Sejarah Mazhab dan Sejarah Hukum Islam

Sudut Hukum | Secara bahasa mazhab dapat berarti pendapat (view, opinion, ra’yi), kepercayaan, ideologi (belief, ideology, al-mu’taqad), doktrin, ajaran, paham, aliran (doctrine, teaching, school – al-ta’lim wa al-thariqah).1 Sebagaimana disebutkan di atas, wujud hukumIslam bermula dari pendapat perseorangan terhadap pemahaman nash atau pendapat perseorangan tentang penemuan hukum terhadap suatu kejadian (waqi’ah) yang ada. Tentu, pendapat tadi dapat mewujudkan sosok hukum dengan menggunakan metode yangn digunakan secara spesifik.2

Bermula dari pendapat perorangan yang dilengkapi dengan metode itu kemudian diikuti oleh orang lain atau murid, yang jumlahnya semakin banyak. Pendapat perseorangan itu kemudian menjadi pendapat beberapa orang dan begitu seterusnya diikuti oleh orang lain. Dari pendapat dengan metodenya perseorangan itu, kemudian menjadi sebuah metode dalam pendapat yang dianggap baku dan disebutlah dengan sebuah mazhab.

Jika diperhatikan, hukum Islam merupakan pendapat perseorangan kemudian diikuti oleh murid-muridnya, lalu dianggap sebagai pendapat yang paling kuat di daerah atau kota tertentu. Ketika itulah maka disebut dengan mazhab sebuah kota atau daerah, yang seolah menjadi sebuah consensus (ijma’) dari masyarakat kota atau daerah tersebut. Maka ada mazhab Hijazi, yaitu pendapat tentang hukum Islam, yang bermula dari pendapat perseorangan kemudian diikuti oleh murid-muridnya dan melebar diikuti oleh orang-orang menjadi sebuah consensus. Mazhab Hijazi kemudian terbagi menjadi dua kelompok, yaitu mazhab Madinah dan mazhab Makkah. Di sisi lain, muncul juga mazhab Iraqi, yaitu pendapat tentang hukum Islam, yang bermula dari pendapat perseorangan kemudian diikuti oleh murid-muridnya dan melebar diikuti oleh orang-orang di sebuah daerah di wilayah Iraq.


Kemudian, mazhab Iraqi mengelompok menjadi dua, yakni mazhab Kuffah dan mazhab Basrah. Ada mazhab lain yang popular yaitu mazhab Syam. Oleh karenanya dalam sejarahnya ada tiga mazhab besar atas dasar kedaerahan ini yakni mazhab Iraqi, mazhab Hijazi dan mazhab Syami. Perlu ada catatan, bahwa sebenarnya ada pula mazhab di Mesir yang mempunyai karakter tersendiri. Namun di daerah-daerah yang sudah ada nama mazhab kedaerahan itu tetap masih terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Pengelompokan mazhab atas kedaerahan ini berakhir dengan munculnya imam Syafi’i.


Dalam perkembangan berikutnya, mazhab yang semula sangat terdominasi oleh pendapat kedaerahan, lalu kembali lagi ke pendapat perseorangan. Di masing-masing daerah muncul perkembangan pendapat yang berbeda. Dari pendapat-pendapat yang berbeda ini kemudian mengerucut kepada pendapat perseorangan. Pendapat perseorangan yang dilengkapi dengan metodologi (manhaj) yang dipakai ini kemudian menguat. Mazhab yang semula didasarkan atas nama daerah, seperti uraian singkat di atas, kemudian berubah menjadi mazhab yang dinisbahkan kepada nama-nama perseorangan. Di antara sekian banyak mazhab, yang paling popular ada empat mazhab di kalangan ahlussunnah waljama’ah atau biasa disebut dengan mazhab sunni.3


Selanjutnya, perkembangan mazhab hukum Islam tidak lepas dari kebijakan politik pada masa pemerintahan kekhalifahan. Beberapa peristiwa politik yang melahirkan dan mempengaruhi perkembangan hukum Islam dapat dirunut dari akar kesejarahan politik khilafah Abbasiyah.


Peristiwa politik yang berorientasi kepada semangat umat Islam dan banyak berpengaruh bagi perkembangan fiqih adalah jatuhnya dinasti Bani Umayah dan tampilnya dinasti Abbasiyah di panggung kekuasaan. Pada masa daulah Abasiyah, bukan sekedar penting bagi negara tetapi justru merupakan urusan pertama dan utama bagi negara. Dengan kondisi ini para ahli agama, termasuk hukum Islam mempunyai tempat di lingkaran pemerintahan terutama pada wilayah qudlat karena harus di dasarkan pada perintah agama. Dengan dinasti baru inilah tiba saatnya perkembangan dan kesuburan hukum Islam.4


Abad ini merupakan abad fiqih, abad ahli yurisprudensi, dan abad fuqaha’. Qadli merupakan tokoh terhormat dan penting. Pada masa ini studi tentang yurisprudensi berkembang secara intensif dari pusat kekuasaan sampai pusat daerah negeri yang paling terpencil. Upaya dan usaha pengembangan ilmu pengetahuan hukum tersebut didukung oleh moril dan metriil, sehingga masyarakat maju dengan pesat.5


Beberapa mazhab fiqih tersebut dapat dikategorikan kepada tiga kelompok besar, yaitu kelompok Ahlussunnah, Syi’ah dan Khawarij. Mazhabmazhab hukum Ahlusunnah banyak sekali, di antaranya adalah mazhab Sufyan Al-Tsauri di Kufah, mazhab Al-Auza’i di Syam, mazhab Al-Syafi’I dan Laits bin Sa’ad di Mesir, mazhab Ishaq bin Rahawiyah di Nisabur, mazhab Ibnu Abi Layla, mazhab Ibnu Jarir, mazhab Abu Tsaur, mazhab Ahmad bin Hanbal, dan mazhab Daud al-Asfihani atau al-Dzahiri di Baghdad.6



Sejarah Mazhab dan Sejarah Hukum Islam


Namun demikian dari sekian banyak mazhab hukum Islam hanya empat yang sampai sekarang diakui kalangan Sunni sebagai mazhab yang mu’tabar. Dari keempat mazhab ini kemudian hukum Islam berkembang ke seluruh dunia. Masing-masing negara dapat dilihat mazhab apa yang dominan. Di Saudi Arabia yang dominan adalah mazhab Hanbali, di India, Pakistan dan Turki yang dominan adalah mazhab Hanafi, di Afrika Utara yang paling dominan adalah mazhab maliki, sedangkan di Indonesia dan Malaysia yang paling dominan adalah mazhab Syafi’i.7


Perlu diketahui bahwa mazhab telah mendominasi perkembangan hukum Islam selama berabad-abad. Bahkan tidak jarang pemikiran hukum Islam di dalam masing-masing mazhab itu difahami secara doktrinal dan dogmatik. Artinya, pendapat imam mazhab dan beberapa ulama besar yang mengikatkan dirinya pada mazhab tertentu menjadi sebuah doktrin. Yang terjadi kemudian adalah mazhab dalam hukum Islam seolah-olah menjadi agama baru yang memainkan peranan penting dalam keberagamaan umat Islam. Setelah para pendiri mazhab meninggal, para pengikut mazhab yang ekstrim tidak bisa menahan diri untuk saling bertikai. Konflik ini mencapai puncaknya pada abad 11 M di Baghdad dan sekitarnya. Tetapi dalam hal ini, harus dicermati bahwa sesungguhnya di antara para pendiri mazhab terdapat kemesraan hubungan guru murid. Sungguh mereka bahkan mempunyai jaringan intelektual bersama yang cukup kuat.8 Dengan demikian perbedaan di antara mereka sama sekali tidak menimbulkan perpecahan apalagi fanatisme ajaran yang menjadikan mereka saling berselisih secara tajam dan membabi buta.9



Perbedaan pendapat dan mazhab tersebut ada pengaruh faktor budaya kedaerahan atau yang biasa disebut dengan ‘urf atau al-adah (adat kebiasaan), meskipun pengaruhnya tidak semata-mata pada esensi hukumnya, namun lebih pada pengaruh terhadap mujtahid / faqih yang kemudian berdampak pada hasil pemikiran atau ijtihadnya. Oleh karena itu, di Indoensia juga muncul pendapat untuk menciptakan “mazhab ala Indonesia”. Atau setidaknya agar berusaha menemukan hukum Islam yang sesuai dengan sosio kultural bangsa Indonesia, yang dalam banyak hal terdapat perbedaan dengan sosio kultural masyarakat di negara-negara Arab. Dengan ini maka mazhab dapat berkembang bukan hanya karena menyangkut pada pemikiran para ulama pendiri mazhab akan tetapi bisa menurut daerah. Di sinilah Islamic area studies perlu ditumbuhkembangkan sehingga sangat mungkin apa yang terjadi pada masa lalu dengan adanya mazhab kedaerahan akan terulang pada saat sekarang ini. (*Moch. Iqbal Notoatmojo)

______________________

1 Ahmad Warson Munawir, Kamur al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1994, hlm. 453

2 Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm.21 3 Ibid., hlm. 22

4 Ignas Goldzier, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, Pent. Heri Setiawan, Jakarta: INIS, 1991, hlm. 41-43

5 A. salim, Tarikh Tasyri’, Solo: Ramadhani, 1988, hlm. 128-129

6 Ignas Goldziher, Op. Cit., hlm. 16

7 Qodri Azizy, Eklektisisme, Op. Cit., hlm.

8 Abduraahman Mas’ud, Asal-usul Pemikiran Sunni; Sebuah Catatan Awal, Semarang: Makalah Seminar, hlm. 7

9 Bukti Sejarah menunjukkan Malik belajar dari Hanafi, Malik mengajar Syafi’i, sedangkan imam Syafi’i tidak diragukan lagi melakukan transfer ilmu kepada muridnya, Ibnu Hanbal dalam halaqahnya di Irak. Ibid.,