Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif

Sudut Hukum | Tugas pokok dari pada pengadilan, yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman adalah untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.


Kekuasaan Pengadilan Negeri dalam perkara perdata meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya atau hak-hak keperdataan lainnya (Pasal 2 ayat 1 RO), kecuali apabila dalam undang-undang ditetapkan pengadilan lain untuk memeriksa dan memutusnya, misalnya perkara perceraian bagi mereka yang beragama Islam menjadi wewenang Pengadilan Agama (Pasal 12 PP 9/1975 jo UU No 1/1974 Tentang Perkawinan).


Wewenang Pengadilan Negeri tersebut di atas disebut wewenang mutlak atau kompetensi absolut, yaitu wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (pengadilan negeri, pengadilan tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan lain (pengadilan negeri, pengadilan agama).


Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif

Wewenang mutlak ini menjawab pertanyaan; apakah pengadilan tertentu ini katakanlah pengadilan negeri pada umumnya wenang memeriksa jenis perkara tertentu yang diajukan, dan bukan pengadilan lain yang wenang misalnya pengadilan tinggi atau pengadilan agama. Biasanya kompetensi absolut ini tergantung pada isi gugatan, yaitu nilai dari pada gugatan (Pasal 6 UU No 20/1947). Wewenang mutlak ini disebut juga atribusi kekuasaan kehakiman.


Sedangkan kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan diatur dalam Pasal 118 HIR (Pasal 142 RBg), sebagai azas ditentukan bahwa pengadilan negeri di tempat tergugat tinggal

(mempunyai alamat, domicile) yang wenang memeriksa gugatan atau tuntutan hak actor sequitor forum rei (Pasal 118 ayat 1 HIR, 142 ayat 1 RBg). Jadi gugatan harus diajukan kepada pengadilan negeri di tempat tergugat tinggal.


Kalau penggugat bertempat tinggal di Lhokseumawe, sedang tergugat bertempat tinggal di Lhoksukon, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di Lhoksukon. Kiranya tidaklah layak apabila tergugat harus menghadap ke Pengadilan Negeri di tempat penggugat tinggal. Tergugat tidak dapat dipaksa untuk menghadap ke Pengadilan Negeri di tempat penggugat tinggal, hanya karena ia digugat oleh penggugat, yang belum jelas tebukti kebenaran gugatannya. Bukanlah kehendak tergugat, bahwa ia digugat oleh penggugat.


Lain dari pada itu belum tentu gugatan penggugat itu dikabulkan oleh pengadilan. Maka oleh karena itu tergugat harus dihormati dan diakui hak-haknya selama belum terbukti kebenaran gugatan penggugat, yang belum tentu tinggal sekota dengan tergugat, dengan menghadap ke Pengadilan Negeri di tempat penggugat tinggal. Tergugat harus dianggap pihak yang benar selama belum terbukti sebaliknya. Apabila tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal atau tempat tinggalnya yang nyata tidak dikenal atau tergugat tidak terkenal. Maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat tergugat sebenarnya tinggal. (Pasal 118 ayat 1 HIR, 142 ayat 1 RBg).


Atau apabila dipilih tempat tinggal, penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal yang dipilih tersebut (Pasal 11 ayat 4 HIR, 42 ayat 4 RBg). Pemilihan tempat tinggal oleh kedua belah pihak ini harus dilakukan dengan akta.


Jika yang digugat lebih dari seorang tergugat dan mereka ini tidak tinggal dalam satu wilayah hukum suatu Pengadilan Negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat salah seorang tergugat tinggal. Penggugat dapat memilih tempat tinggal dari salah seorang tergugat. Apabila tergugat- tergugat terdiri dari orangorang yang berhutang (debitur) dan penanggung, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat orang yang berhutang (debitur) tinggal (Pasal 118 ayat 2 HIR, Pasal 142 ayat 2 RBg).


Penyimpangan terhadap azas sequitor forum rei tersebut di atas terjadi apabila tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal maupun tempat tinggal yang nyata atau apabila tergugat tidak dikenal. Dalam hal gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat penggugat tinggal (Pasal 118 ayat 3 HIR, Pasal 142 ayat 3 RBg), misalnya seorang yang tinggal di luar Indonesia dan tidak mempunyai tempat tinggal di Indonesia digugat melalui Pengadilan Negeri di tempat penggugat tinggal.


Apabila gugatan itu mengenai benda tetap, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri di tempat benda tetap itu terletak, forum rei sitae. Kalau seseorang digugat di muka hakim yang tidak wenang secara relatif memeriksa perkara tersebut, maka hakim hanya dapat menyatakan dirinya tidak wenang secara relatif memeriksa perkara tersebut apabila tergugat mengajukan tangkisan atau eksepsi bahwa hakim tidak wenang memeriksa perkara tersebut, asal tangkisan tersebut diajukan pada sidang pertama atau setidak-tidaknya belum menggunakan tangkisan lain. Dalam hal ini hakim wajib memberi jawaban terhadap tangkisan tersebut, walaupun pihak yang bersangkutan atau wakilnya tidak hadir di persidangan. (Pasal 125 ayat 2, 133 HIR, Pasal 149 ayat 2, 159 RBg).


Apabila tangkisan ditolak maka pemeriksaaan tentang pokok perkara dapat dilanjutkan sampai putus (Pasal 134,135 HIR, Pasal 160,161 RBg), sebaliknya seperti yang telah disebutkan di muka, apabila perkara diajukan kepada hakim yang tidak wenang secara absolut, maka hakim ex officio harus menyatakan dirinya tidak wenang.