Pengertian Khulu’

Sudut Hukum | Secara etimologi kata khulu’ berasa; dari bahasa Arab, yang terdiri dari lafadzkha-la’a yang berarti menanggalkan.[1] Khulu’ diartikan juga dengan membuka pakaian, karena seorang wanita merupakan pakaian bagi lelaki dan sebaliknya.[2] Dalam bahasa Indonesia juga dipakai istilah thalaq tebus, yaitu perceraian atas permintaan pihak perempuan dengan membayar sejumlah uang atau mengembalikan maskawin yang diterimanya.[3]

Pengertian Khulu’


Sedangkan secara terminology, khulu’ menurut istilah hukum, diartikan dengan:

Putus perkawinan dengan menggunakan uang tebusan; menggunakan ucapan thalak atau khulu’.”[4]


Menurut istilah fiqh, khulu’ berarti akad yang dilakukan olah suami istri untuk membebaskan istri dari pernikahan dengan syarat istri membayarkan sejumlah harta, lalu suami menalaqnya atau mengkhulu’nya, atau diartikan dengan tebusan yang diberikan oleh istri supaya suami menceraikannya.[5]


Adapun para ulama’ di antaranya Abdurrahman al-Jaziri memberikan definisi khulu’ yaitu menurut masing-masing madzhab di antaranya adalah:[6]

  1. Golongan Hanafi mendefinisikan : Khulu’ ialah menanggalkan ikatan pernikahan yang diterima oleh istri dengan lafadz khulu’ atau yang semakna dengan itu.”
  2. Golongan Syafi’i memberikan definisi khulu’ : Khulu’ menurut syara’ adalah lafadz yang menunjukkan perceraian antara suami istri dengan tebusan yang harus memenuhi persyaratan tertentu.”
  3. Golongan Maliki memberikan definisi khulu’: khulu’ menurut syara’ adalah thalaq dengan tebusan.”
  4. Golongan Hanabillah mendefinisikan khulu’ : “khulu’ adalah suami menceraikan istrinya dengan tebusan yang diambil oleh suami dari istrinya atau dari lainnya dengan lafadz tertentu.”
Di kalangan para fuqaha’, khulu’ kadang dimaknai umum, yaitu perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu’; mubara’ah maupun thalaq. Namun kadang juga dimaknai khusus, yaitu thalak atas dasar ‘iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-kata khulu’ (pelepasan) atau yang semakna seperti mubara’ah (pembebasan).[7]


Penggunaan kata khulu’ untuk putusnya perkawinan karena istri sebagai pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaian itu dari suaminya. Khulu’ mengandung arti bahwa istri melepaskan pernikahan dengan membayar ganti rugi kepada suami yang berupa pengembalian mahar (maskawin) kepada suami. [8]


Dalam peristiwa ini suami melepaskan kekuasaannya sebagai suami dan memberikan kekuasaan tersebut kepada istrinya dalam bentuk thalak tebus.[9]


Sebenarnya banyak sekali ta’rif (definisi) khulu’, namun jika dipahami definisi tersebut ada titik persamaan. Bahwa khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada suami untuk dirinya dan perceraian disetujui oleh suami. Khulu’ seperti keterangan di atas berarti memutuskan tali perkawinan dengan imbalan harta karena itu ganti rugi baru merupakan salah satu bagian dari pengertian khulu’.


Dari pendapat para ulama di atas, ada kesamaan dengan pengertian yang tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) karena bagaimanapun merupakanhukum Islam yang dipetik dan dirangkum dari berbagai pendapat ulama yang sejalan dengan kondisi sosio-kultur masyarakat Indonesia. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya.




[1] Husin Al-Habsyi, Kamus Al-Kautsar Lengkap Arab-Indonesia, Bangil: Yayasan Pesantren Islam, 1990, hlm. 87.

[2] Prof. Abdurrahman I.Doi, Ph.D., Perkawinan Dalam Syari’at Islam, Jakarta: Rineka cipta, 1992, hlm. 106

[3] Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994/1995, hlm. 498

[4] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 231.

[5] M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,1994, hlm. 163.

[6] . H. Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993, hlm. 150-151.

[7] Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu Fiqih II, Jakarta: Departemen Agama RI, 1984/1985.

[8] Drs. Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hlm. 139.

[9] Moh. Idris Ramulyo, SH., M.H., Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hlm. 139.