Mengenal Syiah Kuala yang Bukan Syi’ah

Sudut Hukum | Adalah Azyumardi Azra, dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, yang pernah menulis sisi hidup (sejarah) dari “Syiah kuala” secara eksplisit. Nama Syiah Kuala, lebih dikenal dalam dialektika akademik dengan nama aslinya ‘Abd Al Ra’uf Al Sinkily (yang hidup pada 1615 M), saat era pemerintahan Sulthanah di Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam deskripsnya, penulis mendeskripsikan ketokohan Al Singkily, yang begitu produkftif dan aplikatif dalam pengembangan Islam dan peradaban di Aceh serta Nusantara.


Memang, dalam pembahasan nya yang begitu komprehensif terhadap ‘Abd Al Ra’uf Al Sinkily, penulis tak pernah menggunakan nama “Syiah Kuala” (untuk menyebut nama ‘Abd Al Ra’uf. Penulis cenderung menggunakan nama Al Sinkily. Baru, penggunaan Syaikh Kuala diletakkannya di penutup deskripsi tentang ulama satu ini, itupun dengan menjelaskan “…Al Sinkily meninggal sekitar tahun 1639 dan dikuburkan di dekat kuala atau mulut Sungai Aceh. Tempat itu juga menjadi kuburan untuk istri-istrinya, Dawud al Rumy dan murid-murid lainnya. Karena tempat dia dikuburkan itulah, maka Al Sinkily dikemudian hari dikenal sebagai Syaikh di Kuala…” Namun, bagi rakyat Aceh, nama Syiah Kuala telah lebih “ma’ruf” (dikenal) dibanding Al Singkily.


‘Abd Al Ra’uf Al Sinkily sendiri, diklaim dilahirkan di Singkil (Fansur)-dengan diperkuat dengan catatan sejarah. Patut dicatat, bahwa dalam liputan khusus Kompas tahun 2012-ekpsedisi cincin api, sebuah kajian dan reportase mengenai jejak tsunami dan gunung api di Nusantara, telah menyebut nama Fansur atau Barus yang letaknya di Utara Singkil. Nama Fansur atau Barus sebagai bekas bandar niaga internasional dan peradaban (lama dan Islam), namanya memang sudah disebut sejak awal Masehi oleh literatur dalam bahasa Yunani, Suriah, Armenia, Arab, India, Tamil, China, Melayu dan Jawa (Lihat Kompas 26 Mei 2012) . Setidaknya, khusus di kawasan Singkil, orang di sana selalu mengingat istilah “Singkil Lama dan Singkil Baru,” yang menandakan adanya pusat peradaban sebelumnya di sepanjang kawasan Singkil dan Barus, namun kemudian hilang karena bencana tsunami besar.


Al Singkily menjabat sebagai Qadhi Malikul Adil, selama empat periode masa kesultanan yang dipegang oleh sultanah secara berturut-turut (abad ke 17 M). Posisi Qadhi Malikul Adil, merupakan mufti yang bertanggung jawab terhadap masalah agama (Islam) menunjukkan dia seorang yang penting, dan berpengaruh dalam kalangan istana Kerajaan Aceh Darussalam. Apalagi, peran Qadhi pada masa Kerajaan Aceh Darussalam memang dianggap sangat penting. Karena itu, dalam memaksimalkan ajaran Islam, hingga di setiap mukim sagou (wilayah federasi-Kerajaan Aceh Darussalam) pun, setiap panglima (uleebalang) juga harus didampingi oleh seorang Qadhi, yang dinamakan Qadhi Rabbul Jalil-dan memiliki fungsi yang sama.


Kiprah Syiah-Kuala dalam dunia pendidikan


Harus diakui, jika penulis buku Jaringan Ulama Timur Tengah tersebut, menyebut posisi Aceh dan intelektualnya yang begitu maha penting-dalam dinamika pendidikan Islam di Nusantara. Maka, peran aktor intelektualnya juga menjadi ujung tombak dari sebuah peradaban itu sendiri. Salah satu aktor intelektual itu adalah Syiah Kuala, selain daripada pengembang paham tasawuf dengan metode tarekat Syathariyyah nya-yang kemudian juga berkembang di Nusantara, dia berkontribusi penuh terhadap pengembangan kajian Islam di Nusantara. Diantara karya monumentalnya adalah Tafsir Turjuman Al Mustafid, sebuah tafsir berbahasa Melayu pertama di Nusantara, dan dipakai oleh ragam negara (termasuk komunitas Melayu di Afrika Selatan dan Pattani). Selain itu, menurut Azyumardi Azra, dia juga menjadi ulama Melayu pertama yang menulis fiqh muamalat-Mir’at Al Thullab.


Dalam tradisi pengembangan pengetahuan Islamnya, Al Singkily memiliki banyak guru di Timur Tengah, dan dua orang gurunya yang paling dikenal di Madina adalah Syaikh Ahmad Al Qusyasyi dan Syaikh Ibrahim Al Kurani. Dari bantuan seorang guru (Ibrahim Al Kurani) ini pulalah, ia menjadi aktor resolusi konflik, antara penganut paham (teologi-isme) Hamzah Fansuri dengan Nuruddin Ar Raniry saat itu.


Karena itu, peran besarnya dalam dunia pendidikan, sudah tidak diragukan lagi. Pun demikian, dalam simpul literatur jaringan dan pemikirannya, tak ada satupun pemikirannya yang berhubungan dengan Syi’ah. Bahkan, dunia akademis sejarah dan budaya juga tahu, Al Singkily atau Syaikh di Kuala, atau Syiah Kuala, bukanlah penganut Syi’ah. Apalagi, khusus di Aceh, riak Syi’ah dalam aplikasi fikih juga tak pernah terdengar. Justru, perannya sebagai aktor intelektual Nusantara, menjadi bagian vital dari peradaban Aceh di masa lampau.


Kultur Konsonan Orang Aceh


Sudah menjadi habitus satu komunitas dalam dunia ini, selalu berbeda dengan komunitas lain. Kehidupan yang selalu dipengaruhi oleh alam, ras, dan pola hidup membentuk karakteristik komunitas itu sendiri. Pun demikian, dengan orang Aceh, komunitas yang hidup di penghujung Sumatra ini, memiliki ciri khas kultur nya sendiri. Selain dikenal keras, tegas, memiliki tekstur wajah yang multikultur, juga memiliki bahasa khasnya (Aceh).


Akulturasi yang terjadi dalam tubuh struktur komunitas orang Aceh, sering mengalami peleburan utuh atau (justru) perubahan. Perubahan sering sekali terjadi, dari cara orang Aceh melafalkan konsonan huruf baru, yang masuk ke dalam komunitas ini. Kuatnya pengaruh budaya Arab, India dan Persia di Aceh, pada awal perkembangan Islam, ternyata juga mengalami sisi modifikasi bahasa dasar, oleh orang Aceh asli. Sebut saja, kata Madrasah yang kemudian berubah menjadi Meunasah, kata Zawiyah yang berubah menjadi Zouyah, dan Dayah (lihat Safwan Idris, dalam Badruzzaman, dkk, 1995). Pun dengan kata-kata lain, kata Syaikh misalnya, yang diduga kuat kemudian mengalami perubahan menjadi Syiah (bukan dilafalkan dengan bunyi syi’ah). Meskipun, ada kemungkinan Syiah juga berasal dari kata Syah-pengaruh dari Persia (Indonesia ; raja).


Karena itu, “Syiah” (baca ; ci-yah) yang ditabalkan di depan nama julukan Al Singkily -menunjukkan dia seorang “syaikh” (guru besar dalam pengetahuan Islam)-bukan “Syi’ah” (sebagaimana dibaca dan diduga oleh pelancong). Hanya saja, pengaruh dari pengucapan orang Aceh, dalam menyebut bahasa asing dahulunya, terutama “Arab,” sering “meupleu” (bergeser) bunyi dan konsonannya, orang Aceh lebih sering menyebut Syaikh di Kuala dengan sebutan Syiah Kuala. Karenanya, sangat patut namanya kemudian dipakai sebagai simbol dari lembaga pendidikan tertinggi di Aceh-Universitas Syiah Kuala. Maka, yang harus dipikirkan oleh generasi Aceh berikutnya, bagaimana membangun institut yang ditabal namanya tersebut, dengan segudang prestasi dan bernilai keislaman, sebagaimana pernah dilakukan oleh Al Singkily semasa hidupnya. Agar kelak, generasi Aceh tampil dengan segudang prestasi dalam membangun peradaban berbasis kesilaman dan bingkat adat keacehan.[Oleh: Muhajir Al Fairusy/*MAA]