[opini] Kontroversi Eksekusi Mati

Sudut Hukum | Oleh: PROF AMZULIAN RIFAI PHD

Tidak tanggung-tanggung, Indonesia mengeksekusi enam terpidana mati sekaligus, Minggu, 17 Januari 2015 dini hari. Eksekusi mati ini tentu saja kontroversial bagi negara-negara yang sudah menghapus hukuman mati.


Apalagi di antara enam terpidana mati, hanya Rani Andriani alias Melisa Aprilia saja yang WNI. Presiden Brasil mengajukan protes sebelum ataupun setelah eksekusi mati. Brasil dan Belanda bahkan menarik duta besar mereka. Hukuman mati (capital punishment) merupakan topik panas di dunia internasional. Terjadi perdebatan panas antara kelompok yang setuju dan menentang hukuman mati.


Masing-masing memiliki argumentasi. Posisi Indonesia tetap mengakui adanya hukuman mati yang tertuang dalam beberapa undang-undang, termasuk Undang- Undang Narkotika dan Undang-Undang Terorisme. Saya pernah dimarahi orang banyak ketika dalam suatu seminar HAM terbatas di Swedia, menyatakan dukungan diterapkannya hukuman mati.


Tidak dikira, cukup banyak peserta yang mengacungkan tangan menyampaikan argumentasi dan menilai pendapat itu di luar kebiasaan bagi warga negara yang beradab. Malah, “saya terus dikejar dan dicecar” dengan pertanyaan hingga berlangsungnya coffee break. Intinya, saya dinilai memiliki pemikiran sesat dan bertentangan dengan nilai-nilai HAM karena pro dengan hukuman mati.


Begitulah, ada beberapa alasan bagi mereka yang kontra dengan hukuman mati. Di antara alasan itu adalah pemenuhan HAM sebagaimana tertuang dalam beberapa instrumen hukum HAM internasional atau deklarasi HAM. Pasal 3 United Nations Declaration on Human Rights (UNDHR) “Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi.”


Memang bentuk yang paling ekstrem dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah pembunuhan atau melukai jasmani atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok. Tentu hukuman mati dinilai melanggar pasal ini. Hukuman mati itu sangat melanggar hak untuk hidup bagi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kelompok yang kontra juga merujuk ke Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik (ICCPR) Pasal 6 ayat (1) Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup.


Hak ini harus dilindungi olehhukum. Tidak seorang pun insan manusia yang secara gegabah boleh dirampas kehidupannya. Seperti halnya dijelaskanpada Pasal3UNDHR bahwa pelaksanaan eksekusi mati telah melanggar pasal 6 ayat (1). Indonesia meratifikasi ICCPR sebagaimana dituangkan dalam UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR.

Bukan itu saja, kelompok yang kontra hukuman mati tidak menilai eksekusi sebagai solusi. Dalam kejahatan narkoba, misalnya, hukuman mati tidak mampu menghentikan kejahatan narkotika. Kenyataannya ada peningkatan signifikan pengguna narkoba. Di banyak penjara, di atas 60% penghuninya terkait dengan kejahatan narkoba. Ini membuktikan bahwa hukuman mati tidak mampu menimbulkan efek jera sebagaimana menjadi alasan adanya eksekusi mati.


Namun, jangan pula meniadakan argumentasi pihak-pihak yang pro dengan hukuman mati karena kejahatan yang dilakukan sudah sangat meresahkan masyarakat. Dalam kejahatan narkoba di Indonesia, misalnya, setiap hari ada 40 sampai 50 orang yang meninggal karena penyalahgunaan narkoba. Rata-rata mereka yang mati sia-siaadalahgenerasimuda harapan bangsa.


Mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan jumlah yang dihukum mati karena kejahatan terkait dengan narkoba. Kini hampir tidak ada wilayah kabupaten (bahkan kecamatan) di Indonesia yang bebas dari peredaran narkoba. Hampir tidak ada profesi yang bebas dari penyalahgunaannya, bahkan “berkali-kali” aparat hukum juga terjerat kasus penyalahgunaan narkoba. Malah, ada yang menjadi bandar dan pelindung peredaran narkoba.


Eksekusi mati adalah upaya memberikan efek jera kepada mereka yang bertanggung jawab atas peredaran barang haram itu. Bukan hanya soal upaya pemberian efek jera, para outlaws ini juga tetap berpotensi besar menyusahkannegara apabiladibiarkan tetap hidup. Mereka yang dihukum seumur hidup, misalnya, malah menggunakan pengaruh dan kelicikannya tetap menjalankan bisnis narkoba dari balik penjara.


Dihukum seumur hidup pun tetap menambah beban negara yang harus menanggung ongkos hidupnya selama dalam masa tahanan, walaupun harus diketahui benar mana yang pengguna dan mana pula masuk kategori pengedar atau produsen. Tidak boleh salah dalam memberikan vonis mati sesuai dengan tingkat kesalahan.


Indonesia telah menjadi negara tujuan utama peredaran narkoba dunia. Bukanitusaja, malah sekarang sudah naik status menjadi negara produsen narkoba. Sindikat pengedar narkoba jaringan internasional berlomba-lomba masuk Indonesia karena dinilai sebagai lahan subur barang haram itu.


Sebelumnya Indonesia dikenal sebagai negara transit bagi sindikat jaringan narkoba internasional sebelum melanjutkan perjala nan ke negara tujuan. Sindikat jaringan internasional belakangan lebih memilih menyelundupkan bahan baku membuat narkoba ke Indonesia. PengolahandilakukandiIndonesia, karena bahan baku itu mungkin jarang dicurigai. Untuk mempermudah operasi, mereka memanfaatkan jaringan lokal, termasuk dengan cara menikah dengan perempuan Indonesia.


Prediksi akademik saya, apabila dilakukan survei maka mayoritas masyarakat Indonesia pro dengan hukuman mati, termasuk terhadap penjahat bidang narkoba. Sikap ini muncul karena parahnya kerusakan yang ditimbulkan. Nilai sakral dalam keluarga hancur, ekonomi keluarga tambah berantakan (kemiskinan semakin merata) dan banyak pengguna yang mati sia-sia.


Walaupun tentu saja berbagai upaya hukum harus dilakukan sampai pada upaya hukum terakhir, keenam orang terpidana mati telah melakukan upaya hukum terakhir hingga grasi. Tereksekusi mati Namaona Denis, WNMalawi, telahmenerima Putusan Pengadilan Negeri 2001, Pengadilan Tinggi 2002, grasi ditolak 30 Desember 2015. Selanjutnya ada Marco Archer Cardoso Moreira, WN Brasil, diputus PN 2004.


Ada pula Daniel Enemuo, WN Nigeria, diputus oleh PN 2004, PT 2004, kasasi 2005, dan grasi ditolak 30 Desember 2014. Ada Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya, WNI diputus PN 2003, PT 2003, MA 2003, PK 2006, grasi ditolak 30 Desember 2014. Juga Tran Thi Bich Hanh, WN Vietnam, diputus PN 2011, PT 2012, ia tidak mengajukan kasasi, langsung grasi dan ditolak.


Terakhir, Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI) yang diputus PN 2000, PT 2000, MA 2001, PK 2002, grasi ditolak 30 Desember 2014. Waktu yang lama menuju eksekusi mati membuktikan negara telah memberikan kesempatan kepada para terpidana menggunakan semua hak hukum mereka.


Instrumen hukum internasional seperti ICCPR tidak sepenuhnya melarang hukuman mati. Pasal 6 ayat (2) ICCPR menyatakan bahwa di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusannya dapat diberikan hanya untuk kejahatan yang paling berat, sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada waktu kejahatan itu dilakukan. Hukuman ini hanya boleh dilaksanakan dengan putusan terakhir dari pengadilan yang berwenang.


Pasal 6 ayat (4) ICCPR mengatur bahwa seseorang yang telah dihukum mati harus mempunyai hak untuk memohon pengampunan atau keringanan hukuman. Maklum saja jika Brasil dan Belanda sampai menarik pulang duta besar mereka, karena memang hukuman mati tidak lagi dikenal di dua negara itu. Namun, mereka juga harus objektif menilai Indonesia yang berdaulat menerapkan hukumnya sendiri.


Bukankah sejak lama Indonesia dituntut tegas dalam penerapan hukumnya. Eksekusi mati merupakan bagian dari penegakan hukum Indonesia, setelah segala upaya hukum yangmenjadihak-hakterpidana telah mentok (exhausted). Indonesia mestinya tidak ragu dan tidak boleh kalah dengan “tekanan” ini. Apalagi, ke depan masih ada puluhan terpidana mati lagi yang berpotensi dieksekusi.


Mengacu pada putusan MK bahwa hukuman mati tidak melanggar konstitusi, apalagi kompleksitas ekonomi negara, penjara yang kelebihan kapasitas berbaur dengan oknum aparat yang korup menambah maraknya kejahatan narkoba. Boleh saja eksekusi mati kontroversi di negara lain, tetapi akan berbeda bagi mayoritas bangsa Indonesia yang memiliki berbagai cerita duka akibat narkoba. Sungguhpun, soal eksekusi mati ini, kini dan nanti sikap pro dan kontra itu sendiri tidak akan pernah berhenti.[]