Putusan Badan Peradilan tentang Tindak Pidana KDRT

Sudut Hukum | Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga berbagai bentuk tindak pidana dengan locus delicti rumah tangga terus meningkat, namun tidak banyak yang diproses dalam peradilan pidana. Makalah ini bermaksud melaporkan 5 (lima) macam putusan Mahkamah Agung yang terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga. Dari penelusuran terhadap 5 (lima) kasus tersebut, terbukti tidak ada satupun perbuatan terdakwa yang divonis oleh Mahkamah Agung berdasarkan delik pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.

Hal tersebut dapat diasumsikan bahwa hakim tidak melihat perbedaan secara signifikan antara istilah “kekerasan dalam rumah tangga” dengan “penganiayaan” sebagaimana diatur dalam KUHP. Selain itu uraian delik dalam KUHP lebih mudah dipahami dibandingkan dengan uraian tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Berdasarkan tinjauan ringkas tersebut, tampaknya para penegak hukum masih memerlukan waktu untuk menelaah dan memilih Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dan hubungannya dengan KUHP dan sejauh mana undang-undang tersebut mendiskripsikan tindak pidana penganiayaan secara lebih luas untuk menjerat berbagai kasus tindak pidana dalam rumah tangga yang diasumsikan tidak bisa terjangkau oleh delik-delik dalam KUHP.


Pengantar

Putusan Badan Peradilan tentang Tindak Pidana KDRT

Kekerasan (fisik, psikis dan seksual) terjadi dimana-mana dan cenderung makin meningkat. Banyak sekali kasus kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) tidak dilaporkan kepada polisi untuk ditindak sebagaimana mestinya, dan makin sedikit lagi yang diselidiki, disidik, dan dituntut di depan pengadilan. Data yang tersedia baik di tingkat regional maupun pusat tentang kekerasan tersebut sangat langka, yang sesungguhnya diperlukan untuk menetapkan berbagai kebijakan untuk mencegah merajalelanya kekerasan. Tindak kekerasan dalam rumah tangga dan tindak pidana perdagangan perempuan dan anak adalah dua bentuk kejahatan yang sangat menyengsarakan dalam waktu yang panjang, Sebagai akibat ”non-reporting crimes” seperti ini selain para korban harus menderita dalam kediaman (suffering in silence), para pelakunya juga tidak pernah diproses dalam sistem peradilan pidana.[1]

Dari data yang dilaporkan pada Lembaga Bantuan Hukum untuk Perempuan Jakarta (2002) sebelum pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang diolah oleh Harkristuti Harkrisnowo, kita memperoleh gambaran tentang kekerasan dalam rumah tangga sebagai berikut:[2]


Tabel 3.
Jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan ke LBH APIK Jakarta
(1998 s/d 2002)
Jenis Kasus
1998
1999
2000
2001
2002
Kekerasan fisik
33
52
69
82
86
Kekerasan psikologis
119
122
174
76
250
Kekerasan ekonomi
58
58
85
16
135
Kekerasan seksual
3
15
1
0
7
Perkosaan
1
10
0
0
0
Pelecehan seksual
2
5
1
0
0
Pelanggaran janji
0
0
3
14
5
Kekerasan dalam masa pacaran
0
0
0
0
7
Kekerasan terhadap anak
0
0
0
0
1


Untuk sekedar memperoleh gambaran tentang bagaimana tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) diputuskan oleh badan peradilan, berikut ini diuraikan dengan ringkas lima macam kasus KDRT yang diputus oleh Mahkamah Agung.



Lima Kasus KDRT

1. Kasus Rachmat Hidayat Santoso:[3] Anak Kandung Penderita Paru dan Asma Dianaya Yang Menyebabkan Kematiannya
Jumat 5 Mei 2006, Rachmat yang bertempat tinggal di desa Sumberkolak, Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangganya terhadap Hanif Hibatullah Soleh, anak kandungnya sendiri, hasil perkawinannya dengan Ruli Yuliana. Hanif (5 tahun) menderita sakit radang paru-paru, yang baru 4 bulan tinggal bersama ayahnya, karena sebelumnya bocah itu diasuh neneknya. Rachmat berusaha mengobat penyakit anaknya dengan cara terapi sendiri seperti yang dia pelajari dari televisi dan buku-buku pengobatan.

Semula Soleh diberi makan, kemudian dibawa ke ruang tamu. Hidung dan mulutnya disumbat beberapa detik, yang menyebabkan Soleh muntah nasi campur air. Setelah itu dibawa ke kamar mandi untuk dimandikan dan disiram dengan air sampai bersih. Anak kecil itu disiram terus menerus kurang lebih selama satu jam dengan kran air. Ketika Soleh memberontak terhadap perbuatan ayahnya, anak itu dicubit dan tentu tidak kuasa melawan ayahnya, sehingga jatuh ke lantai dalam posisi telungkup. Ayahnya membantu membangunkannya dan mengambil handuk. Kemudian anak kecil itu jatuh lagi, dan ayahnya berteriak memanggil isterinya. Suami isteri itu panik melihat kondisi anaknya, dan segera melarikan anaknya dengan mengendarai sepeda motor ke RS Elizabet Situbondo.

Soleh mengalami kondisi kritis. Dokter Iwan Yulianto tidak berhasil menyelamatkan nyawa Soleh. Hasil visum dokter menunjukkan bahwa terdapat memar pada kepala bagian atas samping kanan, luka lecet pada bahu belakang, lengan kiri, dan kaki kiri. Pemeriksaan bagian dalam menunjukkan bahwa anak itu mengalami pendarahan di otak karena benda tumpul dan serangan asma. Dengan demikian visum dokter menyimpulkan bahwa Soleh meninggal dunia akibat pendarahan di otak, trauma benda tumpul, dan serangan asma.

Jaksa menyimpulkan bahwa meninggalnya Soleh karena penganiayaan yang dilakukan ayah kandungnya, dan karena itu ayahnya Rachmat diancam dengan hukuman pidana Pasal 5 huruf a jo Pasal 44 ayat (3) UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga[4]. Jaksa mendakwa perbuatan terdakwa memenuhi unsur tindak pidana ”kekerasan dalam rumah tangga yang berakibat mati”, dan karena itu menuntut hukuman 8 (delapan) tahun penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan.

Pengadilan Negeri Situbondo memutuskan bahwa terdakwa Rachmat Hidayat Santoso terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena ”kealpaan menyebabkan matinya orang”, dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan. (28 November 2006).

Pengadilan Tinggi Surabaya dalam putusannya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Situbondo. Sebaliknya Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi, dengan alasan:

Majelis Hakim tidak menerapkan ketentuan Pasal 185 (4 dan (6) KUHAP , yaitu tentang adanya hubungan dan persesuaian antara keterangan saksi-saksi maupun keterangan terdakwa sendiri, akan tetapi Majelis Hakim hanya mengambil sepotong-sepotong dari rangkaian keterangan sakdi tersebut.
Majelis Hakim tidak menerapkan ketentuan Pasal 187 huruf b KUHAP, yaitu tidak mempertimbangkan adanya alat bukti surat berupa Visum et Repertum Jenazah yang dibuat oleh dokter yang menyimpulkan bahwa sebab kematian karena perdarahan di otak, trauma benda tumpul, karena asma, sehingga penderita meninggal karena penganiayaan.
Majelis Hakim salah menafsirkan unsur tindak pidana bahwa apa yang dilakukan terdakwa terhadap korban merupakan kealpaan, sebab menurut doktrin yang ditulis oleh Prof. Satochid Kartanegara, SH bahwa culpa (kealpaan) harus memenuhi dua syarat: (a) tiada kehati-hatian yang dipergunakan atau tiada ketelitian yang diperlukan; (b) akibat yang dapat diduga sebelumnya, atau keadaan atau akibat yang dapat diduga sebelumnya yang membuat perbuatan itu menjadi perbuatan yang dapat dihukum. Apa yang dilakukan terdakwa yang mengetahui bahwa korban menderita radang paru-paru/sakit asma kemudian diobat dengan bekal ilmu sendiri dengan cara memberi latihan pernafasan dengan menutup hidungnya beberapa detik sebelum makan dan lalu dimandikan terus menerus dengan menggunakan gayung, sehingga korban memberontak dan terlepas dari pegangan terdakwa yang menyebabkan korban terjatuh dan kepala membentur lantai kamar mandi, yang menyebabkan kematiannya bukanlah merupakan kealpaan atau kurang hati-hati.
Teori kesengajaan (opzet) yang dikemukakan oleh Jonkers dalam Handboek van het Nederlandsche Strafrecht menunjukkan bahwa hukum pidana mengenakan 3 gradsi opzet, yaitu: (1) opzet als oogmerk (kesengajaan yang memang ditujukan terhadap orang yang dimaksud); (2) opzet bij noodzakelijkheid of zekerbewustzijn (kesengajaan yang secara pasti diketahui oleh pelakunya bahwa kesengajaan itu mempunyai akibat sampingan); dan (3) opzet bij mogelijkheidsbewustzijn atau voorwardelijk opzet (kesengajaan yang mungkin menyebabkan akibat samping atau kesengajaan bersyarat).
Mahkamah Agung dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan dalam putusannya menolak permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Situbondo. Karena itu terdakwa dihukum berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Situbondo (2 tahun 6 bulan).



2. Kasus Hein Kaluku:[5] Anak Kandung Dicekik Sampai Mati
Terdakwa Hein Kaluku (46 tahun) dikaruniai anak 3 orang: Nadha Masitha, Nur Kherani Ardita, dan Ardian, dari hasil perkawinan dengan isterinya Hj. Kusumawaji Wardaniyah. Meskipun telah bercerai selama empat tahun dengan isterinya sejak awal tahun 2002, dan hubungan mereka tidak harmonis dan tidak saling baku sapa, namun terdakwa masih tinggal satu rumah bersama isterinya, dengan menempati salah satu kamar dari rumahnya di Makassar. Terdakwa sering berlaku kasar pada isteri dan anak-anaknya. Tahun 2004 pernah menganiaya anaknya (Nanda) dengan cara mencekik dan membenturkan kepala anak tersebut ke dinding. Jika minta uang, anak-anak tersebut dimarahi bahkan sampai dipukul. Ketika anaknya Ardian bermaksud memperbaiki sadel sepedanya yang rusak dengan tali rafia, tapi tidak berhasil sepeda itu dibawa ke bengkel (13 Agustus). Tukang di bengkel minta supaya bapaknya (Hein Kaluku) membeli saja sadel baru, karena sadel yang rusak tidak bisa diperbaiki.

Setelah dicoba memperbaiki dengan lakban tidak juga berhasil, dan Ardian merengek terus minta uang pada bapaknya. Tiba-tiba Hein Kaluku mencekik leher anaknya dan menjeratnya dengan tali rafia, sehingga anak itu mengalami gagal pernafasan yang menyebabkan dia meninggal dunia sketika. Hasil pemeriksaan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Medikolegal, yang ditandatangani oleh Dr. Berti J. Nelwan, menunjukkan seperti dilaporkan dalam Visum et Repertum bahwa korban yang berusia sekitar 9 tahun itu dalam keadaan kaku, terdapat lebam mayat di leher belakang, warna kulit kuku jari-jari kedua tangan berwarna merah livid dan pucat, luka lecet di bawah rahang, … dan seterusnya sehingga menyimpulkan bahwa korban meninggal dunia akibat kegagalan pernafasan (asfiksia) oleh karena terhalangnya jalan nafas akibat adanya tekanan yang kuat pada leher.

Jaksa Penuntut Umum menguraikan bahwa terdakwa dikenakan lima macam dakwaan berlapis karena melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (3) UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Pasal 80 ayat (3) UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, serta Pasal 338[6], Pasal 351 ayat (3),[7] dan Pasal 306 ayat (2) KUHP[8]. Oleh karena itu Jaksa menuntut bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana ”melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga terhadap anak kandungnya Muhammad Ardian yang mengakibatkan mati.” sebagaimana diatur dalam UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan menuntut terdakwa dijatuhkan pidana 12 (duabelas) tahun penjara dikurangi tahanan sementara.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dalam sidang pengadilan, Hakim Pengadilan Negeri Makassar menyatakan bahwa terdakwa Hein Kaluku terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”dengan sengaja membiarkan orang dalam keadaan sengsara yang mengakibatkan mati, sedang ia wajib memberi perawatan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya”. Hakim menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun. Selanjutnya Pengadilan Tinggi Makassar menguatkan putusan tersebut. Demikian pula permohonan kasasi Jaksa Penutut Umum pada Kejaksaan Negeri Makassar ditolak oleh Mahkamah Agung. Dengan demikian terdakwa Hein Kaluku dihukum 7 (tujuh) tahun penjara.

3. Kasus Unggul Nicanor Siahaan: Pemukulan Terhadap Isteri Dihukum 2 Tahun[9]
Terdakwa Nicanor melakukan perbuatan kekerasan fisik terhadap isterinya Riama Fransiska Boru Manik hanya karena masalah sepele. Terdakwa kehilangan uang Rp. 100.000,- dan menuduh isterinya yang mengambil. Merasa tidak pernah mengambil uang dimaksud, Isteri membantah sehingga timbul pertengkaran. Terdakwa merasa jengkel lalu memukul mata kiri dan pelipis sebelah kiri isteri, sehingga ia merintih kesakitan. Terdakwa terus mendesak supaya isteri mengaku, yang memaksanya mengeluarkan kata-kata menyakitkan terdakwa: ”Enggak ada, kalau kau terus menuduh saya, besok saya ganti sama tanah perkuburanmu”. Mendengar kalimat tersebut, terdakwa melakukan aksi kekerasan berikutnya dengan cara menumbuk bagian lengan tangan sebelah kiri dan kanan. Perbuatan itu menyebabkan isteri yang menjadi saksi korban menderita kesakitan, karena pelipis, mata, dan lengan sebelah kiri bengkak, yang seluruhnya dinyatakan dalam visum et repertum oleh Dr. Donny Mega Surya dari RSU Sarah Medan.

Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa melakukan:

– pidana kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) UU No.23 tahun 2004;[10] dan
– tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ke-1e KUHP[11]

Atas dasar dakwaan tersebut, terdakwa dituntut hukuman pidana 2 (dua) tahun penjara dan dibebani biaya perkara sebesar Rp. 1.000,-

Pengadilan Negeri Medan menyatakan terdakwa Unggul Vicanor Siahaan (Nicanor) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan ”tindak pidana penganiayaan” terhadap isterinya, dan menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua tahun). Putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Medan, dan menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana ”perbuatan dengan kekerasan terhadap keluarganya”, dan oleh karena itu menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan. Hukuman itu diperberat oleh Pengadilan Tinggi Medan, dengan pertimbangan bahwa penjatuhan pidana terhadap terdakwa dirasa terlalu ringan dan tidak setimpal dengan perbuatannya. Selain itu terdakwa terlalu merendahkan martabat perempuan, yang seharusnya sebagai suami dapat menjaga dan mengangkat derajat dan martabat seorang perempuan selaku isterinya.

Dalam memori kasasinya kepada Mahkamah Agung, terdakwa menyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri tidak menerapkan hukum acara pidana, karena mengabaikan hak-hak terdakwa untuk didampingi penasehat hukum, melarang menghadirkan saksi-saksi terdakwa, keterangan saksi saling bertentangan, fakta hukum di persidangan tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama. Mengenai pertimbangan hakim tingkat banding, terdakwa menyatakan antara lain bahwa saksi korban (isteri)lah yang justeru melakukan penganiayaan terhadap terdakwa dengan cara menggigit sebelah kiri dan memukul pakai alu, namun terdakwa tidak membuat pengaduan, sehingga kini masih berbekas di tangan terdakwa.

Tindakan saksi korban itu tidak terungkap di Pengadilan Negeri Medan, sehingga terdapat adanya manipulasi fakta. Putusan Pengadilan Tinggi Medan tidak sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang hanya menuntut hukuman 2 (dua) tahun penjara, sehingga putusan tersebut dianggap tanpa pertimbangan dan dasar hukum yang jelas. Selain itu, terdakwa keberatan dengan pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi, karena terdakwa melakukan tindak pidana yang merendahkan wanita tidak dikuatkan dengan bukti-bukti dan saksi-saksi, sehingga haruslah ditolak.

Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan kasasi yang diajukan pemohon terdapat cukup alasan untuk dikabulkan, sehingga putusan Pengadilan Tinggi Medan harus dibatalkan. Dengan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan yang dianggap sudah tepat, dan pertimbangannya diambil alih oleh Mahkamah Agung, dan dengan mengadili sendiri Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi pemohon kasasi/terdakwa dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, dengan menyatakan terdakwa Unggul Vicanor Siahaan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap isterinya, dan menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.

4. Kasus Max Don dan Imaniar Norsaid:[12] Penganiayaan terhadap Pembantu Rumah Tangga, Dihukum 10 Bulan
Max Don (34 tahun), seorang pria kelahiran Srilangka berkebangsaan Singapura, bertempat tinggal di Jakarta Timur menikahi seorang perempuan bernama Imaniar Norsaid (35 tahun), pada tanggal 10 Juli 2001 dituduh secara bersama-sama atau sendiri-sendiri menganiaya seorang perempuan pembantu rumah tangganya bernama Istiroqah yang baru bekerja selama 3 bulan. Penganiayaan tersebut disebabkan perasaan tidak puas dengan hasil pekerjaan pembantu mencuci pakaian, yang menyebabkan terdakwa (Imaniar) marah-marah dan memukul bagian kepala saksi (Istiroqah) dengan tangan dan kemudian menggunakan kayu gagang pembersih lantai.

Imaniar mengancam: ”Kamu itu mencuci tidak bersih, awas kalau kamu mencuci tidak bersih lagi besok kamu saya tampar dan saya pukul lagi.” Setelah itu itu Max Don menendang dengan mengenai pinggul Istiroqah yang menyebabkan dia terjatuh ke lantai. Tidak puas hanya dengan itu, Max Don menjambak perempuan malang itu serta meremas wajahnya, mencekik dan menendang lagi yang membuat Istiroqah terjatuh untuk kedua kalinya.” Kekerasan fisik tersebut menyebabkan Istiroqah menderita sakit dan luka-luka yang terdapat di leher dengan kulit kemerahan 10 x 2 cm, bagian pinggul kiri luka memar (3 x 2 cm), tulang kering bagian kanan luka memar (3 x 2 cm), mata kanan luka memar (3 x 1,1/2 cm). sesuai dengan laporan visum et repertum yang dibuat oleh Dr. Ny. Yanti Arbi dari RS. Persahabatan Jakarta Timur.

Jaksa penuntut umum dalam dakwaan primair (29 Mei 2002) menyatakan bahwa Max Don dan Imaniar Norsaid terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”penganiayaan secara bersama-sama sebagai orang yang melakukan, beberapa kali dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan (voorgezette handeling), sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1)[13], 1e jo. Pasal 64 ayat (1) KUH-Pidana. Jaksa penuntut umum menuntut hukuman penjara terhadap Max Don dan Imaniar masing-masing 1 (satu) tahun dan 10 (sepuluh) bulan.

Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam putusannya menyatakan terdakwa tidak terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan dan karena itu membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan.

Jaksa Penuntut Umum dalam memori kasasinya (2 Juli 2002) berpendapat bahwa meskipun terdakwa diputus dengan putusan bebas murni yang menurut Pasal 244 KUHAP permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima, namun apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, maka Mahkamah Agung harus menerima permohonan kasasi.

Jaksa menunjukkan fakta adanya hubungan hukum antara terdakwa dengan saksi korban yaitu selaku pembantu rumah tangga, dan saksi korban ditemukan di atas rumah Zakaria Zen dalam keadaan luka memar bawah kanan dan kulit kemerahan. Saksi korban mengaku sebagai pembantu rumah tangga terdakwa yang melarikan diri karena tidak tahan atas perlakuan terdakwa yang memukul, menendang dan mencekik serta membenturkan ke tembok. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur memutuskan perkara ini tanpa mempertimbangkan kaitan fakta-fakta sebagaimana dimaksud Pasal 185 ayat (2) KUHAP dengan alat bukti lainnya berdasarkan Pasal 185 ayat (3) KUHAP[14] berupa keterangan saksi Zakaria Zen, Sri Maloeyarti, Suwito Donoasmoro (selaku Ketua RW setempat) dan visum et repertum yang dibuat dokter atas sumpah jabatan.

Mahkamah Agung berpendapat bahwa Jaksa Penuntut Umum dapat membuktikan bahwa Putusan Pengadilan Negeri merupakan pembebasan yang tidak murni sifatnya sebab didasarkan penafsiran yang keliru tentang sebutan tindak pidana yang didakwakan in casu tindak pidana yang diatur dalam Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 35 ayat (1) 1e jo Pasal 64 ayat (1) KUHP[15]. Oleh karena itu Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum dan menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan secara bersama-sama dan sebagai perbuatan berlanjut, dan karena itu menjatuhkan pidana terhadap terdakwa-terdakwa masing-masing 10 (sepuluh) bulan.

5. Kasus Benjamin Purba[16]: Mencabuli Anak Dihukum 3 Bulan 10 Hari
Benjamin Purba (58 tahun), seorang guru di Serbelawan, Dolok Batunanggar, Kabupaten Simalungun, didakwa melakukan perbuatan cabul terhadap anak kandungnya sendiri Devi Natalia Purba (19 Februari 2005). Gadis kecil itu semula diajak untuk memijat/mengusuk badan terdakwa yang hanya memakai kain sarung. Selesai dipijat, terdakwa memaksa saksi korban mengocok kemaluan terdakwa berulang kali sampai mengeluarkan air mani (sperma). Terdakwa bereaksi dengan mencium pipi dan leher saksi korban, setelah itu memegang tangan dan menindih badan saksi korban yang masih berpakain lengkap. Saksi meronta dan menunjang terdakwa serta menggigit tangan terdakwa . Saksi korban lepas dari terdakwa dan menceritakan kepada ibunya apa yang dilakukan ayah kandungnya. Perbuatan itu dilakukan secara paksa, karena diancam dengan kata-kata apabila tidak menuruti kemauan terdakwa maka saksi korban tidak akan disekolahkan.

Jaksa Penuntut Umum menyatakan terdakwa dengan Pasal 82 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak[17], Pasal 46 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga[18], dan Pasal 294 ayat (1) KUHP[19], dan menuntut dengan hukuman penjara selama 3 (tiga) tahun ditambah denda Rp. 60.000.000 karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”dengan kekerasan melakukan perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur.” Pengadilan Negeri Simalungun menjatuhkan vonis 3 (tiga) bulan 10 (sepuluh) hari karena Benjamin Purba terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa.” Putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan. Memori kasasi Jaksa Penuntut Umum ditolak oleh Mahkamah Agung, dan akhirnya perbuatan mencabuli anak tersebut dihukum hanya 3 (tiga) bulan 10 (sepuluh) hari.


Analisis Putusan Hakim
1. Pada kasus pertama, pengadilan memutuskan terdakwa dihukum 2 tahun 6 bulan karena kealpaannya menyebabkan matinya orang, padahal Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya menyimpulkan bahwa terdakwa telah melakukan ”kekerasan dalam rumah tangga yang berakibat mati”, dan karena itu menuntut hukuman 8 (delapan) tahun penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan. Putusan pengadilan dikuatkan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pendapat Jaksa yang menyatakan bahwa terdakwa bukan melakukan kelalaian (culpa) melainkan kesengajaan (opzet) tidak diterima oleh badan peradilan.

Putusan hakim tidak berdasarkan Pasal 5 huruf a jo Pasal 44 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Pasal 80 ayat (1) dan ayat (4) UU 23/2004, melainkan yang diterapkan adalah Pasal 359 KUHP, yaitu tindak pidana ”karena kealpaan menyebabkan matinya orang lain”.

Kealpaan sebagai terjemahan dari istilah culpa sebenarnya tidak sama dengan schuld yang terdapat dalam KUHP yang diterjemahkan dengan ketidaksengajaan. Pasal 359 KUHP berbunyi: “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama sembilan bulan.”[20]

Undang-undang tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang disebut schuld (ketidaksengajaan atau kealpaan). Menurut Lamintang, dengan mengutip pendapat Prof. Simons, seseorang dapat dikatakan mempunyai culpa di dalam melakukan perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan perbuatannya tanpa disertai ”de nodige en mogelijke voorzichtigheid en oplettendheid, atau tanpa disertai kehati-hatian dan perhatian seperlunya yang mungkin ia dapat berikan. Oleh karena itu culpa pada dasarnya mempunyai dua unsur masing-masing ”het gemis aan voorzichtigheid dan het gemis van de voorzienbaarheid van het gevolg, atau masing-masing ”tidak adanya kehati-hatian” dan ”kurangnya perhatian terhadap akibat yang timbul.”[21]

Dalam kasus ini, putusan Mahkamah Agung menghukum terdakwa dengan alasan tidak hati-hati mengobati anak – yang menderita penyakit asmatis dan paru-paru – dengan caranya sendiri yaitu menyumbat hidungnya dan memandikan terus-menerus selama satu jam, yang mengakibatkan anak yang malang itu meronta sekuat tenaga sampai kepalanya membentur lantai, serta kurang memperhatikan (karena keawamannya terhadap jenis penyakit yang diderita anaknya) bahwa perbuatan tersebut dapat mengakibatkan kematian anaknya. Terdakwa tidak mempunyai suatu kesengajaan (opzet) bagi kematian anaknya, melainkan hanyalah terdapat suatu culpa (ketidaksengajaan atau kealpaan). Ilmu pengetahuan dan yurisprudensi memang telah mengartikan culpa (ketidaksengajaan atau kealpaan) sebagai ”een manco aan coorzienigheid” atau ”een manco aan voorzichtigheid” atau ”suatu kekurangan untuk melihat jauh ke depan tentang kemungkinan timbulnya akibat-akibat” atau ”suatu kekurangan akan sikap berhati-hati”.

Dalam kasus ini hakim tidak menerapkan tindak pidana KDRT melainkan melihat konsepsi pidana penganiayaan karena kealpaan/kesalahan dalam Pasal 359 KUHP. Hal itu lebih mudah dipahami dibanding dengan tindak pidana ”kekerasan fisik dalam rumah tangga” berdasarkan Pasal 5 huruf a jo Pasal 44 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dengan kata lain pidana penganiayaan mengandung unsur delik yang lebih jelas dan mudah diterapkan dengan pidana KDRT, meskipun Jaksa menuntut dengan pidana KDRT, yaitu kekerasan fisik yang menyebabkan matinya korban (Pasal 44 ayat (3).

2. Pada kasus kedua, perbuatan terdakwa mencekik anak kandungnya sampai mati, oleh pengadilan dituntut oleh Jaksa pidana 12 (duabelas) tahun penjara dikurangi tahanan sementara karena ”melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga terhadap anak kandungnya Muhammad Ardian yang mengakibatkan mati.” sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (3) UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pengadilan memutuskan bahwa terdakwa ”dengan sengaja membiarkan orang dalam keadaan sengsara yang mengakibatkan mati, sedang ia wajib memberi perawatan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya”. Hakim menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun, yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung.

Dalam kasus ini pun ternyata hakim tidak memutus berdasarkan pidana KDRT melainkan dengan Pasal 304 KUHP yang memuat pidana ”meninggalkan orang lain yang perlu ditolong” (verlating van hulpbevoevenden), yang berarti perbuatan terdakwa mencekik anak kandungnya sampai mati dipandang sebagai perbuatan ”menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang itu karena hukum yang berlaku…” Terasa agak sulit memahami putusan hakim terhadap kasus ini, karena perbuatan mencekik sampai mati lebih mudah dipahami sebagai salah bentuk penganiayaan fisik, mengapa yang diterapkan adalah Pasal 304 KUHP tentang meninggalkan orang lain yang perlu ditolong? Dakwaan Jaksa terhadap perbuatan tersebut dengan menerapkan Pasal 44 ayat (3) kelihatannya lebih tepat, namun hakim memilih Pasal 304 KUHP, yang menurut UU 23/2004 disebut ”penelantaran rumah tangga” yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1).

3. Pada kasus ketiga perbuatan kekerasan fisik terhadap isteri yang menyebabkan saksi korban menderita kesakitan, karena pelipis, mata, dan lengan sebelah kiri bengkak, oleh Jaksa Penuntut Umum terdakwa didakwa melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) UU No.23 tahun 2004, dan menuntut hukuman 2 (dua) tahun penjara. Putusan Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan pidana dua tahun penjara kepada terdakwa karena terbukti melakukan ”tindak pidana penganiayaan”. Putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Medan, dan menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana ”perbuatan dengan kekerasan terhadap keluarganya”, dan oleh karena itu menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan. Hukuman tersebut diperberat oleh Pengadilan Tinggi Medan, dengan pertimbangan bahwa penjatuhan pidana terhadap terdakwa dirasa terlalu ringan dan tidak setimpal dengan perbuatannya. Selain itu terdakwa terlalu merendahkan martabat perempuan, yang seharusnya sebagai suami dapat menjaga dan mengangkat derajat dan martabat seorang perempuan selaku isterinya. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri, sehingga terdakwa dihukum dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.

Ini juga berarti hakim tidak menerapkan pasal tindak pidana KDRT yang didakwakan Jaksa melainkan menerapkan pasal tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Putusan Pengadilan Tinggi Medan yang menjatuhkan pidana penjara dua tahun enam bulan karena terbukti melakukan ”perbuatan dengan kekerasan terhadap keluarganya” seperti dimaksud dalam pidana KDRT (meskipun tidak menggunakan kalimat ”kekerasan fisik), dibatalkan oleh Mahkamah Agung, karena terdakwa lebih tepat dijatuhkan hukuman karena melakukan ”tindak pidana penganiayaan” seperti yang diputus oleh Pengadilan Negeri Medan. Sekali lagi hakim mengabaikan pidana KDRT.

Tindak pidana penganiayaan (mishandeling) yang diatur dalam Pasal 351 s/d Pasal pada intinya adalah perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atau luka (letsel) atau sengaja mengakibatkan kerugian pada kesehatan orang lain (opzettelijk benadeling van de gezondheid van een ander).[22]

Dengan memperhatikan sejarah lahirnya, sistimatika dan substansi UU 23/2004 terdapat kesan bahwa pembentukan undang-undang tersebut adalah dengan maksud untuk mengembangkan konsepsi hukum pidana tentang tindak pidana penganiayaan. Hal itu dengan alasan bahwa pidana penganiayaan terlalu sempit sehingga tidak dapat menjaring berbagai bentuk penganiayaan lain yang banyak muncul dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena itu perlu ada tindak pidana baru yang lebih luas, khususnya di dalam rumah tangga, yang diatur dengan undang-undang sendiri (di luar KUHP) yang disebut”kekerasan dalam rumah tangga”.

Pengembangan konsepsi ”penganiayaan” menjadi ”kekerasan dalam rumah tangga” menyebabkan perluasan makna dan diversifikasi penganiayaan, sehingga – menurut UU-KDRT- mencakup: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.[23] Jika diperhatikan dengan cermat mungkin sulit membedakan antara kekerasan psikis (psychological violence) dengan ancaman kekerasan seperti yang dipahami dalam hukum pidana. Demikian pula bagi para penegak hukum mungkin sulit memahami konsepsi pidana ”penelantaran rumah tangga” karena unsur delik ”ketergantungan ekonomi” yang disebut dalam Pasal 9 ayat (2) bersifat kualitatif, sehingga hakim pidana mungkin kembali akan menerapkan konsep pidana penganiayaan.

Dari kasus ini terlihat bahwa hakim lebih mudah menerapkan pidana penganiayaan, dibandingkan dengan pidana KDRT, meskipun tuntutan jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa dengan pidana KDRT.

Selain itu UU 23/2004, baik judul maupun sebagian substansinya mencerminkan upaya menjabarkan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman), khususnya Article 2[24] sehingga tidak hanya berlaku bagi kekerasan terhadap wanita melainkan segala macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga.

4. Pada kasus keempat, kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami isteri terhadap pembantu rumah tangga (yang terjadi sebelum berlakunya UU 23/2004) oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan primair menyatakan terdakwa melakukan ”penganiayaan secara bersama-sama sebagai orang yang melakukan, beberapa kali dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan (voorgezette handeling), sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1), 1e jo. Pasal 64 ayat (1) KUH-Pidana, dan menuntut terdakwa dengan hukuman penjara terhadap masing-masing 1 (satu) tahun dan 10 (sepuluh) bulan. Pengadilan Negeri membebaskan terdakwa dari segala hukuman, namun oleh Mahkamah Agung dakwaan Jaksa dapat dibuktikan sehingga terdakwa dihukum sesuai dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, yaitu dengan hukuman penjara masing-masing 1 (satu) tahun dan 10 (sepuluh) bulan.

Kasus ini terjadi sebelum berlakunya UU 23/2004, sehingga Jaksa Penuntut Umum tidak menggunakan pasal-pasal pidana KDRT.

5. Pada kasus kelima, perbuatan mencabuli anak divonis hakim 3 (tiga) bulan 10 (sepuluh) hari karena melakukan tindak pidana ”perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa.” Dari ketiga undang-undang yang digunakan Jaksa Penuntut Umum untuk menjaring perbuatan cabul dengan anak di bawah umur, tidak ada satupun yang mengatur dengan vonis penjara yang ringan:

– UU-KDRT – 12 tahun penjara;
– UU-Perlindungan Anak menentukan 15 tahun penjara, dengan pidana minimum 3 tahun penjara,
– KUHP – 7 tahun penjara

Hakim memvonis perbuatan cabul hanya 3 bulan 10 hari. Terlepas dari adanya berbagai pertimbangan hakim tentang kondisi terdakwa, haldispority pidana yang terlalu jauh antara putusan hakim dengan ancaman pidana yang dirumuskan oleh pembentuk (wetgever) dengan hukuman yang sangat tinggi bagi perbuatan cabul dimaksudkan agar seseorang berpikir masak-masak sebelum berbuat cabul, karena tidak hanya melanggar kaidah agama, susila, dan hukum melainkan juga mengantarkan anak menuju masa depannya dengan trauma psikologis ketika masa kanak-kanak yang tak akan pernah dapat dilupakan.

Selain itu, pada kasus ini pun hakim tidak memutus perkara tindak pidana ”perbuatan kekerasan seksual” terhadap anak berdasarkan UU-KDRT melainkan kembali merujuk kepada KUHP. Apakah hal itu disebabkan karena ancaman hukuman dalam UU-KDRT yang amat tinggi (12 tahun) terhadap tindak pidana ”kekerasan seksual” atau karena uraian delik (delictsomschrijving) dalam UU-KDRT yang tidak jelas? Pasal 8 UU-KDRT dua bentuk ”kekerasan seksual”, yaitu:

  • pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga;
  • pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial.


Apakah kekerasan seksual sama dengan cabul sebagaimana dimaksud dalam KUHP? Tampaknya kekerasan seksual (sexual violence) diartikan sebagai perkosaan atau pemaksaan seksual, sedangkan cabul lebih menitikberatkan dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan (anak di bawah umur atau terhadap seseorang yang tidak karena kemauannya). Menurut hukum pidana cabul terjadi terhadap anak di bawah umur atau dengan seseorang tanpa kemauan yang bersangkutan,[25] sedangkan kekerasan seksual hanya melihat dari aspek ”pemaksaan seksual” tanpa menyebutkan dengan jelas bahwa perbuatan tersebut dilakukan terhadap ”anak di bawah umur, atau lawan jenisnya yang tidak karena kemauannya”. UU Perlindungan anak membatasi pengertian anak pada ”anak berusia belum 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Dengan demikian cukup beralasan hakim menggunakan KUHP dengan uraian delik lebih jelas dibanding dengan UU-KDRT.

Melengkapi analisis ini, perlu dibandingkan dengan dua kasus lain mengenai KDRT yaitu :

Pembunuhan 3 orang anak oleh ibu kandungna ( 8 Juni 2008 ) yang terjadi di Bandung, dengan cara menekankan bantal ke mulut anaknya sampai anak-anak tersebut berhebti bernafas yang menyebabkan kematian mereka. Hakim memvonis bebas ibu kandung sang pembunuh karena hasil tes psikologi menunjukkan terdakwa menderita paranoia yang serius.
Seorang perempuan muda di Bekasi Jawa Barat dituduh membunuh 2 orang anaknya berusia dibawah 5 tahun ( Maret 2008 ). Perempuan itu didakwa melakukan pembunuhan menurut Pasal 338 KUHP, dengan ancaman hukuman 18 Tahun. Polisi melibatkan beberapa psikolog untuk menguji kondisi kejiwaan tersangka. Perempuan itu mengaku terpaksa membunuh anak-anaknya karena tekanan ekonomi yang sangat berat, sedangkan suaminya menganggur.[26]

Penutup

Hakim berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memiliki otoritas untuk menafsirkan undang-undang terhadap kasus yang diperiksanya. Undang-undang yang merupakan produk legislasi berdasarkan ”persetujuan bersama” Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden memuat norma umum, yang apabila terjadi sengketa antar para pihak atau pelanggaran terhadap norma tersebut, maka hakim yang berperan memberikan makna teknis yang terkandung dalam kalimat normatif (technical meaning of statutory words), yang sesuai dengan fakta dan situasi yang dihadapkan kepadanya.[27]

Dari lima kasus diatas, terdapat kesan yang cukup kuat kurangnya alasan yang diuraikan oleh hakim agung untuk menolak atau mengabulkan memori kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum, padahal uraian tersebut dangan diperlukan untuk menilai kualitas putusan hakim dalam rangka pengembangan hukum nasional melalui penerapan hukum di pengadilan (judge mode law).

Dari kelima macam putusan Mahkamah Agung terhadap tindak pidana yang dapat dikategorikan sebagai ”perbuatan KDRT”, ternyata tidak ada yang divonis hakim dengan menggunakan UU 23/2004, melainkan dengan KUHP. Sebagai alasan pembenaran terhadap hal itu, mungkin kita dapat mengatakan bahwa UU-KDRT relatif masih baru, sehingga dunia peradilan kita belum dapat menelaah dan memahami sepenuhnya konsepsi pemidanaan KDRT. Namun patut pula untuk dievaluasi kemungkinan jaksa dan hakim melihat uraian delik dalam KDRT terlalu sederhana atau tidak jelas, sehingga belum dapat dibedakan dengan jelas antara kekerasan fisik dengan penganiayaan, antara cabul dengan kekerasan seksual dan seterusnya.

Para penegak hukum (kepolisian, jaksa, hakim dan pengacara) tampaknya masih belajar memerlukan waktu untuk memahami kriminalisasi KDRT dan hubungannya dengan tindak pidana yang telah diatur dalam KUHP dan undang-undang lainnya.

Suatu hal yang patut dikemukakan bahwa penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang akan memuat pasal-pasal mengenai ketentuan pidana seyogyanya dengan mengikutsertakan institusi yang bertanggung jawab di bidang penagakan hukum, paling tidak substansi rancangan tersebut disosialisasikan terlebih dahulu dengan para penegak hukum (law enforcers), guna menghindari disparitas pemahaman antara maksud pembentuk hukum dengan penegak hukum yang akan menerapkannya dalam proses peradilan. (*http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/) oleh: Drs. Zafrullah Salim


______________ [1] Harkristuti Harkrisnowo, Menggugat Eksistensi Korban dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, dalam Sri Windarti (editor): Mardjono Reksodiputro – Pengabdian Seorang Guru Besar Hukum Pidana, (Jakarta, FH – UI, 2007), hal. 142.
[2] Ibid, hal. 143
[3] Putusan Pengadilan Negeri Situbondo, no. 362/Pid.B/2006/PN.STB, tanggal 28 November 2006; putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, no. 27/PID/2006/PT. SBY, tanggal 15 Februari 2007; putusan Mahkamah Agung no. 1102 K/Pid/2007, tanggal 22 Mei 2007.
[4] Pasal 5: ”Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. Kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. Kekerasan seksual; atau d. Penelantaran rumah tangga. Pasal 44 ayat (3) Dalam hal perbuatan sebagaiana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
[5] Putusan Pengadilan Negeri Makassar, no. 1224/PID.B/2006/PN.MKS, tanggal 15 Februari 2007; putusan Pengadilan Tinggi Makassar, no. 96/PID/2007/PT. MKS, tanggal 23 April 2007; putusan Mahkamah Agung, no. 223 K/Pid/Sus/2007, tanggal 5 Oktober 2007.
[6] Pasal 338 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
[7] Pasal 351 ayat (3) KUHP: ”Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.” Ayat (3) terkait dengan ayat (1) yaitu mengenai penganiayaan.
[8] Pasal 306 ayat (2) KUHP: ”Jika mengakibatkan kematian pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Ayat (2) dikaitkan dengan perbuatan pada Pasal 304, sehingga perbuatan yang dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu yang mengakibatkan kematian orang tersebut dipidana penjara paling lama sembilan tahun.
[9] Putusan Pengadilan Negeri Medan, no. 3464/Pid.B/2006/PN.MDN, tanggal 4 Oktober 2006; putusan Pengadilan Tinggi Medan, no. 440/Pid/2006/PT. Mdn. tanggal 4 Desember 2006; dan putusan Mahkamah Agung, no. 705 K/Pid/2007, tanggal 24 April 2007
[10] Pasal 44 ayat (1): ”Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).”
[11] Pasal 356 KUHP: ”Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah sepertiga: 1. bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, isterinya, atau anaknya. 2. jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah. 3. jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.” Bab XX tentang Penganiayaan terdiri dari Pasal 351 s/d Pasal 358.
[12] Putusan Mahkamah Agung , nomor 1232 K/Pid/2003, 11 Oktober 2005; Pengadilan Negeri Jakarta Timur, nomor 352/Pid.B/2002/PN JKT.TIM, 26 Juni 2002.
[13] Pasal 351 ayat (1) KUHP: “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling lama empat ribu lima ratus rupiah.

[14] Pasal 185 ayat (2): ”Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.” Ayat (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.”

[15] Pasal 64 ayat (1) KUHP: “Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian ripa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.”

[16] Putusan Negeri Simalungun, nomor 102/Pid.B/2005/PN.Sim, tanggal 16 Juni 2005; Putusan Pengadilan Tinggi Medan, nomor 228/Pid/2005/PT. MDN, tanggal 5 Oktober 2005; dan Putusan Mahkamah Agung, nomor 1705/K/Pid/2006, tanggal 23 September 2006.

[17] Pasal 82 UU 23/2002: ”Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

[18] Pasal 46 UU 23/2004: ”Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).

[19] Pasal 294 ayat (1) KUHP: ”Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, atau anak piaranya, anak yang dibawah pengawasannya, semua di bawah umur, orang di bawah umur yang diserahkan kepadanya untuk dipeliharanya, didiknya atau dijaganya, atau bujangnya atau orang yang di bawahnya keduanya di bawah umur, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.

[20] Teks aslinya dalam Bahasa Belanda berbunyi: “Hij aan wiens schuld de dood van een ander te wijten is, wordt gesraft met gevangenisstraf van ten hoogste een jaar of hechtenis van ten hoogste negen maanden. (Engelbrecht, hal. 1352). Istilah ”aan wiens schuld te wijten is” dalam Pasal 359 ini ada yang menerjemahkan dengan ”karena kesalahannnya” (Engelbrecht), ”karena kekhilafannya” (Budiarto – Wantjik Saleh), atau ”karena salahnya” (Soesilo).

[21] P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 1997), hal.336.

[22] N.E. Algra & H.R.W. Gokkel, Fockema Andreae’s Juridisch Woordenboek, (Alphen aan den Rijn: Tjeenk Willink, 1985), hal. 309

[23] Pasal 5 UU 23/2004

[24] Article 2: “Violence against women shall be understood to encompass, but not be limited to, the following:
a) Physical, sexual, and psychological violence occurring in the family, including battering, sexual abuse of female children in the household, dowry related violence, marital rape, female genital mutilation and other traditional practices harmful to women, non-spousal violence and violence related exploitation.
b) Physical, sexual and psychological violence occurring within the general community, including rape, sexual abuse, sexual harassement and intimidation at work, in educational institutions and elsewhere, trafficking in women and forced prostitution;
c) Physical, sexual and psychological violence perpetrated or condoned by the State, wherever it occurs.

[25] Lihat misalnya pengertian “cabul” (ontucht) yang mendefinisikannya (menurut KUHP Belanda Pasal 246 – 250bis) sebagai berikut berikut: ”Ontucht – wellust of geslachtsgemeenschap buiten echt; is strafbaar indien geplegd met minderjarigen of met een lid der andere sekse tegen zijn of haar wil…” (Cabul adalah kenikmatan seksual atau hubungan kelamin yang dilakukan tidak dengan isteri; dapat dipidana jika dilakukan terhadap anak di bawah umur atau dengan seseorang yang berlawanan jenis yang bertentangan dengan keinginannya…). (Fockema Andreae’s Juridisch Woordenboek, hal. 347)

[26] Ria Fitria, Contemplation on Recent Tragic Cases of Mothers Murdering Their Children, dalam Postcript Jakarta : (Habibie Centre), Vol V Nomor 3, April 2008, hal. 17-20.

[27] Sir Rupport Cross, Statutory Interpretation, (London: Butterworhts, 1976), hal. 41