Kewarisan Bagi Anak dalam Kandungan

Sudut hukum | Kewarisan Bagi Anak dalam Kandungan


Pembahasan mengenai kewarisan bagi anak dalam kandungan dalam hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari tiga hal, yakni keabsahan anak dalam kandungan, hakekat kelahiran, dan bagian yang akan diterima oleh anak dalam kandungan. Berikut ini akan dipaparkan mengenai tiga hal tersebut.


1. Keabsahan anak dalam kandungan

Kewarisan Bagi Anak dalam KandunganMengenai batasan usia minimal kehamilan, para jumhur ulama sepakat memberikan batasan usia minimal kandungan yang sah untuk dinasabkan kepada ayah si janin adalah enam bulan. Hal ini disandarkan pada dua firman Allah yakni Q.S. al-Ahqaf ayat 15 dan Q.S. Luqman ayat 14 berikut ini:

Q.S. al-Ahqaf ayat 15

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia Telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah Aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang Telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya Aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya Aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.

Q.S. Luqman ayat 14:


Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu.

Oleh jumhur ulama, selisih dari waktu masa kehamilan dan menyusui yang terkandung dalam dua ayat di atas dijadikan batasan minimal usia janin yang dapat dianggap sebagai anak yang sah dan dapat dinasabkan kepada ayahnya adalah enam bulan dalam kandungan dari perkawinan. Selisih masa kehamilan dan menyusui dari kedua firman tersebut adalah enam bulan.


2. Bagian Kewarisan Anak Dalam Kandungan

Mengenai pendapat tentang batasan jumlah warisan yang dapat diterima janin dalam kandungan, juga terdapat khilafiyah di kalangan para ulama mazhab.


Di kalangan para ulama mazhab, Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa apabila dalam janin tersebut sudah diketahui jenis kelaminnya lakilaki, maka jumlah warisan untuknya adalah sama dengan satu bagian warisan bagi anak laki-laki. Namun apabila disinyalir lebih dari seorang janin, maka tidak dapat ditentukan bagiannya karena masih dalam proses praduga. Pendapat berbeda dinyatakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i. Kedua imam ini memiliki pendapat yang sama yakni bayi yang ada dalam kandungan akan disisakan warisan sebesar empat bagian anak laki-laki dan empat bagian anak perempuan. Sedangkan Imamiah menyatakan bahwa bagian warisan bagi anak dalam kandungan adalah dua bagian anak laki-laki.


Secara lebih lanjut, perbedaan pandangan ulama menurut Saleh al- Fauzan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni:

  • Pembagian dengan tanpa patokan
  • Pembagian dengan dasar paling menguntungkan bagi si janin
  • Pembagian dengan dasar bagian paling banyak di antara bagian satu anak laki-laki dan anak perempuan.
Ada juga yang berpendapat bahwa dalam pembagian warisan kepada anak yang berada dalam kandungan dapat terjadi tiga kemungkinan, yakni:

  • Dianggap mendapat bagian yang terbanyak dari pihak laki-laki yakni 17/24
  • Dianggap mendapat bagian yang terbanyak dari pihak perempuan yakni 3/8
  • Dianggap mendapat satu bagian manakala berkedudukan sebagai anak saudara se-ibu, yakni 1/6

Meski terdapat perbedaan, pada dasarnya ada bagian-bagian yang berbeda dalam menentukan bagian waris untuk anak dalam kandungan. Perbedaan tersebut berdasarkan jumlah anak, jenis kelamin anak, dan hubungan anak dalam kandungan dengan orang yang meninggal.


3. Hakekat Hidupnya Anak Dalam Kandungan

Selain kedua hal di atas, juga terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab tentang konsep kelahiran anak dalam kandungan yang dapat menerima warisan. Terdapat perdebatan mengenai konsep hidup anak yang dilahirkan dalam lingkup apakah bayi yang dilahirkan berhak mendapat warisan dengan batasan kelahiran yang sempurna, gerakan, tangisan atau jeritan, atau harus sampai batas waktu menyusui.


Menurut Imam Abu Hanifah, seorang anak dalam kandungan dapat dianggap telah hidup meskipun pada saat keluar belum mencapai kehidupan yang sempurna. Maksudnya adalah pada saat keluar namun belum sempurna, anak tersebut menangis sebentar atau hanya bergerakgerak sebentar lalu saat anak tersebut telah keluar dengan sempurna meninggal dunia. Keadaan ini menurut Imam Abu Hanifah telah dapat dianggap sebagai syarat kehidupan bagi anak dalam kandungan. Oleh sebab itu, dia berhak untuk menerima warisan dan juga diwarisi.


Sedangkan menurut Imam Syafi’i, kelahiran seperti itu tidak dapat dianggap sebagai kehidupan karena belum adanya belum adanya kelahiran yang sempurna.


Meski berbeda dalam pendapat mengenai hakekat kehidupan anak dalam kandungan manakala dilahirkan, terdapat persamaan dalam perbedaan tersebut, yakni adanya syarat tanda kehidupan seperti menjerit atau bergerak pada saat dilahirkan.