Hukum Kewarisan Islam

Sudut Hukum | Hukum Kewarisan Islam

Hukum kewarisan Islam sudah diatur sedemikian rupa dalam Al-Quran, diantaranya terdapat dalam Surat Al-Nisa (4): 7, 8, 9, 10, 11, 12, 33 dan 176. Dibandingkan dengan ayat-ayat Al- Quran lainnya ayat-ayat tentang hukum waris adalah merupakan ayat-ayat hukum yang paling tegas dan rinci isi kandungannya. Menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris serta kapan harta peninggalan (tirkah) boleh dibagi.

suduthukum.com/2014/09/hutang-sipewaris.html

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan bahwa “Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilik harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing”. Sedangkan pengertian Hukum Kewarisan Islam menurut Prof. Dr. Amir Syarifudin dapat diartikan dengan “seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam”.[1]

Dalam Kompilasi Hukum Islam, Buku II Tentang Hukum Kewarisan, Pasal 171 KHI butir (a), yang dimaksud Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagiannya masing-masing. Berbeda dengan hukum waris berdasar Perdata Barat, hukum waris didefinisikan dengan “Kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperoleh, baik dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.[2]

Tujuan dari Hukum Waris Islam sendiri adalah “mengatur cara-cara membagi harta peninggalan agar supaya dapat bermanfaat kepada ahli waris secara adil dan baik”.[3] Oleh karena itu peninggalan atau harta pusaka itu adalah hak milik dari yang meninggalkan baik yang ia dapati sendiri, secara usaha perseorangan atau pemberian secara sah dari orang lain atau warisan turuntemurun, maka Agama Islam menganggap bahwa pengaturan warisan adalah urusan ahli waris, tidak dapat dicampuri oleh orang luar yang tidak termasuk keluarga yang berhak.



[1] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal 6

[2] Pitlo, HukumWaris, Intermasa, Jakarta, hal 1

[3] Suma M. Amin, Hukum Keluarga Islam diDunia Islam, PT Grasindo Persada, Jakarta, 2004, hal 108