bawah tangan setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, diberikan tempat untuk isbat perkawinan, maka secara sosiologis pastilah akan mendorong terjadinya perkawinan bawah tangan secara massif.


Jika dipikirkan lebih seksama, maka ketentuan pasal 7 ayat 2 KHI telah memberikan kompetensi absolut yang sangat luas tentang isbat nikah ini tanpa batasan dan pengecualian, padahal dalam penjelasan pasal-pasalnya hanya dijelaskan bahwa pasal ini hanya diberlakukan setelah berlakunya UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Belum lagi pasal 7 ayat 3 huruf (a) yang dapat mengandung problem lanjutan seperti bagaimana jika penggugat mencabut perkara cerainya, atau pemohon tidak mau melaksanakan ikrar talak karena telah rukun kembali sebagai suami istri, padahal telah ada putusan sela tentang sahnya nikah mereka.

Demikian pula pasal 7 ayat 3 huruf (b) adalah dalam hal hilangya kutipan akta nikah bisa dimintakan duplikat ke KUA, dan untuk sebagai tindakan preventif atau kehati-hatian akan memungkinkan hilangnya buku catatan akta yang asli, maka pasal 13 ayat 1 PP No. 9 Tahun 1975 telah menentukan bahwa helai kedua dari akta perkawinan itu harus disimpan (dikirim oleh PPN) kepada panitera pengadilan dalam wilayah kantor pencatatan perkawinan itu berada.


Dalam ketentuan pasal 7 ayat 3 huruf (c), yaitu adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, hal ini justru mengarahkan kepada apa yang termasuk dalam perkara pembatalan nikah, bukan perkara isbat nikah, sebab biasanya orang yang melakukan perkawinan melalui kyai/ustadz adalah telah sah dan sesuai dengan syari’at (memenuhi ketentuan pasal 2 ayat 1 ). Juga terhadap ketentuan pasal 7 ayat 3 huruf (e), yaitu perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU N0.1 Tahun 1974, ini adalah pasal yang amat luas jangkauannya yang tidak memberikan batasan yang jelas.


Rujukan

  • Prof. H. A. Wasit Aulawi, “Pernikahan Harus Melibatkan Orang Banyak”, dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Thn. VII Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1996,
  • Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Departemen Agama RI, 1999/2000,
  • Nasrudin Salim, “isbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam (tinjauan Yuridis, Filosofis dan Sosiologis), dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 62 Th. XIV Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2003.