KEBAHAGIAAN

SUDUT HUKUM | Sebagai awal kajian ini sangat menarik apabila kita merenungkan pendapat Richard Carlson1 tentang fenomena dan eksistensi bahagia, yang menurutnya bahagia adalah hak setiap orang dengan berbagai macam strata dan status, cuma pandang dan pola pemaknaan lebih lanjut ia mengatakan;

Seseorang pernah bertanya kepada saya, “Jika harus memilih satu frasa atau pedoman yang telah membantumu mempertahankan sudut pandang yang tepat ketika orang lain bersikap menjengkelkan, apa yang akan kau pilih?” Kata-kata yang keluar dari mulut saya adalah, “Semua orang berhak merasa bahagia”. Pikirkanlah sebentar. Semua orang ingin bahagia, orang-orang yang kamu kenal dan mereka yang tidak kamu kenal, orang yang kamu sukai dan orang yang tidak kamu sukai. Orang yang baik, orang jahat, semua orang ingin bahagia dan semua orang dengan caranya masing-masing mencoba menjadi bahagia. Bahkan orang-orang yang melakukan hal buruk sering melakukan hal buruk itu sebagai upaya aneh untuk membuat diri mereka sendiri lebih bahagia. Itu hanya bagian sikap manusiawi.

KEBAHAGIAAN

Kalau memperhitungkan faktor ini dalam hidupmu, kamu akan takjub melihat apa yang bisa terjadi pada dirimu. Dari pada menjadi kesal atau merasa terganggu oleh orang lain ketika mereka mengatakan atau melakukan hal-hal yang tidak kamu sukai, kamu malah bisa mempertahankan sudut pandang dan selera humor sambil tetap bersimpati

Kebahagiaan menurut Ahmad Asy-Syarbashi3, merupakan harapan terindah dalam kehidupan yang selalu dihayalkan oleh setiap orang. Manusia selalu mencari kebahagiaan pada setiap waktu dan tempat. Sebagian di antara mereka benar-benar menemukan, meskipun orang-orang yang bahagia sedikit sekali. Sebagian yang lain telah diperdaya oleh buruk sangka dan telah dikalahkan oleh kegelisahan. Mereka menghabiskan hidup mereka dengan keyakinan bahwa mereka tercegah dari kebahagiaan dan bahwa penderitaan adalah bagian yang tak terpisahkan dari mereka, padahal kebahagiaan ada di depan orang-orang yang lalai. Terdapat perbedaan pendapat yang cukup tajam tentang batasan dan penentuan kebahagiaan.

Manusia jika bebas dari belenggu hawa nafsu dan khayalan yang bohong serta angan-angan yang berlebihan, dan ia menyadari bahwa kehidupan tidak murni berisi kebaikan namun perpaduan antara kebaikan dan keburukan, gerakan dan diam, kenyamanan, dan keletihan, sehat dan sakit, kekuatan dan kelemahan, maka ia akan mengetahui jalan kebahagiaan dan akan berusaha mencapainya. Bisa saja ia mencapainya dan menikmatinya di dunia suatu benda yang lebih berharga dari pada kebahagiaan itu sendiri. Rumah, harta dan berbagai pesona dunia tidak dapat menggantikan hakikat kebahagiaan. Tetapi manusia mampu mengenal kebahagiaan sebagai sesuatu yang jauh dari kebinasaan atau ketidaknyamanan.

Ketika seseorang terkena penyakit kronis, dan ia merasakan, lalu ia mulai mencari sebab-sebab yang dapat menyembuhkannya, sehingga ia mendapatkan kesembuhan dan kesehatannya mulai pulih kembali, maka saat itu ia merasakan bentuk kesenangan setelah sebelumnya ia merasakan kepayahan. Ketika manusia terkena kesempitan hidup yang cukup merisaukannya lalu ia berjuang sekuat tenaga untuk mengatasinya, sehingga ia mampu menyingkirkannya dan ia menemukan kembali kedamaiannya, maka saat itu ia

juga merasakan kebahagiaan. Jika seseorang memiliki suatu tujuan yang ingin dicapainya, kemudian ia mencurahkan waktunya, hartanya, tenaga, dan pikirannya, bahkan ia sampai bergadang tengah malam lalu ia pun mencapai tujuan yang diinginkan tersebut, maka saat itu ia merasakan kedamaian dan ketenangan serta kebahagiaan yang mengalir dalam jasmani dan rohaninya. Itu juga termasuk salah satu bentuk kebahagiaan. Demikianlah bahwa setiap kali manusia berhasil melewati suatu penderitaan atau mampu untuk mengatasi suatu kesulitan atau mampu menyingkirkan suatu krisis, maka saat itu terwujudlah dihadapannya suatu kebahagiaan.

Menurut Ahmad Asy-Syarbashi, bahwa kebahagiaan terwujud dengan jelas dalam pelaksanaan kewajiban. Sebab, pelaksanaan kewajiban memiliki kenikmatan rohani yang tidak dapat diketahui kecuali bagi orang yang mempunyai prinsip dalam kehidupan dan berusaha memperjuangkannya. Terkadang saat engkau melaksanakan kewajiban, engkau terkena kesulitan-kesulitan materi yang cukup banyak, namun engkau menganggapnya kecil dan terkadang engkau malah menikmatinya karena ketenangan jiwamu, kedamaian hatimu, keteguhan rohanimu, serta keluhuran hati nuranimu. Ketika engkau bangkit untuk

melaksanakan sesuatu yang menurut keyakinanmu sebagai suatu kewajiban, maka semua penderitaan tersebut akan kau lupakan dan engkau akan dibawanya pindah ke taman kebahagiaan yang mengagungkan, maka berusahalah untuk melepaskan diri dari segala

penderitaanmu dan laksanakanlah kewajibanmu dengan sabar niscaya engkau termasuk orang-orang yang berbahagia.

Definisi Kebahagiaan

Haji Abdul Malik Karim Amirullah atau lebih dikenal dengan Hamka dalam bukunya Tasawuf Modern banyak mengutip berbagai macam pendapat tentang definisi kebahagiaan dalam perspektif yang berbeda. Di antara pendapat yang dikutipnya adalah pendapat Khalid al-Barmaky, Hutai’ah, Zaid bin Tsabit, Ibnu Khaldun, Abu Bakar Ar-Razi dan Al-Ghazali.

Yahya bin Khalid al-Barmaky, seorang wazir yang mashur di dalam Daulat Bani Abbas, berpendapat bahwa kebahagiaan adalah sentosa perangai, kuat ingatan, bijaksana akal, tenang dan sabar menuju maksud, sedangkan Hutai’ah dalam sebuah syairnya ia menulis; “Menurut pendapatku bukanlah kebahagiaan itu pada mengumpulnya harta benda, tetapi taqwa akan Allah itulah bahagia, taqwa akan Allah itulah bekal yang sebaik-baiknya disimpan pada sisi Allah sajalah kebahagiaan para orang yang taqwa”.

Menurut Zaid bin Tsabit kebahagiaan adalah jika petang dan pagi seorang manusia telah memperoleh aman dari gangguan manusia itulah dia orang yang bahagia. Sedangkan Ibnu Khaldun berpendapat bahagia itu adalah tunduk dan patuh mengikuti garis-garis Allah dan perikemanusiaan. Di sisi lain Abu Bakar Ar-Razi, berpendapat bahagia yang dirasakan oleh seorang tabib, ialah jika ia dapat menyembuhkan orang yang sakit dengan tidak mempergunakan obat, cukup dengan mempergunakan aturan makan saja, sebagai wacana tambahan al-Ghazali berpendapat bahagia adalah kelezatan yang sejati yaitu bilamana manusia dapat dengan tetap mengingat Allah.

Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita rasa nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing, maka kelezatan ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain di tubuh manusia. Adapun kelezatan hati ialah teguh ma’rifat kepada Allah, karena hati itu dijadikan ialah buat mengingat Tuhan. Tiap-tiap barang yang dahulunya tiada dikenal oleh manusia, bukan buatan gembiranya

jika telah dikenalnya. Tak ubahnya dengan orang yang baru pandai bermain catur, dia tidak berhenti-henti bermain, meskipun telah dilarang berkali-kali, tidak sabar hatinya kalau tidak bertemu dengan buah dan papan catur itu. Demikian pulalah hati, yang dahulunya belum ada ma’rifatnya kepada Tuhannya, kemudian itu dia mendapat nikmat mengenal-Nya, sangatlah gembiranya dan tidak sabar dia menunggu masa akan bertemu dengan Tuhan itu, karena kelezatan mata memandang yang indah tadi. Tiap-tiap bertambah besar ma’rifat, bertambah pula besar kelezatan.

Konsep kebahagiaan al-Ghazali secara garis besar bergantung pada tiga hal yaitu kekuatan amarah, kekuatan syahwat dan kekuatan ilmu. Ketiganya harus ada pada posisi dan porsi seimbang, jangan berlebih-lebihan menurut kekuatan amarah, yang menyebabkan mempermudah yang sukar dan membawanya pada penyesalan. Jangan pula berlebih-lebihan pada kekuatan syahwat, sehingga membawa pada jati diri yang paradoks dan membawa kesia-siaan. Yang dibutuhkan adalah keseimbangan antara kekuatan syahwat, dan marah, bila ini terjadi luruslah jalan menuju Tuhan. Maka sangat perlunya

manusia berjalan di tengah-tengah di antara tiga kekuatan itu. Jangan berlebihlebihan menurutkan kekuatan marah, yang menyebabkan mempermudah yang sukar dan membawanya kepada binasa. Jangan pula berlebih-lebihan pada kekuatan syahwat, sehingga menjadi seorang yang humuq (pandir), yang membawa kerusakan pula. Maka jika kekuatan syahwat dan marah itu ditimbang baik-baik dan diletakkan di tengah-tengah luruslah perjalanannya menuju petunjuk Tuhan. Demikianlah pula dari hal marah. Kalau kemarahan itu berlebihan dari yang mesti, hilanglah diri dari perasaan cemburu dan hilang pula perasaan bertanggung jawab atas agama dan keperluan hidup atas dunia.

Tetapi kalau marah terletak di tengah-tengah, timbullah kesabaran, keberanian dalam perkara yang memerlukan keberanian, dan segala pekerjaan dapatlah dikerjakan menurut hikmat.

Demikian pula hanya dengan syahwat, kalau syahwat itu bertambah-tambah, terjadilah fasiq (melanggar perintah Alah). Kalau syahwat kurang terjadilah kelemahan hati dan pemalas. Kalau syahwat berjalan di tengah-tengah, timbullah ‘Iffah artinya dapat memerintah diri sendiri, dan qanaah, yaitu cukup dengan apa yang ada serta tidak berhenti berusaha. Kata beliau, “Di dalam batin engkau ada terkumpul beberapa sifat yang ganjil, serta kebinatangan, sifat keganasan dan sifat malaikat.

Tetapi dirimu yang sejati ialah nyawamu, rohmu. Hendaklah engkau tahu bahwa sifat-sifat yang tersebut tadi bukan kejadian yang asli dari jiwamu, dia hanya sifat-sifat yang mendatang kemudian. Sebab itu hendaklah engkau perhatikan baik-baik dan ketahui pula makanan apakah yang setuju dengan sifat-sifat tadi, untuk mencapai bahagia.

Kebahagiaan sifat kebinatangan ialah makan, minim, tidur dan sebagainya. Kalau engkau dimasuki oleh sifat kebinatangan itu lebih dari pada ukuran yang mesti, tentu engkau hanya bersungguh-sungguh memikirikan makan, dan minum saja.

Deskripsi di atas adalah kajian tentang definisi kebahagiaan dilihat dari sudut pandang religiusitas berikut ini akan dikaji definisi kebahagiaan dengan sudut pandang yang berbeda, yaitu dengan paradigma filosofis yang menyajikan pemikiran dari Puspoprojo, Aristoteles yang mewakili filsafat klasik dan Louis O.Kattsoff.

Kebahagiaan dalam perspektif Puspoprojo adalah keinginan yang terpuaskan karena disadari memiliki sesuatu yang baik secara lebih spesifik ia memfokuskan pendapatnya pada konsep seseorang dapat merasa puas dan pasti mampu membatasi keinginan-keinginannya dengan membuat kompromi yang bijaksana, tetapi ada satu hal penting yang menurutnya perlu diberi perhatian khusus adalah bahwa kepuasan jasmani semata bukanlah kebahagiaan. Sebenarnya hanya mahkluk yang berakal budi saja yang benarbenar dapat bahagia. Sebab hanya merekalah yang dapat merenungkan keadaanya, menyadari, serta mengerti kepuasan yang mereka alami.

Kebahagiaan adalah keadaan subjektif yang menyebabkan seseorang merasa dalam dirinya ada kepuasan keinginannya dan menyadari dirinya memiliki sesuatu yang baik. Keadaan semacam itu hanya ada dalam sesuatu yang mampu merenungkan dirinya dan sadar akan dirinya, yaitu makhluk yang berakal budi.

Kebahagiaan tidaklah sama dengan kegembiraan atau kesenangan. Kebahagiaan adalah suatu keadaan yang berlangsung (a lasting condition) dan bukanlah suatu perasaan atau emosi yang berlalu. Secara umum boleh jadi seseorang merasa bahagia meskipun ia sedang menderita kesedihan, demikian pula seseorang yang mengalami ketidakbahagiaan yang kronis juga bisa mengenal saat-saat gembira. Juga kebahagiaan bukanlah suatu disposisi atau sikap jiwa yang riang gembira, meskipun tidak disangkal bahwa hal-hal tersebut bisa menolong ke arah kebahagiaan. Sebab sebagian orang dapat memiliki perilaku demikian meskipun dalam menghadapi kekecewaan.

Seseorang itu merasa bahagia dengan sempurna karena ia secara utuh memiliki yang baik dan sempurna. Kebahagiaan sempurna itu datang dan sepenuhnya memuaskan segala keinginan kita, sedangkan kebahagiaan disebut tidak sempurna apabila tidak memuaskan semua keinginan kita atau, andaikata dapat memuaskan semua keinginan, tetapi tidaklah memuaskan keinginan dengan sepenuhnya. Guna menghindari kekacauan, hendaknya diperhatikan dengan sungguh-sungguh di sini bahwa filsafat moral memandang kebahagiaan kodrati saja (natural happiness).

Kebahagiaan kodrati adalah pemuasan segala hasrat yang termasuk dan muncul dari kodrat telanjang manusia (man’s bare nature). Aristoteles berpendapat bahwa kebahagiaan bukanlah suatu perolehan untuk manusia dan corak bahagia itu lain-lain dari berbagai ragam, menurut corak dan ragam orang yang mencarinya. Kadang-kadang sesuatu yang dipandang bahagia oleh seseorang, tidak demikian oleh orang lain, sebab kebahagian merupakan suatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang menurut kehendak masing-masing.

Ia juga berpendapat bahwa bahagia itu bukan mempunyai arti dari satu kejadian, melainkan berlainan coraknya menurut tujuan masing-masing manusia. Bahagia adalah tujuan akhir tiap-tiap manusia. Pendapat Aristoteles ini akan semakin beda apabila dipadukan dengan pendapat Hendrik Ibsen, yang secara mendasar ia frustasi dan kecewa dengan realitas bahagia ini. Hendrik berpendapat bhawa mencari bahagia itu hanya menghabiskan umur, karena jalan untuk menempuhnya sangat tertutup. Setiap usaha untuk melangkah ke sana senantiasa memperoleh kecewa, karena mulamula orang yang menujunya menyangka bahwa perjalanan telah dekat, tetapi secara nyata sangat jauh. Menurutnya, manusia belum pernah mencapai bahagia sebab setiap jalan yang ditempuh menjauhkan jalan manusia kepadanya.

Pendapat Hendrik Ibsen ini kontraproduktif dengan Leo Tolsyoy, secara mendasar ia berargumen bahwa yang menjadi sebab manusia putus asa di dalam mencari bahagia ialah karena bahagia itu diambilnya untuk dirinya sendiri bukan untuk bersama. Padahal segala

bahagia yang diborong untuk sendiri itu mustahil berhasil karena bahagia semacam itu selalu mengganggu kebahagiaan orang lain. Orang lain yang terganggu akhirnya responsif jika ia tersinggung dan berusaha mempertahankan diri oleh sebab itu bukan lagi menuntut bahagia memberi keuntungan, tetapi memberi kerugian bersama, pendapat Tolstoy ini mendapat pengakuan dari Bertrand Russel dan George Bernard Snaw.

Louis O.Kattsoff mengkaji kebahagiaan ini dikorelasikan dengan etika. Diawal kajiannya ia memperkenalkan istilah teknik. Suatu ajaran yang mendasarkan diri pada suatu tujuan terakhir dinamakan ajaran teologis, sedangkan sebuah teori yang mengajarkan bahwa perbuatan-perbutan kesusilaan berusaha mencari serta menemukan kebahagiaan atau kenikmatan dikatakan bersifat teologis. Yang namanya tujuan dapat berupa apa saja.

Tujuan dapat pula dimisalkan berupa keselamatan abadi dan suatu teori yang memberi titik berat pada kenikmatan atau kebahagiaan dikatakan bersifat hedonistik. Hedonisme adalah suatu teori yang mengatakan bahwa kenikmatan atau akibat-akibat yang nikmat dalam dirinya sudah mengandung kebaikan. Dalam usaha memilah-milah berbagai corak hedonisme menurutnya perlu secara hati-hati dibedakan antara teori yang mengatakan bahwa manusia dalam kenyataannya mencari kenikmatan (Hedonisme Psikologis) dengan prinsip yang mengatakan bahwa manusia seharusnya mencari kenikmatan (Hedonisme Etnis), juga orang mungkin berpendirian seharusnya yang kita usahakan ialah kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi diri sendiri (Hedonisme Egoistik) atau dengan pandangan yang mengatakan bahwa satusatunya prinsip kesusilaan ialah kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi seluruh manusia (Hedonisme Utilitarianisme atau Altruistis).