Tusschen Vonnis (Putusan sela)

Sudut Hukum | Tusschen Vonnis (Putusan sela)


Untuk sampai pada putusan yang diharapkan memberikan penyelesaian dan mengakhiri sengketa dengan putusan akhir (eindvonnis), putusan berdasarkan tujuannya dapat dijatuhkan ketika dimana pemeriksaan di persidangan belum berakhir. Putusan ini dijatuhkan masih dalam tahap permulaan, pertengahan, atau mendekati akhir putusan. Putusan yang termasuk jenis ini disebut dengan dalam bahasa asing sebagai tusschen vonnis atau putusan sela atau putusan antara.


Di dalam praktik berperkara di MK, sebelumnya tidak dikenal putusan sela. Putusan ini tidak diatur kecuali jenis perkara sengketa kewenangan lembaga Negara (SKLN) yang diatur dalam UUNo.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. MK dalam perkara SKLN berdasarkan ketentuan Pasal 63 dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan kepada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan MK. Putusan sela dijabarkan dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Peraturan MK No. 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.


Tusschen Vonnis (Putusan sela)


Mengenai perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) dimungkinkan adanya putusan sela dalam hal dugaan terjadinya tindak pidana dalam pembuatan undang-undang yang diatur dalam Peraturan MK, sedangkan UUMK tidak mengaturnya. Pasal 16 ayat (1), (2) dan (3) PMK No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, menentukan dalam hal pemohon mendalilkan adanya dugaan perbuatan pidana dalam pembentukan undang-undang yang dimohonkan pengujiannya, MK dapat menghentikan sementara pemeriksaan permohonan atau menunda putusan. Secara tegas ayat (4) PMK tersebut yang menyatakan, “Penghentian proses pemeriksaan permohonan atau penundaan putusan sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan dengan Ketetapan Mahkamah yang diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.”


Adapun dalam praktik pengujian UU, atas permohonan putusan provisi yang diajukan Amrozi dkk dalam perkara pengujian UUNo. 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, MK tidak menerima permohonan tersebut. MK mempertimbangkan bahwa dalam UUMK tidak mengenal permohonan provisi dalam pengujian undang-undang (UU); dalam setiap pengujian UU, UUyang diuji tersebut tetap berlaku sebelum dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, permohonan provisi dikenal dalam sengketa kewenagan lembaga negara yang diatur dalam Pasal 63 UUMK; bahwa mekanisme permohonan provisi sifatnya harus penting dan mendesak; dan permohonan provisi adalah permohonan yang bersifat sementara dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pokok permohonan. Sehingga MK mengganggap permohonan provisi yang diajukan tidak berdasar dan beralasan hukum (Putusan No. 21/PUU-VI/2008 tanggal 21 Oktober 2008).


Dalam perkembangan, MK membuat putusan sela dalam bentuk putusan provisional yang tidak terbatas pada karena adanya dugaan adanya tindak pidana dalam pembuatan UU. Atas permohonan Bibit-Chandra untuk menguji UUNo.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUKPK) yang diajukan oleh Bibit- Chandra, MK mengabulkan sebagian permohonan provisi yang diajukan dan menolak permohonan selebihnya.


Permohonan yang dikabulkan terbatas dalam pengujian UU, yakni menunda penerapan Pasal 32 Ayat (1) huruf c Jo Pasal 32 Ayat (3) UUKPK oleh Presiden, yakni tindakan administratif berupa pemberhentian Pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan. MK berpendapat meskipun UUMK tidak mengenal putusan provisi dalam perkara PUU, seiring dengan perkembangan kesadaran hukum, kebutuhan praktik dan tuntutan rasa keadilan masyarakat serta dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, Mahkamah memandang perlu menjatuhkan putusan provisi dalam perkara ini dengan mendasarkan pada aspek keadilan, keseimbangan, kehati-hatian, kejelasan tujuan, dan penafsiran yang dianut dan telah berlaku tentang kewenangan Mahkamah dalam menetapkan putusan sela.


Terlepas nanti dinyatakan inkonstitusional atau tidak, Mahkamah memandang terdapat cukup potensi terjadinya pelanggaran atas kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan kebebasan dari ancaman dari rasa takut untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak, sehingga Mahkamah harus memainkan peran yang besar dalam mempertegas dan memberikan rasa keadilan dalam perkara in melalui putusan provisi. Mahkamah tidak dapat mengabulkan permohonan provisi sejauh menyangkut penghentian proses pidana di kepolisian dan kejaksaan. Bahwa dalam praktik pemeriksaan perkara PUUseringkali untuk kasus-kasus tertentu dirasakan perlunya putusan sela dengan tujuan melindungi pihak yang hak konstitusionalnya amat sangat terancam sementara pemeriksaan atas pokok pemohonan sedang berjalan. Putusan sela perlu untuk diterapkan apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak, sementara di pihak lain justru akan memperkuat perlindungan hukum.


“Menimbang bahwa relevansi dan signifikansi diterbitkannya putusan provisi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia apabila suatu norma hukum diterapkan sementara pemeriksaan atas pokok permohonan masih berjalan padahal hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan tidak dapat dipulihkan dalam putusan akhir. Dalam perkara a quo putusan sela diperlukan untuk mencegah kemungkinan kerugian konstitusional para Pemohon apabila menjadi terdakwa karena diberhentikan (tetap) oleh Presiden padahal dasar hukum atau pasal undang-undang tentang itu sedang diperiksa dalam pengujian terhadap UUD 1945 di Mahkamah.” (Putusan sela (provisi) No. 133/PUU-VII/2009, tanggal 29 Oktober 2009) Mengenai perkara PHPUAnggota DPR, DPD, dan DPRD yang sudah dilaksanakan sejak Pemilu 2004, pengaturan putusan sela baru ditentukan dalam PMK No. 14 Tahun 2008 tanggal 18 Juli 2008 yang isinya sebenarnya menggantikan PMK No.04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum. Putusan sela ditentukan dalam Pasal 9 ayat (6) PMK 14/2008 yang menyatakan, “Apabila dipandang perlu, untuk kepentingan Pemeriksaan Persidangan, Mahkamah dapat menetapkan putusan sela dan menunjuk petugas guna menyaksikan hal-hal yang terkait dengan penghitungan suara yang diperintahkan oleh Mahkamah.” Dengan aturan ini, MK untuk kepentingan pemeriksaan, putusan sela dapat dijatuhkan.


Sedangkan menurut Pasal 1 angka 19 PMK No.16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD tanggal 5 Maret 2009, putusan sela dirumuskan sebagai putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan objek yang dipersengketakan yang hasilnya akan dipertimbangkan dalam putusan akhir. Peraturan MK mengantisipasi berbagai kemungkinan dijatuhkannya putusan sela yang tidak terbatas melakukan perbuatan, tetapi juga untuk tidak melakukan perbuatan tertentu.


Dalam praktik putusan sela yang dijatuhkan MK pada Pemilu 2009, lembaga ini terbatas menetapkan sebuah putusan sela dibeberapa daerah pemilihan, yakni pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang dan belum mengenal putusan sela jenis lain, sedangkan jenis lainnya belum dikenal.


Yang mengalami perkembangan pesat justru penanganan perkara PHPUKepala Daerah yang dilaksanakan sejak 2008. Semula putusan sela belum digunakan sebagai instrumen MK untuk dalam menjatuhkan putusan dengan putusan yang memberikan keadilan dan tidak sebatas melegitimimasi hasil pemilu yang penuh dengan pelanggaran. Sementara Peraturan MK No. 15 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah, tanggal 23 Oktober 2008 masih mengatur secara terbatas sebagaimana Pasal 8 ayat (4) menentukan, “Untuk kepentingan pemeriksaan, Mahkamah dapat menetapkan putusan sela yang terkait dengan penghitungan suara ulang”.


Dalam praktik putusan sela perkara PHPUKepala Daerah 2008-2013, MK tercatat beberapa kali menjatuhkan putusan sela yang modelnya antara lain sebagai berikut: (1) pemungutan suara ulang; (2) penghitungan suara ulang; (3) mendiskualifikasi pasangan calon tertentu dalam Pemilukada; (4) menerima berkas pencalonan pasangan calon tertentu; (5) membuka kembali pendaftaran pasangan calon untuk memberi kesempatan bakal pasangan calon baru yang belum mendaftar; (5) verifikasi administrasi dan faktual; (6) menunda putusan pokok permohonan sampai putusan sela MK dilaksanakan.

Dalam ketentuan hukum acara perdata selama ini, dikenal adanya beberapa putusan sebelum putusan akhir (putusan sela), yaitu: pertama, yaitu putusan preparatoir. Putusan ini untuk mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan perkara. Putusan ini sama sekali tidak memengaruhi putusan itu sendiri, misalnya putusan yang memerintahkan supaya pihak yang diwakili oleh seorang kuasa untuk menghadap sendiri, atau keputusan bahwa gugatan rekonvensi tidak akan diputus bersama dengan gugatan konvensi. S.M. Amin (1957) menyebutkan putusan preparatoir ini untuk memperlancar pemeriksaan, sehingga vonis terakhir dapat tercapai dengan lebih mudah dan cepat, misalkan putusan untuk menetapkan hari penyumpahan.


Kedua, putusan Interlocutoir. Putusan ini bukan sebagai putusan terakhir yang berpengaruh terhadap putusan terakhir. Misalkan putusan untuk mendengar keterangan ahli dan pembebanan sumpah. S.M. Amin lebih jelas menyatakan putusan ini bertujuan agar memperoleh lebih banyak bahan-bahan agar suatu putusan terakhir lebih sempurna, misalkan putusan yang memerintahkan pemeriksaan saksi, ahli atau sebidang tanah yang menjadi pokok sengketa.


Ketiga, putusan insidentil. Putusan ini mengenai suatu hal yang hakikatnya tidak mempunyai hubungan erat dengan pokok perkara, misalkan saja putusan tentang “vrijwaring”, “voeging”, atau “tussenkomst”. S.M. Amin mencontohkan putusan diterima atau tidaknya suatu tangkisan atau eksepsi.

Keempat, yaitu putusan provisional. Putusan ini dikeluarkan karena ada hubungan dengan pokok perkara—menetapkan tindakan sementara bagi kepentingan pihak yang berperkara, misalkan putusan atas gugatan seorang istri terhadap suaminya, untuk memberi ongkos penghidupan selama pokok perkara, yaitu gugatan perceraian belum diputusakan.



Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung, Sudikno Mertokusumo (1988) menyatakan, hakim tidak terikat dengan putusan sela. Bahkan hakim yang menetapkan putusan sela berwenang untuk mengubah putusan sela tersebut jika ternyata terdapat kesalahan. [*BMK edisi juli 2013]