ISIS Masuk Aceh

SUDUT HUKUM | ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) mengklaim sudah berhasil membentuk jaringannya di 21 kabupaten/kota di Aceh dan merekrut ribuan warga provinsi ini. Mereka juga mengaku ISIS Aceh berada langsung di bawah komando tertinggi, Abu Bakar Al-Baghdadi. Benarkah klaim tersebut? Serambi mengungkapkannya dalam laporan eksklusif edisi ini.


ISIS Masuk Aceh

Pemerintah telah melarang gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) berkembang di Indonesia. Beberapa pentolan ISIS bahkan telah ditangkap. Namun faktanya, jaringan kelompok militan jihad itu diam-diam malah merambah hingga ke Aceh. Aceh disebut-sebut masuk dalam 16 provinsi yang dimasuki ISIS untuk memperluas wilayah kekuasaannya setelah di Irak dan Suriah.


Penelusuran Serambi, gerakan ISIS di Aceh masih bersifat under ground (bawah tanah). Selain aktif membaiat para anggota, jaringan “Negara Islam di Irak dan Suriah” itu juga berusaha memperluas pengaruhnya dengan merekrut simpatisan maupun anggota di berbagai wilayah.

ISIS Masuk Aceh
Sumber Serambi bernama Abu Jundullah yang mengaku menjabat sebagai Juru Bicara ISIS Perwakilan Aceh dalam sebuah wawancara khusus dengan Serambi, Minggu 3 Agustus 2014 membeberkan ISIS di Aceh sudah dibentuk sejak 1 Januari 2014 sebagai perwakilan ISIS di Irak dan Suriah. “Seluruh anggota ISIS di Aceh tidak ada dari luar Aceh, karena kami mandiri alias tidak tunduk ke ISIS Indonesia pimpinan Abu Muhammad Al-Indonesi. ISIS Aceh di bawah komando langsung khalifah tertinggi Abu Bakar Al-Baghdadi,” kata Abu Jundullah. Kehadiran jaringan ISIS di Aceh diawali dengan rasa simpati kepada garis perjuangan kelompok militan di Irak dan Suriah itu.


Menurut Abu Jundullah, ISIS Aceh dibentuk pada 1 Januari 2014 menggunakan jaringan anggota yang pernah berjihad ke Afghanistan, Moro, dan Ambon. “Pada awalnya hanya simpatisan saja, kemudian seiring semakin banyak yang mencoba bergabung sebagai manifestasi pilar Islam, maka kami pun mencari jaringan pada teman-teman yang seorientasi yang pernah berjihad di Afghanistan, Moro, dan Ambon. Kemudian kami disuruh bentuk di Aceh sebagai perwakilan negara, bukan provinsi,” tegas Abu Jundullah.


Menurutnya, ISIS Aceh berupaya memperluas jaringannya hingga tingkat desa. “Target kami sebelum tahun 2015 seluruh Aceh sudah terbentuk jaringan ISIS,” katanya.


Sejak dibentuk di Aceh, ISIS gencar melakukan perekrutan kader dan simpatisan. Mereka menyasar setiap warga yang berjiwa mujahid. “Kami yakin di Aceh sangat banyak orang-orang yang berjiwa mujahid karena darah orang Aceh adalah darah pejuang dan pembela kebenaran,” tegas Abu Jundullah. (Lihat: Jangan Usik Kami).

Abu Jundullah mengaku proses pembaiatan dilakukan per kelompok. Namun, saat dimintakan foto proses pembaiatan, pada awalnya dia setuju. Tetapi, setelah mengadakan rapat internal esoknya, Abu Jundullah berubah sikap. Dia enggan memberikan foto tersebut. “Ini untuk pertimbangan keamanan kami,” kata pria yang selama ini bergabung dengan sejumah organisasi Islam ‘militan.’


Informasi yang dikumpulkan Serambi, beberapa ‘anggota’ ISIS sudah mulai memasuki daerah Bireuen-Aceh Utara dan beberapa kabupaten kawasan barat Aceh. Namun, kewaspadaan yang tinggi berbagai komponen masyarakat di kawasan itu dalam pekan-pekan terakhir, ikut membatasi gerak mereka.


Jalan ke surga


Pengamat Terorisme, Al-Chaidar mengakui jika jaringan ISIS mulai merambah Aceh. “Aceh salah satu dari 16 provinsi yang sudah dimasuki ISIS. Tapi proses rekrutmen anggotanya di Aceh tidak terbuka, berbeda dengan di Medan, Palembang, Lampung, Jawa Timur dan Banten,” katanya kepada Serambi, Selasa 5 Agustus 2014.


Menurut Al-Chaidar, ISIS makin gencar memperluas jaringannya hingga Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawaesi Utara dan NTB. Al-Chaidar berpendapat keberadaan ISIS di Aceh menjadi sebuah gerakan fenomenal karena kelompok militansi Islam di Aceh, dan umumnya di Indonesia mengalami disorientasi dan kebuntuan (stagnansi) dalam gerakan jihad. Kondisi ini membuat ISIS menjadi gerakan baru yang mengakomodir keinginan berjihad yang dianggap sebagai jalan menuju surga. Namun gerakan ISIS diklaim berbeda dengan Jamaah Islamiah (JI), Negara Islam Indonesia (NII) dan Al-Qaeda. “ISIS bukan gerakan teroris. Saya melihat ISIS sebuah gerakan egaliter, terbuka dalam merekrut anggota, dan tidak mempunyai hierarki. Berbeda dengan JI atau Al Qaeda yang memiliki hierarki kepemimpinan,” tegasnya.


Menurut Al-Chaidar, ISIS di Aceh tidak bersenjata dan melakukan latihan militer. Keberadaan ISIS di Aceh lebih dianggap sebagai jalan jihad menuju surga. “Bisa dikatakan ini gerakan (kelompok) menengah ke atas yang dapat mengakses informasi dan internet. Berbeda dengan JI dan NII yang sangat grounded dan diikuti orang-orang berpendidikan kurang,” jelas Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia ini. Gerakan ISIS yang ingin mendirikan negara Islam tidak hanya sebatas menyasar mereka yang militan.


Tak berpengaruh


Gerakan pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi ini disinyalir juga mengakomodir mereka yang diburon polisi dalam berbagai kasus terorisme. Khusus di Aceh, kata Al-Chaidar, beberapa bekas anggota kelompok yang menamakan dirinya Tandzim Al Qaeda Aceh yang sempat melakukan latihan militer di Bukit Jalin, Jantho, Aceh Besar, disinyalir juga telah ikut bergabung dalam jaringan ISIS Aceh. Seperti diketahui, pada 2011 kelompok Tandzim Al Qaeda Aceh sempat digerebek Densus 88 Polda Aceh dan beberapa anggotanya ditangkap atas tuduhan terorisme.


Menurut Al-Chaidar, gerakan ISIS Aceh tidak ada kecenderungan mengancam Indonesia karena gerakannya berbeda dengan Tandzim Al Qaeda Aceh. Sikap Pemerintah Indonesia yang melarang paham dan ideologi ISIS berkembang, dinilai sebagai sikap antisipasi berlebian. “Kalau pemerintah panik, malah akan memberi angin segar bagi gerakan ini dan mengesankan pemerintah takut sehingga ISIS makin banyak yang bersimpati. Seperti Abu Wardah alias Santoso (DPO polisi) di Poso yang sekarang membaiat ke ISIS,” tegasnya.


Sedangkan pengamat politik Timur Tengah, Kamaruzzaman Bustamam Ahmad PhD menyangsikan adanya gerakan tersebut di Aceh. Sebab, katanya, Aceh secara geopolitik tidak punya pengaruh dalam konteks global, kecuali dalam hal georesource (peta sumber daya alam). “Perlu dipertanyakan dan diteliti lebih jauh dalam konteks apa ISIS masuk Aceh. Kalau yang ngaku-ngaku itu biasa,” ujarnya. Namun dia tidak menampik jika beberapa jaringan Islam militan dari Timur Tengah sudah ada di Aceh pascatsunami. “Sangat memungkinkan (ISIS memperluas jaringan) karena sel-selnya sudah lebih dulu terbentuk pascatusnami. Hanya saja gerakan ini mau diarahkan ke mana? ISIS ini kan (mendirikan) khilafah,” ujarnya.


Karenanya dia masih belum yakin, ISIS telah berkembang di Aceh. “Kalau Jamaah Islamiah dan Al Qaeda ada historinya. Tapi kalau ISIS, ini kan organisasi baru, bagaimana bisa ada ribuan anggotanya di Aceh,” tegas Kamaruzzaman. Sebelumnya, dosen UIN Ar-Raniry ini memprediksi bahwa pada 2018 akan muncul sebuah organisasi yang akan menjadi musuh bersama. “Lantas, menjadi pertanyaannya, apakah ISIS ini organisasi yang muncul sendiri atau sengaja dimunculkan?” ujarnya(*serambi indonesia)