Tindak Pidana Pertambangan Tanpa Izin

Sudut Hukum | Tindak Pidana Pertambangan Tanpa Izin


Dalam kamus bahasa Indonesia pertambangan adalah “urusan tambang menambang” yang berkata dasar tambang, yang berarti “lombong tempat mengambil hasil dari dalam bumi”.[1] Tanpa, memiliki arti “tidak dengan”.[2] Sedangkan izin adalah “sikap atau pernyataan meluluskan/mengabulkan dan tidak melarang”[3]. Secara keseluruhan dapat diartikan urusan terkait kegiatan pengambilan hasil dari dalam bumi yang dilakukan dengan tidak mendapatkan pernyataan terkait untuk meluluskan/memperbolehkan hal tersebut dilakukan.


Pengertian Pertambangan dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2009 Pasal 1 Ayat 1 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara memiliki arti “Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, kontruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang. Pengertian izin disini adalah izin untuk melakukan usaha pertambangan sebagaimana diatur dalam UU No. 4 tahun 2009, yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang yaitu Bupati/Gurbernur/Menteri sesuai Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang menjadi kewenangannya masing-masing”.


Sebagaimana telah diketahui di atas bahwa Negara mempunyai hak menguasai atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk tambang. Berdasarkan hal tersebut setiap orang yang akan melakukan pertambangan aturan mainnya wajib meminta izin terlebih dahulu dari Negara/Pemerintah. Apabila terjadi kegiatan penambangan pelakunya tidak memiliki izin, maka perbuatannya merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 158 UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan[4] yang berbunyi “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.

Macam-Macam Tindak Pidana di Bidang Pertambangan


Dalam UU Pertambangan selain mengenal adanya tindak pidana Illegal Mining juga terdapat bermacam-macam tindak pidana lainnya, yang sebagian besar ditujukan kepada pelaku usaha pertambangan, dan hanya satu macam tindak pidana yang ditujukan kepada pejabat penerbit izin di bidang pertambangan. Tindak pidana tersebut adalah sebagai berikut :[5]


1. Tindak pidana melakukan pertambangan tanpa izin

Sebagaimana telah diketahui diatas bahwa negara mempunyai hak menguasai atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk tambang. Berdasarkan hal tersebut setiap orang yang akan melakukan kegiatan pertambangan aturan mainnya wajib meminta izin lebih dahulu dari negara/pemerintah.


Apabila terjadi kegiatan penambangan pelakunya tidak memiliki izin, maka perbuatannya merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 158 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang berbunyi “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)


2. Tindak pidana menyampaikan data laporan keterangan palsu.

Dalam melaksanakan kegiatan pertambangan dibutuhkan datadata atau keterangan-keterangan yang benar dibuat oleh pelaku usaha yang bersangkutan seperti data studi kelayakan, laporan kegiatan usahanya, dan laporan penjualan hasil tambang, agar hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan.


Perbuatan memberikan data atau laporan yang tidak benar sebenarnya sanksinya sudah diatur dalam Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Surat. Oleh karena pemalsuan suratnya di bidang pertambangan dan sudah diatur secara khusus, terhadap pelakunya dapat dipidana berdasarkan Pasal 159 UU Pertambangan yang dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00”.[6]


3. Tindak pidana melakukan eksplorasi tanpa hak


Pada dasarnya untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan wajib memiliki izin dan setiap izin yang dikeluarkan ada dua kegiatan yang harus dilakukan yaitu untuk eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan eksplorasi meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. Yang dimaksud eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan galian serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup (Pasal 1 angka 15).


Oleh karena melakukan kegiatan eksplorasi pertambangan didasarkan atas izin yang dikeluarkan pemerintah yaitu IUP atau IUPK, maka eksplorasi yang dilakukan tanpa izin tersebut merupakan perbuatan pidana yang diancam hukuman berdasarkan Pasal 160 Ayat 1 UU No. 4 Tahun 2009 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00”.[7]


4. Tindak pidana sebagai pemegang IUP eksplorasi tidak melakukan kegiatan operasi produksi


Orang yang melakukan kegiatan usaha pertambangan pada prinsipnya melakukan penambangan dengan cara menggali tanah untuk mendapatkan hasil tambang kemudian dijual dan akan memperoleh keuntungan. Seperti diketahui di atas bahwa kegiatan usaha pertambangan terdiri atas kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.


Oleh karena terdapat dua tahap dalam melakukan usaha pertambangan maka pelaksanaanya harus sesuai dengan prosedur, melakukan kegiatan eksplorasi baru eksploitasi. Sehubungan dengan itu khusus bagi pemegang IUP eksplorasi setelah melakukan kegiatan eksplorasi tidak boleh melakukan operasi produksi sebelum memperoleh IUP Produksi. Pelanggaranya diancam dengan Pasal 160 Ayat 2 UU No. 4 Tahun 2009 yang dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00”.


Ketentuan tersebut digunakan pemerintah sebagai alat untuk mengontrol perusahaan pertambangan yang nakal, ketika melakukan kegiatan eksplorasi sesuai dengan izinnya langsung melakukan kegiatan operasi produksi padahal belum menjadi pemegang IUP Eksploitasi.[8]


5. Tindak pidana pencucian barang tambang


Dalam kegiatan keuangan dan perbankan dikenal adanya pencucian uang atau money loundering, dimana uang yang berasal dari kejahatan “dicuci” melalui perusahaan jasa keuangan agar menjadi uang yang dianggap “bersih”. Di bidang pertambangan juga dapat terjadi pencucian hasil tambang, penambang-penambang gelap dapat berhubungan dengan para penambang yang memiliki izin untuk mengadakan transaksi hasil tambangnya sehingga sampai kemasyarakat merupakan barang tambang yang sah.


Tindak pidana pencucian barang tambang (mining loundering) dalam UU No.4 Tahun 2009 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00”.


Untuk dapat membongkar kejahatan tersebut tentu tidak mudah karena pada umumnya penambangan dilakukan di daerah pedalaman yang biasanya jauh dari keramaian dan sepi petugas, sehingga dibutuhkan adanya pengawasan intensif dengan kerja sama antara aparat Kementrian Pertambangan, Pemerintah Daerah setempat dan Kepolisian.[9]


6. Tindak pidana menghalangi kegiatan usaha pertambangan


Pengusaha pertambangan yang telah memperoleh izin dari pejabat yang berwenang dapat segera melakukan kegiatannya sesuai lokasi yang diberikan. Dalam melaksanakan kegiatan usaha pertambangan terkadang tidak dapat berjalan lancar karena adanya gangguan dari warga masyarakat setempat.


Gangguan tersebut terjadi antara lain karena disebabkan jalan menjadi rusak akibat dilalui kendaraan-kendaraan berat, sungai dan sawah tertutup tanah galian, tanaman menjadi rusak, dan lain-lain.


Warga yang merasa dirugikan biasanya protes dengan menghalangi dengan berbagai cara agar penambangan tidak diteruskan. Terhadap perbuatan yang menggangu kegiatan usaha pertambangan tersebut merupakan tindak pidana yang diancam dengan Pasal 162 UU No. 32 Tahun 2009, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00”.


Akibat adanya gangguan dari masyarakat akan merepotkan pengusaha pertambangan karena proyeknya tidak dapat jalan, sebaiknya hal tersebut telah tergambar dalam analisis risiko sehingga pengusaha dapat menghindari akan timbulnya risiko yang akan terjadi. Misalnya jika jalan yang dilewati menuju proyek sebelum rusak berat segera diperbaiki tentu masyarakat akan senang.[10]


7. Tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang pejabat pemberi izin


Ketentuan pidana yang telah dibicarakan di atas lebih banyak ditujukan kepada perbuatan yang dilakukan oleh penerima/pemegang izin tambang. Selain itu UU Pertambangan juga mengatur tentang tindak pidana yang ditujukan kepada pejabat

pemberi izin sebagaimana Pasal 165 yang berbunyi : “Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan undang-undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00”.


Perbuatan penyalahgunaan kewenangan sifatnya luas tetapi terhadap pejabat penerbit izin tersebut dibatasi sepanjang perbuatan penerbitan IUP, IPR, atau IUPK saja. Tujuan diaturnya tindak pidana ini agar pejabat tersebut dapat bekerja dengan baik dan melayani kepentingan masyarakat dengan semestinya.[11]


8. Tindak Pidana yang Pelakunya Badan Hukum


Badan hukum adalah sekelompok orang yang terkait suatu organisasi yang dipandang sebagai manusia pada umumnya. Suatu organisasi disebut badan hukum apabila akta pendiriannya disahkan oleh pemerintah. Untuk perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas, pengesahan akta pendiriannya dilakukan oleh Menteri Hukum dan Ham dan diumumkan dalam berita Negara RI.


Dalam badan hukum kegiatannya dilakukan oleh pengurusnya. Oleh karena badan hukum dipandang sebagai manusia maka badan hukum dapat menjadi pelaku pidana dan yang bertanggung jawab adalah pengurusnya.


Dalam tindak pidana di bidang pertambangan badan hukum dapat sebagai pelaku pidananya sebagaimana diatur pada Pasal 163 Ayat 1 UU No. 4 Tahun 2009. Meskipun demikian dalam undang- undang tersebut tidak memberikan pengertian tentang badan hukum. Istilah badan hukum disinggung dalam pengertian badan usaha (Pasal 1 angka 23). Badan usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak dibidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Sehubungan dengan itu dalam UU No. 4 Tahun 2009 pelaku usaha di bidang pertambangan dalam Pasal 38 dan Pasal 65 terdiri atas badan usaha, koperasi, dan perseorangan. Kemudian dalam PP No. 23 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, badan usaha dapat berupa badan usaha, swasta, BUMN, atau BUMD, sedangkan perorangan dapat berupa orang perseorangan, perusahaan firma, atau perusahaan komanditer.


Memperhatikan ketentuan badan hukum dalam UU No. 4 Tahun 2009 tersebut hanya tertuju kepada badan usaha saja yaitu badan usaha swasta berupa perseroan terbatas (UU No. 40 Tahun 2007), BUMN, dan BUMD. Oleh karena UU No. 4 Tahun 2009 sebagai lex spesialis maka perusahaan pertambangan yang berbentuk koperasi yang didirikan berdasarkan UU No. 25 Tahun 1992 dan akta pendiriannya disahkan oleh Menteri Transmigrasi dan Koperasi, tampaknya tidak termasuk dalam pengertian badan hukum dalam UU No. 4 Tahun 2009. Jika koperasi melakukan tindak pidana di bidang pertambangan yang dapat dituntut hanyalah orang perorangan yang ada dalam koperasi sedangkan koperasi sebagai badan hukum tidak dapat dituntut dan dihukum pidana.


Kekurangan yang ada dalam UU No. 4 Tahun 2009 adalah tidak mengatur tentang korporasi yang dapat sebagai pelaku pidana seperti dalam undang-undang yang lain yaitu UU Penerbangan, UU Perikanan, UU Narkotika. Ole karena korporasi pengertiannya mencakup sekumpulan orang baik yang berbadan hukum atau yang tidak berbadan hukum maka apabila hal itu diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 semua perusahaan yang didirikan minimal dua orang dapat menjadi pelaku tindak pidana dibidang perbankan apabila melanggar undang-undang yang bersangkutan.


Jika tindak pidana di bidang pertambangan dilakukan oleh suatu badan hukum, maka yang dapat dituntut ke pengadilan adalah badan hukumnya, namun hukuman yang dijatuhkan hakim selain pidana penjara, juga pidana denda terhadap pengurusnya. Di samping itu terhadap badan hukum tersebut dijatuhi hukuman berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan. Kemudian hakim juga dapat menjatuhkan hukuman tambahan terhadap badan hukum berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum.[12]


9. Pidana tambahan


Dalam hukum pidana dikenal adanya hukuman pokok dan hukuman tambahan. Pelaku tindak pidana dibidang pertambangan di atas yang dijatuhi pidana penjara dan denda merupakan hukuman pokok.


Selain jenis hukuman tersebut terhadap pelakunya dapat dijatuhi dikenai pidana tambahan berupa :

  • Perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana
  • Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
  • Kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana Kemudian hakim juga dapat menjatuhkan hukuman tambahan terhadap badan hukum berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum.


[1] Tanti Yuniar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, PT Agung Media Mulia, h. 570.

[2] Ibid, h. 573

[3] Ibid, h. 261.

[4] Gatot Supramono, Hukum Pertambangan Mineral Dan Batubara Di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2012, Cetakan. 1, h. 248.

[5] Ibid, h. 248.

[6] Ibid, h. 249.

[7] Ibid.

[8] Ibid, h. 250.

[9] Ibid, h. 251

[10] Ibid.

[11] Ibid, h. 252.

[12] Ibid, h. 252-254