“Penahanan Pada Hakikatnya adalah Perampasan Kemerdekaan”

SUDUT HUKUM | Pertama-tama, sesuai ketentuan Hukum Acara Pidana, penahanan terhadap seorang tersangka memang dapat dilakukan penyidik, penuntut umum maupun hakim di sidang pengadilan. Apabila suatu penahanan terhadap seorang tersangka memang harus dilakukan, artinya tidak ada lagi pilihan maka penahanan itu kemudian menurut KUHAP dapat berupa (1) penahanan rumah tahanan Negara, (2) penahanan rumah, dan (3) penahanan kota. Jenis penahanan ini dapat diterapkan sesuai karakteristik masing-masing kasus yang berbeda satu sama lain. Jadi pilihan penahanan jika harus dilakukan maka sesuai ketentuan hukumnya tidak satu-satunya yaitu harus penahanan rumah tahanan Negara;
“Penahanan Pada Hakikatnya adalah Perampasan Kemerdekaan”Meskipun penahanan dapat dilakukan, tetapi penahanan itu haruslah semata-mata untuk kepentingan pemeriksaan itu sendiri. Penahanan itu sendiri merupakan accesoir terhadap suatu pemeriksaan perkara pidana . Konkritnya, penahanan akan dilakukan penyidik hanya apabila kepentingan pemeriksaan memerlukannya secara obyektif, utamanya pengambilan keterangan untuk dimasukkan dalam BAP dimana jangan sampai seorang tersangka menghindar pada saat diperlukan untuk pemeriksaan. Kaedah hukum penahanan itu sendiri oleh karena itu mengatur “dapat” (bukan harus) dilakukan terhadap setiap tersangka, sekalipun tindak pidana yang disangkakan memenuhi syarat untuk ditahan. Maksudnya, pada saat yang sama upaya paksa penahanan itu jangan sampai pernah mempengaruhi asas peradilan yang jujur, adil dan obyektif. Penahanan sebelum sidang pengadilan selalu potensial predice terhadap asas praduga-tidak bersalah.
Penahanan oleh karena itu tidaklah dapat menjadi suatu ”kebijakan” atau “kebiasaan” misalnya bila seseorang telah ditetapkan sebagai tersangka maka haruslah ditahan. Ketentuan tentang penahanan tidaklah demikian hukumnya. Akan tetapi karena kebiasaan menahan ini sekalipun sesungguhnya tidak diperlukan telah menjadi faktor demoralisasi aparat untuk korupsi yakni menyalah-gunakan wewenang. Dengan kata lain telah menjadi faktor kriminogen. Oleh karena itu, penahanan dalam penyidikan pada dasarnya tidak diperlukan dan dihindarkan karena dapat mempengaruhi proses peradilan yang adil (due process of law).
Penahanan yang tidak diperlukan tersebut bisa diilustrasikan sebagai berikut : katakanlah penahanan dengan pengecualian sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 KUHAP dilakukan sehingga keseluruhan jangka waktu penahanan yang dapat dilakukan oleh penyidik pada tahap penyidikan selama 120 hari. Apabila waktu yang diperlukan untuk pemeriksaan misalnya hanya 20 hari, maka penahanan yang dilakukan selama waktu yang tersisa, yaitu 100 hari adalah sesungguhnya suatu perampasan kemerdekaan. Karena perampasan kemerdekaan adalah tindak pidana maka seharusnya hukum harus ditegakkan dalam hal ini sebagaimana dikenal dalam literartur dengan “Miranda Warning”.
Dalam banyak kasus, pemenuhan alasan penahanan secara subyektif oleh penyidik juga hampir tidak ada. Bila penyidik khawatir saja bahwa tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana, maka akan dengan sendirinya penahanan dapat dilakukan. Penggunaan kewenangan penahanan tersebut sangat bergantung dari penilaian subyektif aparat penegak hukum, ditambah dengan ketentuan dalam KUHAP yang memberikan ruang interpretasi pada akhirnya menjadikan aparat penegak hukum yang seolah absah menafsirkan ketentuan KUHAP. Penafsiran di luar itu dianggap “wacana” yang hanya berlaku di bangku kuliah, bukan dalam praktek. Oleh karena itu, upaya paksa penahanan yang tersedia berdasarkan undang-undang justru digunakan untuk melakukan kesewenang-wenangan.
Di sisi lain, lembaga praperadilan yang keberadaannya dimaksudkan untuk pengawasan penggunaan upaya-upaya paksa oleh aparat penegak hukum fungsional tidak berjalan sebagaimana yang menjadi tujuan pembentukannya. Pada awalnya, lembaga praperadilan diharapkan sebagai suatu bagian mekanisme sistem peradilan yang memberikan hak kepada tersangka berdasarkan undang-undang untuk melakukan pengawan atas jalannya suatu upaya paksa dalam proses penyidikan dan/atau penuntutan atas dirinya. Namun niat ini tidak berhasil oleh karena praperadilan dalam rumusan KUHAP lebih mengarah pada pengawasan administratif belaka. Misalnya, praperadilan tidak dapat digunakan untuk menguji (i) apakah asas yuridis dan nesesitas dalam upaya paksa itu abash dalam arti materill; (ii) apakah “bukti permulaan yang cukup” sebagai dasar untuk menentukan status sebagai tersangka dan kemudian dapat menetapkan upaya paksa seperti penahanan absah secara materill. Dengan demikian, sesungguhnya ada “kekosongan hukum” dalam lembaga praperadilan yang mengacu pada maksud dibentuknya lembaga praperadilan itu, yaitu melindungi hak asasi manusia dari tersangka dan terdakwa.
Pada akhirnya, kekosongan hukum tersebut dapat diisi oleh suatu yurisprudensi atau melalui pembentukan hukum acara pidana yang baru dan mengatur hal-hal tersebut sebagaimana pembahasan RUU KUHAP yang sedang berjalan saat ini. “Naskah Riset dan Pedoman Penahanan dan Praperadilan Penahanan” yang disiapkan oleh ICJR dan didukung Open Society Justice Initiative ini tentunya sangat bermanfaat dalam konteks hal-hal di atas.