Biografi Ibnu Qudamah

SUDUT HUKUM | Ibnu Qudamah memiliki nama lengkap yaitu Syaikh Muwaffiq al-Din Abu Muhammad, Abdullah bin Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Qudamah al-Hanbali bin Miqdam Ibnu Abdullah al-Maqdisi al-Dimasyqi. Seorang ulama‟ besar dibidang ilmu fiqh, yang kitab-kitab fiqhnya merupakan standar bagi madzhab Hanbali, dan beliau lahir pada bulan Sya‟ban tahun 541H/1147M di Jama‟i Damaskus Syuriah.
Ibnu Qudamah menurut sejarawan merupakan keturunan Umar Ibnu Khatab r.a. melalui jalur Abdullah Ibnu Umar Ibnu al-Khatab (Ibnu Umar). Pada tahun 551H (usia 10 tahun) ayahnya yaitu Abul Abbas Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah, hijrah bersama keluarganya dengan kedua anaknya, Abu Umar dan Ibnu Qudamah, juga saudara sepupu mereka, Abdul Ghani al- Maqdisi, berhijrah dan mengasingkan diri ke Yerussalem selama dua tahun. Yaitu di lereng bukit Ash-Shaliya, Damaskus. Setelah dua tahun di sana, mereka pindah ke kaki gunung Qaisyun di Shalihia, Damaskus, sebuah desa di Libanon. Ibnu Qudamah menghafal Al Quran dan menimba ilmu-ilmu dasar kepada ayahnya, Abul Abbas, seorang ulama‟ yang memiliki kedudukan mulia serta seorang yang zuhud. Di desa inilah beliau memulai pendidikannya dengan mempelajari Al-Qur‟an dan menghafal Mukhtasyar al-Kharaqi dari ayahnya sendiri. Selain dengan seorang ayah, beliau juga belajar dengan Abu al-Makarim, Abu al-Ma‟ali, Ibnu Shabir serta beberapa Syaikh di daerah itu.
Pada tahun 561H dengan ditemani putra pamannya Al-Hafidz Abdul Ghoni, Ibnu Qudamah berangkat ke Baghdad Irak untuk menimba ilmu, khususnya dibidang fiqh.
Beliau menimba ilmu di Irak dari beberapa Syaikh, diantaranya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (470H/1077M-561H/1166M) Saat itu Syaikh berumur 90 tahun. beliau mengaji kepadanya “Mukhtasar AlKhiraqi” dengan penuh ketelitian dan pemahaman yang dalam, karena beliau telah hafal kitab itu sejak di Damaskus. Kemudian wafatlah Syaikh Abdul Qodir Jailani rahimahullah.
Pada tahun 574 H beliau pergi ke mekkah untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus menimba ilmu dari syaikh Al-Mubarok Ali Ibnu al-Husain Ibnu Abdillah Ibn Muhammad al-Thabakh al-Baghdadil (wafat 575 H), seorang ulama‟ besar madzhab Hanbali dibidang fiqh dan ushul fiqh, Kemudian kembali ke Baghdad dan berguru selama satu tahun kepada Abu Al-Fath Ibn al-Manni, yang juga seorang ulama‟ besar madzhab Hanbali dibidang fiqh dan ushul fiqh.
Setelah itu kembali ke Damaskus untuk mengembangkan ilmunya dengan mengajar dan menulis buku. Selanjutnya beliau belajar dengan Syaikh Nasih al-Islam Abul Fath Ibnu Manni mengenai madzhab Ahmad dan perbandingan madzhab. beliau menetap di Baghdad selama 4 tahun. Di kota itu juga beliau mengaji hadits dengan sanadnya
secara langsung mendengar dari Imam Hibatullah Ibnu Ad-Daqqaq dan ulama’lain.
Diantaranya Ibnu Bathi Sa‟addullah bin Dujaji, Ibnu Taj al-Qara, Ibnu Syafi‟i, Abu Zuriah, dan Yahya Ibnu Tsabit. Setelah itu beliau pulang ke Damaskus dan menetap sebentar di keluarganya. Lalu kembali ke Baghdad tahun 576 H.
Dalam kunjungannya yang kedua di Baghdad, beliau melanjutkan untuk mengaji hadits selama satu tahun, mendengar langsung dengan sanadnya dari Abdul Fath Ibn Al-Manni. Setelah itu beliau kembali ke Damaskus, di sana dia mulai menyusun kitabnya “Al-Mughni Syarh Mukhtasar Al-Khiraqi” (fiqih madzhab Imam Ahmad bin Hanbal). Kitab ini tergolong kitab kajian terbesar dalam masalah fiqih secara umum, dan khususnya di madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sampai-sampai Imam „Izzudin Ibn Abdus Salam As-Syafi‟i, yang digelari Sulthanul ulama„ mengatakan tentang kitab ini: “Saya merasa kurang puas dalam berfatwa sebelum saya menyanding kitab Al-Mughni.”
Banyak para santri yang menimba ilmu hadis kepadanya, fiqih, dan ilmuilmu lainnya. Dan banyak pula yang menjadi ulama fiqih setelah mengaji kepadanya. Diantaranya, keponakannya sendiri, seorang qadhi terkemuka, Syaikh Syamsuddin Abdur Rahman bin Abu Umar dan ulama lain seangkatannya. Di samping itu beliau masih terus menulis karya-karya ilmiah di berbagai disiplin ilmu, lebih-lebih di bidang fiqih yang dikuasainya dengan matang.
Murid-muridnya yang menonjol antara lain adalah dua orang anak kandungnya, yakni Abu al-Fajr Abdurrahman Ibnu Muhammad Ibnu Qudamah, ketika itu (ketua mahkamah agung di Damaskus). Dan al-Imam Ibrahim Ibnu Abdul Wahib Ibnu Ali Ibnu Surur al-Maqdisi al-Dimasqy (di kemudian hari menjadi ulama‟ besar dikalangan madzhab Hanbali) sejak menjadikan dirinya sebagai pengajar di daerah itu sampai wafat pada tahun 620 H/ 1224 M.
Ibnu Qudamah selain sibuk dengan mengajar dan menulis buku, sisa hidupnya juga diabadikannya untuk menghadapi perang salib melalui pidatopidatonnya yang tajam dan membakar semangat umat Islam. Beliau sebagai ulama‟ besar Hanabilah yang zuhud, wara‟, dan ahli ibadah serta mengusai semua bidang ilmu, baik Al-Qur‟an dan tafsirnya, ilmu hadis, fiqh dan ushul fiqh, faraid, nahwu, hisab dan lain sebagainya.
Gurunya sendiri Al-Fath Ibn al-Manni mengakui keunggulan dan kecerdasan Ibnu Qudamah, sehingga ketika beliau akan meninggalkan Irak setelah berguru kepadanya, gurunya ini enggan melepasnya, seraya berkata; “Tinggalah engkau di Irak ini karena jika engkau pergi, tidak ada lagi ulama‟ yang sebanding dengan engkau disini.”
Sebagaimana yang diceritakan oleh Sabth Ibn al-Jauzi di mana beliau pernah berkata dalam hati (ber-‟azam) seandainya aku mampu, pasti akan kubangun sebuah madrasah untuk Ibnu Qudamah dan akan aku beri seribu Dirham setiap harinya. Selang beberapa hari beliau bertandang ke kediaman Ibnu Qudamah untuk bersilaturrahmi, seraya tersenyum, Ibnu Qudamah berkata kepadanya, “Ketika seorang berniat melakukan sesuatu yang baik, maka dicatat baginya pahala niat tersebut.” Pengakuan ulama‟ besar terhadap luasnya Ibnu Qudamah dapat dibuktikan zaman sekarang melalui karya-karya tulis yang ditinggalkannya.
Sebagai seorang ulama‟ besar dikalangan madzhab Hanbali, beliau meninggalkan beberapa karya besar yang menjadi standar dalam madzhab Hanbali. Karyanya dalam bidang ushuluddin sangat bagus, kebanyakan menggunakan metode para muhaditsin yang dipenuhi hadits-hadits atsar beserta sanadnya, sebagaimana metode yang digunakan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal dan Imam-imam hadits lainnya.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abdul Aziz Abdurrahman Al- Said, seorang tokoh fiqh arab Saudi, karya-karya Ibnu Qudamah dalam berbagai bidang ilmu seluruhnya berjumlah 31 karya atau buah, dalam ukuran besar dan kecil.
Imam Ibnu Qudamah wafat pada hari Sabtu, tepat di hari Idul Fitri tahun 629 H. Beliau dimakamkan di kaki gunung Qasiun di Shalihiya, di sebuah lereng di atas Jami‟ Al-Hanabilah (masjid besar para pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal).

(INAYATUS SHOLIKHAH)