Karakteristik Hukum Islam

Sudut Hukum | Sebagai suatu sistem hukum tersendiri, hukum Islam memiliki beberapa karakteristik dan watak tersendiri yang membedakannya dari berbagai sistem hukum yang ada di dunia. Di antara karaktersitik hukum Islam ini ada yang merupakan produk dari watak hukum Islam itu sendiri, dan ada yang disebabkan oleh evolusinya dalam mencapai tujuan yang diridoi Allah.


Para ulama berbeda-beda dalam menguraikan karakteristik hukum Islam. Dari berbagai pendapat para ulama dapat dikemukakan beberapa karakteristik dasar dari hukum Islam seperti berikut:

1. Asal mula hukum Islam berbeda dengan asal mula hukum umum.


Karakteristik Hukum Islam

Perbedaan pokok hukum Islam (syariah) dengan hukum Barat adalah bahwa hasil konsep hukum Islam merupakan ekspresi dari wahyu Allah. Dengan kata lain bahwa hukum Islam secara mendasar bersumber pada wahyu Allah. Sumber-sumber hukum Islam kemudian berupa wahyu Allah (al-Quran), Sunnah Rasulullah dan sumber-sumber lain yang didasarkan pada dua sumber pokok ini (Ahmed Akgunduz, 2010: 25).


Jadi, hukum-hukum buatan manusia sangat berbeda dengan hukum-hukum yang datang dari Allah yang tidak layak dibandingkan, karena perbedaan yang sangat mencolok antara Allah sebagai Pencipta dan manusia sebagai yang diciptakan, sehingga tidak akan pernah diterima akal secara sama membandingkan apa yang dibuat oleh manusia dengan apa yang dibuat oleh Tuhan manusia (Manna’ al-Qaththan, 2001: 19).


Islam mengajarkan suatu prinsip aqidah yang benar setelah prinsipprinsip aqidah dalam agama Yahudi dan Nasrani mengalami perubahan yang mendasar akibat ulah para penganutnya. Islam juga menetapkan peraturan perundang-undangan yang sesuai untuk kehidupan individu dan masyarakat, terutama karena agama-agama wahyu (samawi) sebelumnya belum memberikan aturan-aturan yang memadai. Di antara peraturanperaturan itu adalah yang termuat dalam hukum Islam.

Dasar-dasar hukum Islam bersumber pada wahyu Allah yang dapat dijumpai dalam al-Quran dan Sunnah. Dalam kedua sumber ini terdapat keseluruhan bagian hukum modern yang bermacam-macam, seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum dagang, hukum tata negara, hukum internasional, dan cabangcabang hukum yang lain (Muhammad Yusuf Musa (1988: 161).


Para fuqaha (ahli fikih) terikat dengan dua sumber pokok (al-Quran dan Sunnah) selama ditemukan nash-nash di dalamnya. Jika dalam kedua sumber ini tidak ditemukan dasar-dasar tersebut, maka harus dicari dasardasarnya dengan mendasarkan pada inspirasi jiwa dan prinsip serta tujuan hukum Islam. Di sinilah ijtihad memainkan peran yang sangat penting dalam menemukan dasar-dasar yang belum ditemukan dalam al-Quran dan Sunnah.

Para ahli hukum positif terus menerus mengkaji undang-undang dan menafsirkan teks-teksnya pasal demi pasal, seperti yang dilakukan para penafsir kitab suci, semisal al-Quran, dengan berasumsi bahwa undangundang itu memuat segala sesuatu yang menyangkut bidang isinya. Karena itulah ketika para ahli hukum sepakat mengatakan bahwa teks-teks hukum memuat semua kaidah hukum tanpa ada yang terlewat, tidak ada pilihan lain bagi seorang ahli hukum kecuali membahas dan menafsirkan teks-teks itu pasal demi pasal.

Bisa jadi seorang ahli fikih (hukum Islam) tidak mampu menyimpulkan satu kaidah dari teks hukum (nash) yang dipelajari. Hal ini bukan berarti dalam nash terdapat kesalahan, tetapi karena keterbatasan yang ada pada ahli fikih tersebut (Muhammad Yusuf Musa (1988: 161).


Inilah karakteristik yang membedakan sistem hukum Islam dengan sistem hukum yang lain buatan manusia. Sistem hukum Barat dan hukum modern yang lain tidak satu pun yang bersumber pada wahyu Tuhan, termasuk hukum-hukum adat yang berkembang di beberapa daerah di tanah air kita (Indonesia). Itulah sebabnya, hukum Islam memiliki supremasi yang sangat tinggi bagi umat Islam. Tidak ada sistem hukum di dunia ini yang memiliki tingkat kepercayaan dan kepatuhan seperti hukum Islam.


Namun demikian, dalam kenyatannya penghargaan terhadap hukum Islam di dunia modern ini tidak setinggi kualitasnya sendiri. Manusia modern lebih taat dan patuh pada aturan-aturan hukum positif yang mempunyai kekuatan yang mengikat bagi setiap orang yang masuk dalam lingkup pemberlakuan hukum positif tersebut dibandingkan dengan ketaatannya pada hukum Tuhan (hukum Islam).

2. Aturan-aturan hukum Islam dibuat dengan dorongan agama dan moral.


Aturan-aturan hukum Islam pernah dilaksanakan secara sempurna oleh pemeluknya. Hal ini karena semua peraturannya menggunakan pertimbangan agama dan moral yang membuatnya benar-benar diterima dan diyakini oleh segenap orang beriman, tanpa ada perbedaan antara Muslim dan non-Muslim.

Sebagai bukti dapat dilihat dalam hal bertetangga. Dalam al-Quran dan Sunnah banyak anjuran kepada umat Islam untuk berbuat baik kepada tetangga tanpa dibatasi oleh agama dan kepentingan apapun. Seorang mukmin yang baik akan patuh terhadap anjuran al-Quran dan Sunnah dalam aturan bertetangga ini tanpa harus diikat oleh aturanaturan atau undang-undang. Ketika seorang mukmin tidak menaati aturan itu, akan terlihat bahwa imannya tidak lagi bernilai baik (Muhammad Yusuf Musa, 1988: 163). Ilustrasi seperti ini dapat juga dilihat dalam perintahperintah agama yang lain, seperti bersedekah (berzakat) dan berjihad.


Kenyataan seperti di atas tidak didapati dalam undang-undang (UU) buatan manusia. Semua UU buatan manusia selalu didahului oleh konsideran sebagai acuannya. Dalam konsideran ini dijelaskan sebab-sebab ditetapkan UU itu, tujuan pembuatannya, dan pertimbangan-pertimbangan lain. Namun, konsideran dalam UU tidak dapat disamakan dengan hukum Islam yang acuannya dari al-Quran dan Sunnah. Dengan acuan seperti ini orang yang menaati hukum Islam akan merasa mendapatkan rido dari Allah dan mendapatkan pahala baik di dunia maupun di akhirat. Inilah yang tidak

ditemukan dalam hukum-hukum selain hukum Islam.


Jika hukum Islam ditetapkan atas dasar dorongan agama dan moral, hukum umum buatan manusia ditetapkan atas dasar ketundukan pada hawa nafsu dan kecenderungan tertentu serta mengikuti faktor-faktor kemanusiaan. Faktor-faktor inilah yang kemudian menyebabkan hukum manusia menyimpang dari ketetapan yang benar dan penyelesaian urusan kehidupan secara adil. Karena itulah, hukum buatan manusia sering mengalami perubahan dan perbaikan serta tidak memiliki ketetapan hukum yang pasti.

Hukum halal pada saat ini bisa saja berubah menjadi hukum haram pada esok hari, dan karenanya pertimbangan hidup serta ukuran baik dan tidak baik juga berbeda-beda (Manna’ al-Qaththan, 2001: 19). Hukum Islam (syariah) sangat berbeda dengan hukum ini, karena hukum Islam didasarkan pada wahyu Ilahi yang sangat tahu tentang persoalan manusia dalam berbagai aspek kehidupannya.

3. Balasan hukum Islam didapatkan di dunia dan akhirat.


Ciri ini terkait dengan ciri sebelumnya, sehingga hampir tidak dapat dipisahkan. Hukum buatan manusia (UU) tidak akan memiliki ciri seperti ini. Pemberian sanksi atau hukuman terhadap para pelanggar UU hanya akan didapatkan ketika di dunia. Tidak ada aturan atau ketentuan dalam UU tersebut yang akan memberikan sanksi atau balasan di akhirat. Hukum Islam menjanjikan pahala dan siksa di dunia dan akhirat. Sanksi di akhirat tentunya jauh lebih besar dari sanksi di dunia.

Karena itu, orang yang beriman merasa mendapatkan dorongan jiwa yang kuat untuk melaksanakan hukum Islam dengan mengikuti perintah dan menjauhi larangan. Hukum yang disandarkan kepada agama bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan individu dan masyarakat. Karena itu, hukum tersebut tidak akan menetapkan suatu aturan yang bertentangan dengan kehendak keduanya. Hukum ini tidak hanya bertujuan untuk membangun masyarakat yang baik saja, tetapi juga bertujuan untuk membahagiakan individu, masyarakat, dan seluruh umat manusia di dunia dan akhirat

(Muhammad Yusuf Musa, 1988: 167).


Sanksi yang diterima orang yang melanggar hukum Islam di samping berupa hukuman dunia dan sanksi material lainnya juga berupa sanksi spiritual atas dasar hati, pikiran, dan kesadaran manusia. Banyak contoh yang disebutkan dalam buku-buku fikih terkait dengan hal ini, misalnya perdagangan yang dieksekusi setelah terdengar suara azan untuk orang yang melaksanakan shalat Jum’at adalah qadla’an (menurut keputusan hukum positif), yakni sah menurut hukum sipil.

Bagaimanapun, hal ini merupakan diyanatan yang diizinkan (menurut hukum agama dan hukum ideal). Pada saat yang sama, seseorang yang melakukan tindakan kriminal dengna merusak barang milik orang lain harus membayar kepada pemiliknya, bahkan ia juga harus memikul tanggung jawab lain atas penyerangan terhadap barang milik orang lain tersebut (Ahmed Akgunduz, 2010: 26).

4. Kecenderungan hukum Islam bersifat komunal.

Di atas sudah dijelaskan bahwa hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umat manusia seluruhnya, baik individu maupun masyarakat. Karena itu, kecenderungan yang dominan dari hukum Islam adalah komunal. Komunal berbeda dengan sosialistik. Komunal memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup segi materi dan segisegi lain yang meliputi seluruh hak dan kewajiban, sedang sosialistik mempunyai pengertian khusus yang terbatas pada materi.


Kecenderungan hukum Islam yang komunal ini dapat terlihat dengan jelas baik dalam hal ibadah maupun muamalah. Semua aturan hukum Islam dalam kedua bidang ini bertujuan mendidik individu untuk mewujudkan kesejahteraan dirinya dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Sebagai contoh dapat dilihat pada kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji dalam bidang ibadah, penghalalan jual beli dan pengharaman riba, perintah jual beli dan larangan riba, serta menegakkan hukuman hudud untuk melindungi masyarakat dalam bidang muamalah (Muhammad Yusuf Musa, 1988: 168).


Dari contoh-contoh di atas jelaslah bahwa hukum Islam di dalam mewajibkan perintah dan mengharamkan larangan tidak hanya bertujuan untuk keselamatan dan kebahagiaan individu saja, tetapi juga untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat secara umum. Inilah watak dan kecenderungan hukum Islamyang hakiki sebagaimana yang kita jumpai dalam al-Quran, Sunnah, dan putusan-putusan para ulama melalui ijtihad.


Hal ini sangat berbeda dengan hukum-hukum buatan manusia yang pada umumnya memiliki kecenderungan individual. Karena itu, aturan-aturan hukum positif banyak yang mengakibatkan benturan antar individu ketika kepentingan masing-masing individu itu berbeda. Hal inilah yang kemudian menjadi titik tolak hukum positif membenahi aturan-aturannya sehingga pada akhirnya juga mempunyai watak komunal. Sebagai contoh, tidak ada hukum positif yang melarang praktek riba yang pada prinsipnya menguntungkan pemilik modal dan merugikan peminjam.


Cakupan hukum Islam jauh lebih luas dari cakupan hukum buatan manusia. Aturan-aturan dalam hukum Islam meliputi berbagai persoalan hidup manusia tanpa ada pembatasan-pembatasan tertentu. Adapun hukum buatan manusia aturan-aturannya dibatasi pada permasalahan tertentu, misalnya hanya mengatur masalah hukum privat, hukum keluarga, hukum pidana, hukum internasional, atau masalah-masalah tertentu yang lain (Ahmed Akgunduz, 2010: 26).

5. Hukum Islam dapat berkembang sesuai dengan lingkungan, waktu, dan tempat.


Setiap hukum menghendaki adanya kedinamisan untuk dapat bertahan terus di tengah-tengah perbedaan waktu dan tempat. Jika tidak demikian, hukum tersebut akan mati dan tidak dapat bertahan. Hukum Islam mempunyai sifat dinamis yang membuatnya tetap bertahan dan berkembang seiring perkembangan zaman (Muhammad Yusuf Musa, 1988: 172).


Kaidah-kaidah hukum Islam tidak terbatas pemberlakuannya pada kaum tertentu dan masa tertentu. Kaidah-kaidah hukum Islam merupakan kaidah umum yang berlaku untuk semua masa, tempat, dan golongan. Dalam sejarah terbukti hukum Islam telah berlaku selama empat belas abad. Di saat terjadi berbagai perubahan masyarakat, ratusan kanun dan aturanaturannya, serta perubahan dasar-dasar hukum seiring dengan sanksi yang ada, hukum Islam tetap eksis dan berlaku untuk semua zaman dan tempat yang didukung dengan teks-teks (nushush) yang meliputi seluruh elemen pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi (Manna’ al-Qaththan, 2001: 21).


Hukum Islam bersifat elastis (lentur, luwes) yang meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan sesama makhluk, serta tuntunan hidup dunia dan akhirat terkandung dalam ajaran hukum Islam. Hukum Islam juga memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik bidang ibadah, muamalah, maupun bidangbidang yang lain (Manna’ al-Qaththan, 2001: 21; Fathurrahman Djamil, 1997: 47). Hukum Islam juga bersifat universal yang meliputi seluruh manusia tanpa dibatasi oleh golongan dan daerah tertentu seperti hukum-hukum para Nabi sebelum Muhammad. Hukum Islam berlaku bagi orang Arab dan non-Arab, bagi kulit putih dan kulit hitam. Semua ini didasarkan pada kekuasaan Allah (sebagai sumber utama hukum Islam) yang tidak terbatas (Fathurrahman Djamil, 1997: 49).


Kedinamisan hukum Islam dapat dilihat pada dalil-dalil nash (al-Quran dan Sunnah) yang umum (universal) yang tidak terbatas pada waktu dan tempat tertentu. Dalam Q.S. Saba’ (24): 28 dan Q.S. al-Anbiya’ (21): 107, misalnya, Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Islam diutus untuk semua manusia di muka bumi ini. Di samping itu, dalam hukum Islam terdapat sumber hukum yang menjamin adanya kedinamisan tersebut, yaitu ijtihad dengan berbagai metodenya, seperti ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, ‘urf, dan lain-lain.

Metode-metode inilah yang membuat hukum Islam tetap eksis di tengah-tengah perkembangan zaman yang begitu pesat. Tidak ada satu masalah pun di dunia ini yang tidak dapat ditemukan aturannya dalam hukum Islam.


Yang perlu dicatat, bahwa dinamika hukum Islam seperti di atas sarat dengan perbedaan pendapat. Tidak jarang masalah perbedaan ini justeru menjadi pemicu adanya pertentangan dan permusuhan di kalangan umat Islam sendiri, sehingga sangat melemahkan Islam dan hukum Islam. Sejarah membuktikan, hancurnya umat Islam disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.

Namun, faktor internal lebih dominan jika dibandingkan dengan faktor eksternal. Faktor internal yang terbesar adalah permusuhan antara umat Islam yang dipicu oleh perbedaan pendapat di antara mereka. Kalau umat Islam menyadari bahwa perbedaan pendapat itu suatu keniscayaan, maka hal ini tidak seharusnya terjadi. Adanya perbedaan seperti ini justeru dapat memudahkan umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam di tengah perbedaan waktu dan tempat.

6. Tujuan hukum Islam mengatur dan memberikan kemudahan bagi kehidupan privat dan publik dan membahagiakan dunia seluruhnya.


Tujuan hukum positif terlihat pragmatis dan terbatas, yakni menegakkan ketertiban dalam masyarakat dengan satu cara tertentu. Tujuan ini sangat diidam-idamkan oleh pembuat UU, meskipun terkadang memaksanya untuk menyimpang dari kaidah-kaidah moral dan agama. Misalnya, UU memutuskan gugurnya hak dari pemilik barang lantaran dalu warsa. Ini memberi peluang kepada orang lain dapat memiliki barang yang dalu warsa tersebut, meskipun dengan cara yang tidak benar. Hukum Islam mempunyai tujuan yang berbeda dengan hukum positif.

Hukum Islam mempunyai bidang yang sama sekali tidak disentuh oleh hukum positif, yaitu mengatur hubungan seorang individu dengan Tuhannya. Ketentuan hukum Islam dalam bidang ibadah bertujuan untuk mensucikan ruh dan menghubungkannya dengan Allah, sekaligus mensejahterakan individu dan masyarakat secara bersama dalam berbagai bidang baik di dunia maupun di akhirat. Dalam bidang muamalah hukum Islam juga mempunyai tujuan yang menyeluruh dan memberikan bentuk ideal untuk menyantuni individu, masyarakat, dan umat manusia seluruhnya (Muhammad Yusuf Musa, 1988: 175).


Prinsip hukum Islam seperti di atas kemudian banyak dituangkan dalam rumusan-rumusan yang kemudian disebut kaidah-kaidah hukum Islam (al-qawaid al-fiqhiyyah). Kaidah-kaidah ini dapat diterapkan di setiap situasi dan kondisi, di manapun dan kapanpun. Dari sini juga dapat diketahui bahwa hukum Islam mempunyai tujuan yang menyeluruh yang melibatkan individu, masyarakat, dan umat manusia seluruhnya.

7. Hukum Islam bersifat ta’aqquli dan ta’abbudi.


Karakteristik ini terkait dengan dua bidang kajian hukum Islam, yaitu ibadah dan muamalah. Dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai ta’abbudi, atau ghairu ma’qulat al-ma’na (irrasional), yakni ketentuan ibadah itu harus sesuai dengan yang disyariatkan, meskipun akal tidak mampu menjangkaunya. Tidak dapat diterapkan ijtihad dalam masalah ibadah ini.


Sebagai contoh, bagian-bagian yang harus dikenai air ketika seorang berwudlu adalah seperti yang sudah ditentukan oleh al-Quran, yakni muka, dua tangan sampai siku-siku, sebagian kepala, dan dua kaki sampai mata kaki. Bagian-bagian itu tidak bisa diganti dan ditambah dengan yang lain, meskipun terkadang tidak bisa ditemukan alasan rasionalnya. Sedang dalam bidang muamalah terkandung nilai-nilai ta’aqquli atau ma’qulat al-ma’na (rasional), yakni ketentuan muamalah itu dapat diterima dan dijangkau oleh akal.

Pada bidang muamalah ini dapat diterapkan ijtihad (Fathurrahman Djamil, 1997: 51). Sebagai contoh, transaksi jual beli yang dulu harus disertai dengan ijab kabul antara penjual dan pembeli secara tegas dengan pernyataan menjual dan membeli barang tertentu dengan harga tertentu, sekarang karena perkembangan teknologi bisa diganti dengan memasang label harga tertentu pada barang yang diperjualbelikan yang dipajang di tempatnya (etalase atau yang lain). Setiap pembeli yang memilih barang yang akan dibeli cukup membawa barang pilihannya dan diserahkan kepada kasir untuk penyelesaian pembayarannya. Di kasir inilah terjadi ijab kabul antara penjual dan pembeli, meskipun tidak diucapkan jenis barangbarang dan harga-harganya, sebab antar penjual dan pembeli sudah saling suka sama suka.


Itulah beberapa karakteristik hukum Islam yang membedakannya dengan hukum-hukum lain buatan manusia. Dengan karakteristik seperti itu, sebenarnya tidak ada kekhawatiran bagi siapapun untuk menerapkan hukum Islam di manapun dan kapanpun. Tujuan umum yang ingin dicapai oleh hukum Islam bukan untuk kesejahteraan individu dan kelompok, tetapi untuk kemaslahatan umat manusia seluruhnya, tanpa dibatasi agama, bahasa, dan suku bangsa tertentu.[*_]