{shalat} Hal-hal Yang Membatalkan Shalat

SUDUT HUKUM | Ada begitu banyak hal yang bisa mengakibatkan shalat yang dikerjakan menjadi batal. Dan diantara hal-hal yang membatalkan shalat sebagaimana yang telah dijabarkan oleh para fuqaha adalah sebagai berikut:

Ada begitu banyak hal yang dapat membatalkan shalat, sebagiannya telah menjadi kesepakatan ulama tanpa khilaf, sebagian lainnya juga membatalkan namun masih khilaf para ulama di dalamnya.


Hal-hal Yang Membatalkan ShalatDi antara hal yang sering dibicarakan sebagai pembatal shalat adalah berbicara, makan dan minum, banyak gerakan dan terus menerus, kehilangan salah satu dari syarat sah shalat, tertawa, murtad dan hilang akal, berubah niat, meninggalkan salah satu rukun shalat, mendahului imam dalam shalat jama’ah, terdapatnya air bagi yang shalat dengan bertayammum, dan mengucapkan salam secara sengaja.
Kita akan bahas hal-hal di atas satu persatu.

1. Kehilangan Salah Satu Dari Syarat Sah Shalat

Sebagaimana kita ketahui bahwa di antara syarat-syarat sah-nya shalat antara lain adalah muslim, berakal, tahu sudah masuk waktu, suci dari najis, suci dari hadats, menutup aurat dan menghadap kiblat.

a. Murtad

Syara pertama orang yang mengerjakan shalat adalah statusnya harus menjadi seorang muslim. Bila status keislamannya terlepas, maka otomatis shalatnya menjadi batal.
Maka orang yang sedang melakukan shalat, lalu tiba-tiba murtad, maka batal shalatnya. Mungkin ada orang yang bertanya, bagaimana bisa seseorang yang sedang shalat, tiba-tiba berubah menjadi murtad?
Murtad atau keluar dari agama Islam bisa saja terjadi tiba-tiba, misalnya ketika seseorang tiba-tiba mengingkari wujud Allah SWT, atau mengingkari kerasulan Muhammad SAW, termasuk juga mengingkari kebenaran agama Islam sebagai agama satu-satunya yang Allah ridhai. Bila sesaat setan masuk ke dalam pikiran sambil meniupkan pikiran sesatnya itu, lalu seseorang itu sampai kepada tingkat meyakini apa yang ditiupkan setan itu, maka boleh jadi tidak sempat murtad sebentar.
Kalau pun saat itu dia segera sadar, maka shalat yang dilakukannya dianggap batal dan harus diulang lagi. Mengapa demikian?
Karena kekufuran itu merusak amal dan membuatnya menjadi sia-sia. Dalilnya adalah firman Allah SWT :

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ


Jika kamu mempersekutukan niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Az-Zumar : 65)

b. Gila

Demikian juga dengan orang yang tiba-tiba menjadi gila atau hilang akal saat sedang shalat, maka shalatnya juga batal.
Sebab syarat sah dalam ibadah shalat salah satunya adalah berakal. Shalat yang dilakukan oleh orang gila atau kehilangan akalnya, tentu shalat itu tidak sah. Dan bila gila itu datangnya kumat-kumatan, sebentar datang dan sebentar hilang, maka bila terjadi ketika sedang shalat, maka shalat itu menjadi batal.

c. Belum Masuk Waktu

Di antara syarat sah shalat adalah bahwa mengetahui bahwa waktu shalat sudah masuk. Sebab shalat itu tidak sah dilakukan bila belum lagi masuk waktunya.
Maka bila seseorang yang sedang mengerjakan shalat, kemudian terbukti bahwa di tengah shalat itu baru masuk waktunya, otomatis shalatnya itu menjadi batal dengan sendirinya.
Hukum shalat sebelum waktunya jauh berbeda dengan shalat yang dilakukan pada waktu yang sudah terlewat. Bila waktunya sudah lewat, shalat masih sah dilakukan, bahkan dalam kaitanya dengan shalat fardhu, hukumnya tetap wajib dikerjakan.

d. Tersentuh Najis

Suci dari najis adalah salah satu syarat sah shalat. Tidak sah shalat seseorang kalau badan, pakaian atau tempatnya shalatnya masih terkena najis.
Maka bila ditengah-tengah shalat seseorang terkena atau tersentuh benda-benda najis, maka secara otomatis shalatnya itu pun menjadi batal.
Namun yang perlu diperhatikan adalah batalnya shalat itu hanya apabila najis itu tersentuh tubuhnya atau pakaiannya.
Adapun tempat shalat itu sendiri bila mengandung najis, namun tidak sampai tersentuh langsung dengan tubuh atau pakaian, shalatnya masih sah dan bisa diteruskan. Asalkan dia bergeser dari tempat dimana najis itu terjatuh.
Selain sumber najis itu dari luar, bisa juga najis itu datang dari dalam tubuh sendiri. Maka bila ada najis yang keluar dari tubuhnya hingga terkena tubuhnya, seperti mulut, hidung, telinga atau lainnya, maka shalatnya batal.
Namun bila kadar najisnya hanya sekedar najis yang dimaafkan, yaitu najis-najis kecil ukurannya, maka hal itu tidak membatalkan shalat.

e. Mengalami Hadats Kecil

Bila seseorang mengalami hadats besar atau kecil, maka batal pula shalatnya, baik hal itu terjadi tanpa sengaja atau secara sadar, ataupun dengan sengaja dan sepenuh kesadaran.
Hal-hal yang membuat seseorang berhadats kecil dan bisa membatalkan wudhu’ ada beberapa hal. Sebagian disepakati para ulama dan sebagian lainnya masih menjadi khilaf atau perbedaan pendapat.
a. Keluarnya Sesuatu Lewat Kemaluan
Yang dimaksud kemaluan itu termasuk bagian depan dan belakang. Dan yang keluar itu bisa apa saja termasuk benda cair seperti air kencing, mani, wadi, mazi, atau apapun yang cair. Juga berupa benda padat seperti kotoran, batu ginjal, cacing atau lainnya.
Pendeknya apapun juga benda gas seperti kentut. Kesemuanya itu bila keluar lewat dua lubang qubul dan dubur membuat wudhu’ yang bersangkutan menjadi batal.
Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut ini :

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ

Atau bila salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air. (QS. Al-Maidah : 6)

Juga berdasarkan hadits nabawi :

إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَل عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا


Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersasabda,”Bila seseorang dari kalian mendapati sesuatu pada perutnya lalu dia merasa ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka tidak perlu dia keluar dari masjid, kecuali dia mendengar suara atau mencium baunya”. (HR. Muslim)

b. Tidur
Tidur yang bukan dalam posisi tetap (tamakkun) di atas bumi. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW

مَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأ -رواه أبو داود وابن ماجة.

Siapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu’ (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang membuat hilangnya kesadaran seseorang. Termasuk juga tidur dengan berbaring atau bersandar pada dinding. Sedangkan tidur sambil duduk yang tidak bersandar kecuali pada tubuhnya sendiri tidak termasuk yang membatalkan wudhu’ sebagaimana hadits berikut :

عَنْ أَنَسٍ رَضي الله عنه قاَلَ كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ الله يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّؤُنَ – رواه مسلم – وزاد أبو داود : حَتَّى تَخْفَق رُؤُسُهُم وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ


Dari Anas radhiyallahuanhu berkata bahwa para shahabat Rasulullah SAW tidur kemudian shalat tanpa berwudhu’ (HR. Muslim) – Abu Daud menambahkan : Hingga kepala mereka terkulai dan itu terjadi di masa Rasulullah SAW.


c. Hilang Akal

Hilang akal baik karena mabuk atau sakit. Seorang yang minum khamar dan hilang akalnya karena mabuk maka wudhu’ nya batal. Demikian juga orang yang sempat pingsan tidak sadarkan diri juga batal wudhu’nya.
Demikian juga orang yang sempat kesurupan atau menderita penyakit ayan dimana kesadarannya sempat hilang beberapa waktu wudhu’nya batal. Kalau mau shalat harus mengulangi wudhu’nya.
d. Menyentuh Kemaluan
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأ – رواه أحمد والترمذي

Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu (HR. Ahmad dan At-Tirmizy)

Para ulama kemudian menetapkan dari hadits ini bahwa segala tindakan yang masuk dalam kriteria menyentuh kemaluan mengakibatkan batalnya wudhu. Baik menyentuh kemaluannya sendiri ataupun kemaluan orang lain. Baik kemaluan laki-laki maupun kemaluan wanita. Baik kemaluan manusia yang masih hidup ataupun kemauan manusia yang telah mati (mayat). Baik kemaluan orang dewasa maupun kemaluan anak kecil. Bahkan para ulama memasukkan dubur sebagai bagian dari yang jika tersentuh membatalkan wudhu.
Namun para ulama mengecualikan bila menyentuh kemaluan dengan bagian luar dari telapak tangan dimana hal itu tidak membatalkan wudhu’.

f. Menyentuh Kulit Lawan Jenis

Menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram tanpa ada lapisan atau penghalan, termasuk hal yang membatalkan wudhu menurut pendapat para ulama.
Di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram termasuk yang membatalkan wudhu’. Namun hal ini memang sebuah bentuk khilaf di antara para ulama. Sebagian mereka tidak memandang demikian.
Sebab perbedaan pendapat mereka didasarkan pada penafsiran ayat Al-Quran yaitu :

أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا

Atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik. (QS. An-Nisa : 43)

Sebagian ulama mengartikan kata ‘menyentuh’ sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima’ (hubungan seksual). Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit tidak membatalkan wuhu’.
Ulama kalangan As-Syafi’iyah cenderung mengartikan kata ‘menyentuh’ secara harfiyah, sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan wudhu’.
Menurut mereka bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.
Dan Imam Asy-Syafi’i nampaknya tidak menerima hadits Ma’bad bin Nabatah dalam masalah mencium.
Namun bila ditinjau lebih dalam pendapat-pendapat di kalangan ulama Syafi’iyah, sebenarnya kita masih juga menemukan beberapa perbedaan. Misalnya sebagian mereka mengatakan bahwa yang batal wudhu’nya adalah yang sengaja menyentuh sedangkan yang tersentuh tapi tidak sengaja menyentuh maka tidak batal wudhu’nya.
Juga ada pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan (suami istri). Menurut sebagian mereka bila sentuhan itu antara suami istri tidak membatalkan wudhu’.
Dan sebagian ulama lainnya lagi memaknainya secara harfiyah sehingga menyentuh atau bersentuhan kulit dalam arti fisik adalah termasuk hal yang membatalkan wudhu’. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah dan juga semua salaf dari kalangan shahabat.
Sedangkan Al-Malikiyah dan jumhur pendukungnya mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan itu dibarengi dengan syahwat (lazzah) maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu’.
Pendapat mereka dikuatkan dengan adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah menyentuh para istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu’ lagi.

أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ

Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah radhiyallahuanhadari Nabi SAW bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu”.(HR. Turmuzi Abu Daud An-Nasai Ibnu Majah dan Ahmad).

Selain terkena hadats kecil, yang ikut juga membatalkan seseorang dari shalatnya adalah terkena atau mendapatkan hadats besar. Maksudnya, kalau pada saat sedang shalat, seseorang mengalami hal-hal yang mengakibatkan terjadinya hadats besar, maka secara otomatis shalatnya batal.
Para ulama menetapkan paling tidak ada 6 hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi janabah. Tiga hal di antaranya dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan. Tiga lagi sisanya hanya terjadi pada perempuan.
a. Keluar Mani
Keluarnya air mani menyebabkan seseorang mendapat janabah baik dengan cara sengaja (masturbasi) atau tidak. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله تعالى عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ الْمَاءُ مِنْ الْمَاءِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَأَصْلُهُ فِي الْبُخَارِيِّ

Dari Abi Said Al-Khudhri radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”Sesungguhnya air itu (kewajiban mandi) dari sebab air (keluarnya sperma). (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun ada sedikit berbedaan pandangan dalam hal ini di antara para fuqaha’.
Mazhab Al-Hanafiyah Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mensyaratkan keluarnya mani itu karena syahwat atau dorongan gejolak nafsu baik keluar dengan sengaja atau tidak sengaja. Yang penting ada dorongan syahwat seiring dengan keluarnya mani. Maka barulah diwajibkan mandi janabah.
Sedangkan mazhab Asy-syafi’iyah memutlakkan keluarnya mani baik karena syahwat ataupun karena sakit semuanya tetap mewajibkan mandi janabah.
Sedangkan air mani laki-laki itu sendiri punya ciri khas yang membedakannya dengan wadi dan mazi :

  • Dari aromanya air mani memiliki aroma seperti aroma ‘ajin (adonan roti). Dan seperti telur bila telah mengering.
  • Keluarnya dengan cara memancar sebagaimana firman Allah SWT : من ماء دافق
  • Rasa lezat ketika keluar dan setelah itu syahwat jadi mereda.

Mani Wanita

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ -وَهِيَ اِمْرَأَةُ أَبِي طَلْحَةَ- قَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ اَللَّهَ لَا يَسْتَحِي مِنْ اَلْحَقِّ فَهَلْ عَلَى اَلْمَرْأَةِ اَلْغُسْلُ إِذَا اِحْتَلَمَتْ ؟ قَالَ: نَعَمْ. إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Dari Ummi Salamah radhiyallahu anha bahwa Ummu Sulaim istri Abu Thalhah bertanya”Ya Rasulullah sungguh Allah tidak mau dari kebenaran apakah wanita wajib mandi bila keluar mani? Rasulullah SAW menjawab”Ya bila dia melihat mani keluar”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa wanita pun mengalami keluar mani bukan hanya laki-laki.
b. Bertemunya Dua Kemaluan
Yang dimaksud dengan bertemunya dua kemaluan adalah kemaluan laki-laki dan kemaluan wanita. Dan istilah ini disebutkan dengan maksud persetubuhan ( jima’). Dan para ulama membuat batasan : dengan lenyapnya kemaluan (masuknya) ke dalam faraj wanita atau faraj apapun baik faraj hewan.
Termasuk juga bila dimasukkan ke dalam dubur baik dubur wanita ataupun dubur laki-laki baik orang dewasa atau anak kecil. Baik dalam keadaan hidup ataupun dalam keadaan mati. Semuanya mewajibkan mandi di luar larangan perilaku itu.
Hal yang sama berlaku juga untuk wanita dimana bila farajnya dimasuki oleh kemaluan laki-laki baik dewasa atau anak kecik baik kemaluan manusia maupun kemaluan hewan baik dalam keadaan hidup atau dalam keadaan mati termasuk juga bila yang dimasuki itu duburnya. Semuanya mewajibkan mandi di luar masalah larangan perilaku itu.
Semua yang disebutkan di atas termasuk hal-hal yang mewajibkan mandi meskipun tidak sampai keluar air mani. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ الله ِ قَالَ : إِذَا الْتَقَى الخَتَاناَنِ أَوْ مَسَّ الخِتَانُ الخِتَانَ وَجَبَ الغُسْلُ فَعَلْتُهُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ فَاغْتَسَلْنَا

Dari Aisyah radhiyallahuanhaberkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”Bila dua kemaluan bertemu atau bila kemaluan menyentuh kemaluan lainnya maka hal itu mewajibkan mandi janabah. Aku melakukannya bersama Rasulullah SAW dan kami mandi.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ إذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدهَا فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ – وَزَادَ مُسْلِمٌ : ” وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ “

Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”Bila seseorang duduk di antara empat cabangnya kemudian bersungguh-sungguh (menyetubuhi) maka sudah wajib mandi. (HR. Muttafaqun ‘alaihi).

Dalam riwayat Muslim disebutkan : “Meski pun tidak keluar mani”

c. Meninggal
Seseorang yang meninggal maka wajib atas orang lain yang masih hidup untuk memandikan jenazahnya. Dalilnya adalah sabda Nabi Saw tentang orang yang sedang ihram tertimpa kematian :

اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ

Rasulullah SAW bersabda”Mandikanlah dengan air dan daun bidara’. (HR. Bukhari dan Muslim)

d. Haidh
Haidh atau menstruasi adalah kejadian alamiyah yang wajar terjadi pada seorang wanita dan bersifat rutin bulanan. Keluarnya darah haidh itu justru menunjukkan bahwa tubuh wanita itu sehat. Dalilnya adalah firman Allah SWT dan juga sabda Rasulullah SAW :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqarah : 222)

إِذَا أَقْبَلَت ِالحَيْضُ فَدَعِي الصَّلاَةَ فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرَهَا فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَليِّ -رواه التخاري ومسلم

Nabi SAW bersabda’Apabila haidh tiba tingalkan shalat apabila telah selesai (dari haidh) maka mandilah dan shalatlah. (HR Bukhari dan Muslim)

e. Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita setelah melahirkan. Nifas itu mewajibkan mandi janabah meski bayi yang dilahirkannya itu dalam keadaan mati. Begitu berhenti dari keluarnya darah sesudah persalinan atau melahirkan maka wajib atas wanita itu untuk mandi janabah.
Hukum nifas dalam banyak hal lebih sering mengikuti hukum haidh. Sehingga seorang yang nifas tidak boleh shalat puasa thawaf di baitullah masuk masjid membaca Al-Quran menyentuhnya bersetubuh dan lain sebagainya.
f. Melahirkan
Seorang wanita yang melahirkan anak meski anak itu dalam keadaan mati maka wajib atasnya untuk melakukan mandi janabah. Bahkan meski saat melahirkan itu tidak ada darah yang keluar. Artinya meski seorang wanita tidak mengalami nifas namun tetap wajib atasnya untuk mandi janabah lantaran persalinan yang dialaminya.

h. Terbuka Aurat Secara Sengaja

Bila seseorang yang sedang melakukan shalat tiba-tiba terbuka auratnya, maka shalatnya otomatis menjadi batal. Maksudnya bila terbuka dalam waktu yang lama. Sedangkan bila hanya terbuka sekilas dan langsung ditutup lagi, para ulama mengatakan tidak batal menurut As-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah.
Namun Al-Malikiyah mengatakan secepat apapun ditutupnya, kalau sempat terbuka, maka shalat itu sudah batal dengan sendirinya.
Namun perlu diperhatikan bahwa yang dijadikan sandaran dalam masalah terlihat aurat dalam hal ini adalah bila dilihat dari samping, atau depan atau belakang. Bukan dilihat dari arah bawah seseorang. Sebab bisa saja bila secara sengaja diintip dari arah bawah, seseorang akan terlihat auratnya. Namun hal ini tidak berlaku.

i. Bergeser Dari Arah Kiblat

Bila seserang di dalam shalatnya melakukan gerakan hingga badannya bergeser arah hingga membelakangi kiblat, maka shalatnya itu batal dengan sendirinya.
Hal ini ditandai dengan bergesernya arah dada orang yang sedang shalat itu, menurut kalangan As-Syafi’iyah dan Al-Hanafiyah. Sedangkan menurut Al-Malikiyah, bergesernya seseorang dari menghadap kiblat ditandai oleh posisi kakinya. Sedangkan menurut Al-Hanabilah, ditentukan dari seluruh tubuhnya.
Keharusan menghadap kitblat ini terutama berlaku untuk shalat fardhu, sedangkan pada shalat sunnah, hukumnya tidak seketat shalat fardhu, menghadap kiblat tidak menjadi syarat shalat. Hal itu karena Rasulullah SAW pernah melakukannya di atas kendaraan dan menghadap kemana pun kendaraannya itu mengarah.

Namun yang dilakukan hanyalah shalat sunnah, adapun shalat wajib belum pernah diriwayatkan bahwa beliau pernah melakukannya. Sehingga sebagian ulama tidak membenarkan shalat wajib di atas kendaraan yang arahnya tidak menghadap kiblat.(fikihkehidupan.com)