Rukun dan syarat sahnya akad tabungan mudharabah

Sudut Hukum | Rukun dan syarat sahnya akad tabungan mudharabah


Sebagai sebuah kontrak, akad tabungan mudharabah mengharuskan adanya ijab dan kabul yang menunjukkan bahwa salah satu pihak mengajak pihak yang lain baik secara lisan maupun tertulis untuk mengadakan kerjasama. Yang harus dicermati adalah apakah bentuk transaksi dalam tabungan mudharabah ini sudah memenuhi ketentuan transaksi menurut hukum Islam terutama jika dilihat dari sah atau tidaknya akad, dan apakah akad tabungan mudharabah ini dapat dilaksanakan akibat hukumnya?.


Pandangan Islam tentang akad atau kontrak sebenarnya tidak ada batasan yang ketat tentang bagaimana perjanjian tersebut dibentuk. Beberapa pembatasan yang ada dalam kitab fikih klasik sebenarnya sebagian adalah cakupan dari beberapa bentuk perjanjian yang ada pada masa kitab tersebut disusun. Jika peradaban semakin maju, maka tidak menutup kemungkinan untuk mengembangkan bentuk akad.[1]


Dalam Islam asas kebebasan melakukan akad adalah dalam hal menentukan bentuk-bentuk suatu perjanjian yang digali berdasarkan dalil-dalil umum dalam Islam. Sebagaimana hadis Nabi yang dijadikan kaidah fikih yaitu bahwa:

Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Rukun dan syarat sahnya akad tabungan mudharabah

Dengan kata lain mereka dapat membuat syarat apa saja dan kelak syarat yang diperjanjikannya itu dihormati dan mengikat mereka untuk memenuhinya. Berangkat dari hadis tersebut nampak adanya kelonggaran dalam menetapkan syarat perjajian. Dalam Al-Qur‟an pun tidak ada pernyataan yang membatasi bentuk-bentuk perjanjian, sebagaimana firman Allah dalam Surat Q.S. 5: 1 yaitu:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…

Salah satu faktor penting dalam terciptanya akad adalah unsur kerelaan antara kedua belah pihak yang meleburkan diri dalam ikatan perjanjian. Pihak kedua yang melakukan perjanjian tersebut berikrar kepada pihak pertama dan saling rela dengan ikatan tersebut. Harus dipahami dari bertemunya kedua orang tersebut adalah sebagai wujud kesesuaian keinginan untuk memunculkan kelaziman syara’ yang dicari oleh kedua belah pihak. Akad tersebut tidak hanya bisa terwujud dengan adanya ikatan dua perkataan secara nyata, akan tetapi juga terwujud dengan adanya ucapan dari salah satu pihak kemudian pihak yang lain mengerjakan sesuatu yang menunjukkan kehendaknya, baik berupa tulisan, isyarat, maupunh penyerahan. Bahkan juga dapat terjadi suatu akad dengan adanya ikatan antara dua perilaku yang dapat mengggantikan posisi ungkapan tersebut yaitu yang bisa dipahami oleh kedua belah pihak baik tindakan maupun isyarat.


Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sebenarnya inti dari terciptanya suatu akad secara umum adalah terwujudnya dua kehendak orang yang berakad dan ada kesesuaian antara keduanya untuk memunculkan kelaziman (kewajiban) yang bersifat syar‟i (aturan) pada kedua pihak yang diindikasikan dari adanya suatu ungkapan tulisan isyarat atau tindakan. Suatu akad akan jadi mengikat apabila memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun akad yang pokok adalah ijab kabul. Dengan demikian dapat dipahami bahwa esensi akad adalah pencapaian kesepakatan kedua belah pihak, yang mana perbuatan seseorang dianggap sebagai suatu pernyataan kehendak.


Terhadap akad tabungan mudharabah, dilihat dari segi pembedaan bermacam-macam akad, termasuk ke dalam akad bernama, karena mudharabah sendiri sudah ditentukan namanya oleh pembuat hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus terhadap akad ini. Tabungan mudharabah ini termasuk juga ke dalam akad tidak bertempo, karena unsur waktu tidak merupakan bagian dari isi perjanjian. Dan termasuk akad konsensual, di mana untuk terciptanya akad tersebut cukup berdasarkan kata sepakat, walaupun prakteknya di bank bukti kesepakatan tersebut wajib dibuktikan dengan pengisian dan penandatanganan formulir akad, dalam hal ini menurut penulis karena akad tabungan tersebut sebenarnya tidak harus tertulis, sebab tertulis maupun tidak tertulis tidak menghalangi keabsahan akad. Tergolong juga ke dalam akad yang masyru, yaitu akad yang dibenarkan oleh syara untuk dibuat, tidak ada larangan untuk menutupnya dan bahkan anjuran untuk dibuat karena menunjang

kemaslahatan umat.


Adapun akad tabungan mudharabah dapat dikatakan sah jika telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Di mana rukun-rukunnya yaitu, pertama, para pihak yang membuat akad, yaitu terdapat nasabah penabung yang selanjutnya disebut sahib al-mal, dan bank sebagai pekerja atau mudarib. Kedua, adanya pernyataan kehendak para pihak, berupa ijab dan kabul, hal ini dibuktikan dengan kesepakatan yang tertuang di dalam formulir tabungan mudharabah, apabila nasabah penabung menyetujuinya, maka diharuskan mengisi dan menandatangani formulit tersebut. Dengan catatan tidak ada unsur paksaan dan keterbukaan semua informasi yang ada dalam formulir tersebut. Selanjutnya, rukun yang ketiga yaitu obyek akad. Obyek akad dalam hal ini terpenuhi, karena terdapat modal dari nasabah penabung/sahib al-mal yang akan dimudharabah-kan.


Selanjutnya obyek juga menyangkut adanya pekerjaan, yaitu usaha yang dilakukan oleh bank syariah dalam mengelola modal sahib al-mal. Kemudian rukun yang keempat berupa tujuan akad, yaitu maksud bersama yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui penutupan akad, hal ini terpenuhi dari adanya kesepakatan pembagian nisbah bagi hasil dalam kerja sama yang dilakukan.


Walaupun rukun-rukun mudharabah dalam tabungan mudharabah hidayah telah terpenuhi, akan tetapi rukun tersebut memerlukan syarat agar dapat berfungsi membentuk akad. Syarat untuk membentuk akad dalam tabungan mudharabah yakni tamyiz, (yaitu diharuskan nasabah adalah orang yang dewasa dan cakap bertindak hukum), berbilang pihak (adanya penabung/sahib al-mal dan mudarib/pihak bank), persesuaian ijab dan kabul (nasabah harus paham dengan segala ketentuan yang ditentukan bank, demikian juga dengan bank yang harus mengetahui nasabahnya), kesatuan majelis akad (nasabah dan pihak bank harus bertemu secara langsung), objek akad dapat diserahkan, objek akad tertentu/dapat ditentukan, objek akad dapat ditransaksikan atau berupa benda bernilai dan dimiliki (dalam hal ini ditentukan bahwa modal berupa satuan uang yang berlaku, milik pribadi nasabah dan penyerahannya harus tunai), dan tujuan akad tidak bertentangan dengan syara.


Dengan memenuhi rukun dan syarat terbentuknya, suatu akad memang sudah terbentuk, namun belum serta merta langsung dikatakan sah. Sahnya akad memerlukan unsur penyempurna yang menjadikan suatu akad tersebut sah, hal ini yang disebut syarat keabsahan akad. Terdapat syarat keabsahan umum dan syarat keabsahan khusus. Syarat keabsahan umum merupakan syarat yang berlaku untuk semua jenis akad, di antaranya tidak boleh ada unsur riba. Terhadap syarat keabsahan khusus, dalam tabungan mudharabah terdapat ciri khasnya, yakni mudarib yang dalam hal ini aktif menjalankan usaha, sedangkan sahib al-mal merupakan pihak yang pasif, akan tetapi setelah usaha memperoleh keuntungan, keuntungan tidak harus dibagi sama rata, tetapi berdasarkan kesepakatan prosentase nisbah bagi hasil yang telah disepakati di awal akad.


Apabila suatu akad telah memenuhi rukun-rukunnya, syarat-syarat terbentuknya, dan syarat-syarat keabsahannya, memang suatu akad dinyatakan sudah sah. Akan tetapi, meskipun sudah sah, ada kemungkinan bahwa akibatakibat hukum akad tersebut belum dapat dilaksanakan. Akad yang belum dapat dilaksanakan akibat hukumnya itu, meskipun sudah sah, disebut akad maukuf (terhenti/tergantung).


Agar akibat hukumnya dapat dilaksanakan, akad yang sudah sah itu harus memenuhi dua syarat berlakunya akibat hukum, yaitu adanya kewenangan sempurna atas objek akad, dan adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan. Kewenangan sempurna atas objek akad terpenuhi jika para pihak mempunyai kepemilikan atas objek bersangkutan, atau mendapat kuasa dari pemilik, dan pada objek tersebut tidak tersangkut hak orang lain seperti objek yang sedang digadaikan atau disewakan. Selanjutnya, kewenangan atas tindakan hukum terpenuhi jika dalam akad tabungan mudharabah ditetapkan setiap orang yang ingin berakad haruslah orang yang sudah dewasa atau cakap bertindak hukum. Dengan demikian, apabila akad tabungan mudharabah telah memenuhi semua unsur di atas, barulah dapat digolongkan ke dalam akad yang nafiz, yaitu akad yang sah dan dapat dilaksanakan akibat hukumnya karena telah memenuhi syarat berlakunya akibat hukum.



[1] Liaquat Ali Khan Niazi, Islamic Law of Contract, (Lahore: Research Cell Dyal Sing Trust Library, t.t.), hlm. 77.