Pertanggungjawaban Pidana

SUDUT HUKUM | Pertanggungjawaban Pidana

A. Pertanggungjawaban Pidana menurut Hukum Pidana Islam


a. Pengertian dan sebab-sebab penghapus tindak pidana dalam Pertanggungjawaban Pidana


Hukum Islam mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari aturan yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya maupun hubungan sesama manusia itu sendiri. Salah satu ruang lingkup itu adalah hukum pidana Islam yang dalam tradisi fiqih disebut dengan istilah jarimah atau jinayah, yang secara terminologis bermakna tindak pidana atau delik yang dilarang oleh syari’at dan diancam dengan hukuman bagi pelanggarnya.



Salah satu prinsip dalam syari’at Islam adalah seseorang tidak bertanggung jawab kecuali terhadap jarimah yang telah diperbuatnya sendiri dan bagaimanapun juga tidak bertanggungjawab atas perbuatan jarimah orang lain.



Prinsip tersebut berkali-kali ditandaskan dalam al-Quran dalam beberapa ayatnya yaitu sebagai berikut :

Katakanlah: “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu, dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain


“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”

“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabbmu Menganiaya hamba-hambaNya.”

“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.”



Suatu perbuatan tidak dapat dianggap sebagai suatu tindak pidana sebelum ada ketentuan Undang-undang yang melarang. Suatu perbuatan dan pelanggaran dari ketentuan Undang-undang tersebut berakibat pada pelaku tindak pidana untuk diminta pertanggungjawabannya.



Pertanggungjawaban Pidana (al-Mas’uliyyah alJināiyyah) ditegakkan atas 3 hal, yaitu:

  • pelaku melakukan perbuatan yang dilarang
  • pelaku mengerjakan dengan kemauan sendiri (mukhtar)
  • pelaku mengetahui akibat perbuatannya (mudrik)

Ketiga hal tersebut di atas harus terpenuhi, sehingga bila salah satunya tidak terpenuhi maka tidak ada Pertanggungjawaban Pidana. Pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan hukum dapat berupa berbuat atau tidak berbuat. Pelaku jarimah dapat dihukum apabila perbuatannya dapat dipersalahkan. Setiap perbuatan pidana atau peristiwa pidana itu harus mengandung unsur-unsur sifat melawan hukum, perbuatan tersebut dapat dipersalahkan dan perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang dalam hukum dinyatakan perbuatan yang dapat dihukum.


Lebih lanjut dikatakan bahwa jarimah dapat dipersalahkan terhadap pelakunya apabila pelaku tersebut sudah berakal, cukup umur, dan bebas berkehendak. Dalam arti pelaku tersebut terlepas dari unsur paksaan dan dalam keadaan kesadaran yang penuh. Sedangkan menurut syari’at Islam Pertanggungjawaban Pidana didasarkan atas dua perkara, yaitu kekuatan berpikir dan pilihan (iradah dan ikhtiar). Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut perbedaan masa yang dilalui hidupnya.


Unsur-unsur jarimah dalam hukum pidana Islam, yaitu:


  1. Adanya nas yang melarang dan mengancam perbuatan itu
  2. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah
  3. Si perbuat adalah mukallaf

Pada dasarnya orang yang melakukan jarimah itu dihukum, tetapi ada yang di antaranya tidak dihukum karena mabuk, gila dan belum dewasa.



Dalam syarat sahnya memberi hukuman kepada mukallaf ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

  1. sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif yakni ia harus mampu memahami nas-nas hukum yang dibebankan al-Qur’an dan sunnah baik langsung maupun yang melalui perantara.
  2. Sang mukallaf harus orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya, pengertian ahli secara etimologis adalah kelayakan atau layak.

Oleh karena itu kedua syarat tersebut apabila telah terdapat pada seseorang maka ia dapat dikenai pertanggungjawaban. Jadi prinsip dasar dari kedua prinsip syarat tersebut adalah kemampuan membedakan dengan menggunakan akalnya. Tanggung jawab dapat diartikan bertindak tepat tanpa perlu diperingatkan. Sedang bertanggung jawab merupakan sikap tidak tergantung dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. Jelasnya pengertian tanggung jawab di sini adalah kesadaran yang ada dalam diri seseorang bahwa setiap tindakan akan mempunyai pengaruh bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri.


Dalam hukum pidana Islam, Pertanggungjawaban Pidana dapat terhapus karena adanya sebab-sebab tertentu baik yang berkaitan dengan perbuatan si pelaku tindak pidana maupun sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pembuat delik.62 Dalam keadaan pertama, perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang mubah (tidak dilarang), sedangkan dalam keadaan kedua perbuatan tersebut tetap dilarang tapi tidak dijatuhi hukuman ketika melakukannya.


Seperti kejahatan yang dilakukan dalam keadaan dipaksa, tidak akan ada tuntutan hukum atas hal tersebut asalkan terbukti benarnya, kemudian kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidak sadar seperti mengigau, meskipun dia tampak awas, namun dia tetap tertidur. Maka secara hukum dia tidak bertanggungjawab, begitu juga dengan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang masih anak-anak dan seseorang yang dalam keadaan gila atau sakit saraf.


a. Pembolehan perbuatan yang dilarang.

Pada dasarnya perbuatan yang dilarang oleh hukum Islam itu diharamkan tetapi terdapat pengecualian yaitu pembolehan sebagaian perbuatan yang dilarang bagi orang yang memiliki karakter-karakter khusus sebab kondisi seseorang atau keadaan masyarakat menuntut adanya pembolehan ini. Juga karena orang yang diperkenankan untuk melakukan perbuatan yang dilarang sebenarnya melakukannya untuk mencapai suatu tujuan atau beberapa tujuan hukum Islam. Contohnya membunuh. Perbuatan ini diharamkan bagi setiap orang. Hukuman bagi pembunuh sengaja adalah qishash yaitu hukuman mati. Tetapi hukum Islam meberikan hak dalam pelaksanaan hukuman mati kepada wali korban.


b. Hak dan kewajiban

Antara hak dan kewajiban pada dasarnya adalah dua hal yang berbeda. Melakukan hak hanya bersifat boleh, sedangkan melakukan kewajiban bersifat harus secara mutlak. Meskipun hak dan kewajiban berbeda pada tabiatnya, keduanya sejalan dari segi pidana yaitu bahwa perbuatan yang dilakukannya baik menjalankan kewajiban maupun menggunakan hak merupakan perbuatan yang diperbolehkan dan tidak dianggap sebagai tindak pidana. Satu perbuatan dianggap sebagai hak bagi seseorang, namun dianggap sebagai kewajiban bagi orang lain. Misalnya: membunuh sebagai hukuman qishash adalah hak bagi wali korban tapi qishash menjadi wajib bagi algojo yang ditugaskan untuk menjalankannya. Pendidikan dalam mazhab hanafi adalah hak bagi suami dan ayah, namun merupakan kewajiban bagi guru dan pengajar.




  1. Hak tidak mungkin dapat dijatuhi hukuman karena meninggalkannya, sedangkan kewajiban ada kemungkinan dijatuhi hukuman karena meninggalkannya. Ketetapan ini telah disepakati oleh para fuqaha
  2. Hak terikat dengan syarat keselamatan, sedangkan kewajiban tidak terikat dengan syarat keselamatan. Maksudnya, orang yang menggunakan haknya senantiasa bertanggungjawab atas keselamatan objek karena dia dapat memilih antara melakukan perbuatan yang menjadi haknya atau meninggalkannya.

Orang yang memiliki kewajiban dia tidak bertanggung jawab atas keselamatan si objek karena keharusan untuk menjalankan kewajiban tersebut dan tidak bisa dittinggalkannya (menurut Imam Abu Hanifah dan Iman Asy- Syafi’i). Adapun Iman Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa hak sama seperti kewajiban yaitu tidak terikat oleh syarat keselamatan karena menggunakan hak dalam batasan yang telah ditetapkan merupakan perbuatan yang mubah dimana tidak adapertanggungjaawaban terhadap sesuatu yang diperbolehkan.



Pertanggungjawaban Pidana dapat hapus karena hal-hal yang bertalian dengan pebuatan atau karena hal-hal yang bertalian dengan pelaku. Sebabsebab yang berkaitan dengan perbuatan yang diperbolehkan disebut asbab al ibahah. Sedangkan sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pelaku disebut asbab raf’i al-uqubah. Abdul Qadir Audah sebagaimana dikutip Ahmad Wardi Muslich menngemukakan bahwa sebab diperolehkannya perbuatan yang terlarang terdapat enam macam yaitu:


  • difa’ asysyar’i (pembelaan yang sah)
  • ta’dib (mendidik)
  • pengobatan
  • permainan kesatriaan
  • halalnya jiwa, anggota badan dan harta (ihdar) seseorang
  • hak dan kewajiban penguasa

Asbab raf’i al uqubah terbagi menjadi empat yaitu:


  1. Paksaan
  2. Mabuk
  3. Gila
  4. Anak di bawah umur

3) Sebab dan tingkat pertanggung jawaban pidana

Apabila Pertanggungjawaban Pidana tergantung kepada adanya perbuatan melawan hukum, sedangkan perbuatan melawan hukum itu bertingkat maka pertanggungjawaban juga bertingkat-tingkat. Hal ini disebabkan karena kejahatan seseorang itu erat kaitannya dengan niatnya.


  1. sengaja (al Amdu)
  2. menyerupai sengaja (Syibhu al ‘Amd)
  3. keliru (al Khata’)

4) Yang mempengaruhi Pertanggungjawaban Pidana

a. Pengaruh tidak tahu

Ketentuan yang berlaku dalam syariat Islam adalah bahwa pelaku tidak dihukum karena suatu perbuatan yang dilarang, kecuali mengetahui dengan sempurna tentang dilarangnya perbuatan tersebut maka tidak dibebani Pertanggungjawaban Pidana. Dengan adanya kemungkinan untuk mengetahui maka setiap mukallaf dianggap mengetahui semua hukum atau undang-undang walaupun dalam kenyataannya banyak dari mereka yang tidak mengetahui.


Tidak tahu tentang arti suatu undang-undang dipersamakan dengan tidak tahu bunyi undang-undang itu sendiri dan kedudukannya, maka tidak bisa diterima sebagai alasan pembebasan hukuman. Dalam hukum positif kesalahan pengertian ini disebut sebagai salah tafsir. Salah satu contoh yang terkenal dalam syari’at Islam tentang salah tafsir adalah bahwa kelompok kaum muslimin di negeri Syam, minum minuman keras karena menganggap minuman tersebut dihalalkan, dengan beralasan firman Allah SWT

“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.



Tetapi meskipun mereka salah menafsirkan ayat tersebut, mereka tetap dijatuhi hukuman juga.



b. Pengaruh lupa

Lupa adalah tidak siapnya sesuatu pada waktu diperlukan. Dalam syari’at Islam, lupa disejajarkan dengan keliru. Para fuqaha terbagi dua kelompok dalam membahas hukum dan

pengaruh lupa:

a) Lupa adalah alasan yang umum baik dalam urusan ibadah maupun pidana. Berdasarkan prinsip umum yang menyatakan bahwa orang yang mengerjakan perbuatan yang dilarang karena lupa, tidak berdosa dan dibebaskan dari hukuman. Meskipun demikian tetap dikenakan pertanggungjawaban perdata apabila perbuatannya menimbulkan kerugian orang lain.

b) Lupa hanya menjadi alasan hapusnya hukuman akhirat, karena hukumna akhirat didasarkan atas kesengajaan sedangkan orang lupa kesengajaan itu sama sekali tidak ada. Untuk hukuman dunia, lupa tidak bisa menjadi alasan hapusnya hukuman sama sekali kecuali hal yang berhubungan dengan hak Allah dengan syarat adanya motif yang wajar untuk melakukan perbuatannya itu dan tidak ada hal yang mengingatkannya sama sekali. Meskipun demikian pengakuan lupa dari pelaku tidak bisa membebaskannya dari hukuman sebab pelaku harus dapat membuktikan kelupaannya dan hal ini sangat sulit dilakukan.


c. Pengaruh keliru

Keliru adalah terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku. Dalam jarimah yang terjadi karena kekeliruan, pelaku melakukan perbuatan tersebut bukan karena niat atau kesengajaan melainkan karena kelalaian dan kurang hati-hati. Dalam segi Pertanggungjawaban Pidana orang yang keliru dipersamakan dengan orang yang sengaja berbuat, apabila perbuatan yang dilakukannya itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Sebenarnya Pertanggungjawaban Pidana hanya dibebankan kepada perbuatan sengaja yang diharamkan oleh syara’ dan tidak dikenakan terhadap kekeliruan.


Dengan adanya ketentuan pokok dan yang satu lagi merupakan pengecualian dari ketentuan pokok maka untuk dapat dikenakan hukuman atas perbuatan karena kekeliruan harus terdapat ketentuan yang tegas dari syara’. Jadi apabila syara’ tidak menentukan hukuman untuk suatu perbuatan karena kekeliruan maka tetap berlaku ketentuan pokok yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak dikenakan hukuman.


Perbuatan yang berkaitan dengan jarimah dan hubungannya dengan Pertanggungjawaban Pidana ada 3:


  1. Perbuatan langsung (mubasyaroh), Suatu perbuatan yang dengan langsung tanpa perantara telah menimbulkan jarimah dan sekaligus menjadi illat bagi jarimah tersebut, seperti penembakan seseorang dengan pistol terhadap orang lain yang mengakibatkan kematian
  2. Perbuatan sebab, Suatu perbuatan yang secara tidak langsung menimbulkan jarimah dan menjadi illat-nya pula, tapi dengan perantara perbuatan lain, seperti persaksian palsu atas orang yang sebenarnya tidak bersalah bahwa telah melakukan pembunuhan
  3. Perbuatan syarat, Suatu perbuatan yang tidak menimbulkan jarimah dan tidak menjadi illatnya seperti orang yang membuat sumur untuk keperluan sehari-hari tetapi digunakan oleh orang lain (orang kedua) untuk menjerumuskan orang ketiga sampai meninggal. Dalam contoh tersebut, adanya sumur menjadi syarat kematian korban dan penjerumusan adalah perbuatan langsung.

Bagi pembuat syarat, tidak ada Pertanggungjawaban Pidana selama dengan perbuatannya itu tidak bermaksud untuk turut serta, memudahkan atau memberi bantuan untuk terlaksananya jarimah. Sedangkan bagi pelaku perbuatan langsung dan sebab dikenakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya karena keduanya merupakan illat (sebab) adanaya jarimah.


B. Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP

Dalam sistem hukum pidana positif, Pertanggungjawaban Pidana terkait erat dengan kesalahan dan perbuatan melawan hukum, sehingga seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu:


  1. Unsur obyektif, yaitu harus ada unsur melawan hukum.
  2. Unsur subyektif, yaitu terhadap pelakunya harus ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan.

Menurut Pompe, sebagaimana dikutip oleh Martiman Projohamidjojo, unsur-unsur toerekenbaarheid (pertanggungjawaban), adalah :


  • Kemampuan berfikir (psychis) pada pembuat yang memungkinkan pembuat menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya.
  • Dapat mengerti makna dan akibat perbuatannya.
  • Pembuat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya (tentang makna dan akibat)

Satochid Kartanegara menyatakan bahwa toerekeningsvatbaarheid atau dapat dipertanggungjawabkan adalah mengenai keadaan jiwa seseorang, sedangkan toerekenbaarheid (pertanggungjawaban) adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan sipelaku atau pembuat. Dalam sistem hukum pidana positif (KUHP), pelaku tindak pidana tidak dapat dikenakan pidana apabila tidak dapat dasar peniadaan pidana sebagai berikut:

a. Alasan yang membenarkan atau menghalalkan perbuatan pidana, adalah:

1) Keperluan membela diri atau noodweer (Pasal 49 ayat 1 KUHP)

2) Melaksanakan ketentuan undangundang (Pasal 50 KUHP)

3) Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh seorang penguasa yang berwenang (Pasal 51 ayat 1 KUHP)


Ketiga alasan ini menghilangkan sifat melawan hukum dari suatu tindakan sehingga perbuatan si pelaku menjadi diperbolehkan.



b. Alasan yang memaafkan pelaku, hal ini termuat dalam :


  • Pasal 44 ayat 1 KUHP, yang menyatakan seseorang tidak dapat dipertanggung jawabkan perbuatannya, disebabkan jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing)
  • Pasal 48 KUHP, yang menyatakan seseorang yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana
  • Pasal 49 ayat 2 KUHP, menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
  • Pasal 51 ayat 2 KUHP, menyatakan terhapusnya pidana karena perintah jabatan tanpa wenang, jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wenang, dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaanya.

Ketentuan-ketentuan tentang alasan dan hal-hal yang mempengaruhi pemidanaan ini bersifat umum, sehingga berlaku juga pada kejahatan terhadap nyawa. Dalam mengartikan sebuah delik atau tindakan yang dapat dipidana haruslah ada unsur-unsur tertentu di dalamnya, unsur-unsur tersebut menurut hukum positif yaitu : Suatu perbuatan, Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman, dan Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.