Perselisihan Perburuhan

Sudut Hukum | Perselisihan perburuhan menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) sub 2 UU No. 22 tahun 1957 adalah pertentangan antara majikan dan serikat buruh atau golongan serikat buruh yang disebabkan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja.


Rumusan pengertian tersebut di atas mengandung arti bahwa yang dapat berselisih dalam perselisihan perburuhan hanyalah serikat buruh dengan majikan, oleh karena itu, buruh yang belum menjadi anggota serikat buruh yang secara perseorangan berselisih dengan majikan tidak atau belum terlindungi oleh UU No. 22/1957.


Perselisihan perburuhan ada dua macam, yaitu:

  • Perselisiahan hak, yaitu perselisihan yang terjadi karena isi perjanjian kerja tidak dipenuhi, padahal perjanjiankerja telah disepakati bersama.
  • Perselisihan kepntingan, yaitu perselisiahan yang terjadi karena adanya usaha dari pihak serikat buruh untuk mengubah syarat-syarat perburuhan demi terpeliharanya kepentingan buruh, dan tujuan itu diarahkan kepada pihak pengusaha atau majikan.


Penyelesaian perselisihan perburuhan dapat diupayakan melalui:

1. Badan Pemisah (Arbitrase)

2. Panitia Penyelesaian Perselisishan Perburuhan Daerah (P4D)

3. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P)

4. Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat di lingkungan Depnaker yang ditunjuk.

5. Pengadilan Negeri.

Upaya penyelesaian perselisihan perburuhan dilakukan secara bertahap, yaitu tahap pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima.


1. Penyelesaian Tahap Pertama


Pada tahap ini diharapkan mereka dapat saling memahami permaslahannya, saling menghargai sehingga perselisihan dapat diselesaikan dengan cepat. Dasar hukumdalam penyelesaian usaha penyelesaian tahap ini adalah Pasal 2 UUNo. 22 tahun 1957, yang menyatakan bahwa:
  • bila terjadi perselisihan perburuhan, serikat buruh dan majikan mencari penyelesaian perselisihan itu dengan jalan damai melalui perundingan.
  • Hasil perundingan yang dicapai setelah disusun dijadikan perjanjian perburuhan menurut ketentuan yang ada dalam perjanjian perburuhan.

Dalam tahap ini terdapat beberapa proses yang harus dilalui karena sering dalam perundingan belum tercapai kata sepakat. Apabila demikian situasinya, proses pertama adalah buruh diminta memberitahukan secara resmi dan langsung kepada majikan baik tertulis maupun lisan melalui wakilwakilnya.

Perselisihan Perburuhan



Dalam waktu 7 hari ditunggu reaksi dari majikan atas keterangan tersebut. Bila dalam waktu tersebut belum ada reaksi, proses berikutnya adalah buruh malalui wakil-wakilnya menyampaikan keluhan kepada wakil pengusaha setempat yang tertinggi kedudukannya. Terhadap proses kedua ini, reaksi dari pihak majikan/wakil pengusaha ditunggu dalam waktu 2 x 7 hari.


Bila dalam waktu tersebut reaksi belum juga ada, buruh melalui wakilwakilnya memberi tahu kepada pegawai pengawas (menurut Pasal 3 ayat (1) UUNo. 22 tahun 1957).


2. Penyelesaian Tahap Kedua


Dalam tahap ini pegawai pengawas berperan sebagai perantara untuk menyelesaikan perselisihan, oleh karenanya ia berusaha dalam waktu 7 hari harus sudah selesai mengadakan penyelidikan tentang pokok permasalahannya. Dalam waktu 7 hari tersebut sesuai dengan aturan permainan dalam P4D, ia mulai berunding dengan para pihak yang bersangkutan. Apabila perundingan menghasilkan kata sepakat, hasil tersebut dijadikan perjanjian perburuhan, tetapi apabila belum berhasil, pegawai pengawas meneruskan hal tersebut kepada P4D dan para pihak yang bersangkutan diberi tahu tentang hal itu.


Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Keja No. 04/MEN/1986, prosedur penyelesaian perselisihan perburuhan tahap pertama dan kedua mengalami sedikit modulasi sebagai berikut:

jika perundingan antara pengusaha dan buruh tidak berhasil mencapai kata sepakat dalam penyelesaian perselisihan yang terjadi di antara mereka secara damai, kedua pihak atau salah satu pihak mengajukan permohonan kepada kantor departemen tenaga kerja untuk diperantarai oleh pegawai perantara, pegawai perantara harus sudah melakukan tugasnya sebagai perantara. Jika usaha pegawai peratara tidak berhasil, atau berhasil tetapi hasilnya adalah para pihak sepakat untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, pegawai perantara segera menyampaikan persoalan itu kepada kepala kantor wilayah departeman tenaga kerja. Dalam waktu 30 hari setelah menerima laporan, kepala kantor wilayah departeman tenaga kerja meminta petunjuk terlebih dahulu dari menteri tenaga kerja sebelum perselisihan itu disidangkan oleh P4D atau P4P.


3. Penyelesaian Tahap Ketiga


Pada tahap ini penyelesain dilakukan oleh P4P karena para pihak belum puas terhadap keputusan P4D. Dasar hukum dari penyelesaian tahap ini adalah Pasal 11 UUNo. 22 Tahun 1957. Tim P4P terdiri dari wakil-wakil kementerian tenaga kerja, kementerian pertanian, dan kementerian perhubungan masing-masing satu orang, dan dari pihak buruh sebanyak 7 orang, majikan diwakili masing-masing 5 orang. Tim P4P diangkat dan diberhentikan oleh dewan menteri berdasarkan surat keputusan presiden. Keputusan yang diambil P4P mengikat para pihak dan tidak boleh dimintakan banding.


[

4. Penyelesaian Tahap Keempat


Penyelesaian dalam tahap ini merupakan kebijaksanaan dari menteri tenaga kerja. Kebijaksanaan ini berupa pembatalan atau penagguhan pelaksanaan putusan P4P dengan pertimbangan demi pemeliharaan ketertiban umum dan melindungi kepentingan negara (ketentuan Pasal 17 ayat (2) UUNo.22 tahun 1957). Pebatalan atau penundaan tersebut harus dirundingkan lebih dahulu dengan para menteri yang salah satu stafnya ada atau duduk dalam P4P.


5. Penyelesaian Tahap Kelima



Penyelesaian tahap ini melalui pengadilan negeri. Dalam hal ini pengadilan negeri hanya menegaskan bahwa putusan P4D, P4P dan keputusan menteri tenaga kerja dapat dilaksanakan. Jika ada penegasan dari pengadilan negeri berarti pelaksanaan keputusan – keputusan tersebut seperti pelaksanaan keputusan perdata, dapat dikenakan sanksi pidana melalui proses acara pidana.[*]