Pelaksanaan Putusan Hakim Lebih Dahulu (Uitvourbaar bij Vooraad)

Sudut Hukum | Pada umumnya orang beranggapan bahwa putusan hakim baru dapat dilaksanakan setelah putusan itu memperoleh kekuatan pasti. Tetapi dalam hal yang sangat mendesak, keharusan menunggu itu dapat menimbulkan kesukaran. Karena itu menurut ketentuan Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat (1) Rgb, hakim diizinkan menjalankan putusan lebih dulu (uitvoerbaar bij vooraad) walaupun putusan itu belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap.


Menurut Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat (1) Rbg, agar putusan dapat dilaksanakan lebih dulu,

harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Ada surat otentik atau tulisan tangan yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti;
  2. Ada keputusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum pasti sebelumnya, yang menguntungkan pihak penggugat dan ada hubungannya dengan gugatan yang bersangkutan;
  3. Ada gugatan provisionil yang dikabulkan;
  4. Dalam sengketa tentang hak milik.


Apabila salah satu syarat tersebut di atas terpenuhi, barulah putusan itu dapat dilaksanakan lebih dahulu, walaupun diajukan perlawanan, atau banding, atau kasasi.


Pelaksanaan Putusan Hakim Lebih Dahulu (Uitvourbaar bij Vooraad)

Jadi dasar putusan adalah “akta otentik atau akta di bawah tangan yang diakui”. “ Apakah dalam hal gugatan utang-piutang antara A, anak almarhum B, yang menggugat C, agar membayar utangnya kepada almarhum ayahnya, kepada A anak sah dari almarhum B, dimana dalam persidangan untuk membuktikan kedudukan A tersebut sebagai anak almarhum B, diajukan akta kelahiran dari A tersebut (akta otentik).


Sedangkan A tidak mengajukan surat bukti untuk membuktikan tentang adanya utang piutang, Dapatkah dalam persoalan tersebut dijatuhkan putusan uitvoerbaar bij vooraad ?. jawabannya, tidak dapat”. Yang dimaksud dengan dasar putusan adalah dasar putusan pokok perkara. Pokok perkara tersebut di atas adalah adanya utang piutang antara almarhum B dan C. Apabila utang piutang dapat dibuktikan dengan akta otentik atau akta di bawah tangan (misalnya kwitansi tanda penerimaan uang) yang tidak disangkal isi dan tanda tangannya oleh C atau salah satu syarat lain yang termuat dalam Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat (1) Rbg terpenuhi putusan dapat dijatuhkan dengan ketentuan uitvoerbaar bij vooraad. Selanjutnya agar putusan dapat dijalankan lebih dulu, adalah “adanya penghukuman sebelumnya dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan huku tetap”.


Pasal 1918 BW, berbunyi: “suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum mutlak, dengan mana seorang telah dijatuhi hukuman karena suatu kejahatan maupun pelanggaran, di dalam suatu perkara perdata dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya”.


Kemudian yang terakhir mengenai “persoalan hak milik”. Apakah suatu gugatan warisan adalah persoalan hak milik?.


Dalam persoalan warisan yang menyangkut tanah milik yang selama bertahun-tahun dikuasai olehtergugat, putusan tidak dapat diberikan dengan ketentuan uitvoerbaar bij vooraad. Akan tetapi apabila sebidang tanah atau sawah yang semula dikuasai penggugat, dapat dibuktikan bahwa penggugat yang memiliki tanah tersebut, kemudian diambil paksa oleh tergugat, maka putusan dapat diberikan dengan ketentuan uitvoerbaar bij vooraad.


Apabila persoalan menjangkut pengembalian barang yang dipinjam oleh tergugat, misalnya: mobil penggugat dipinjam dan malahan terhadap mobil tersebut telah diletakkan revindicatoir beslag, persoalan bezit ini, apabila telah dapat dibuktikan, misalnya ada pengakuan dari pihak tergugat yang meminjam mobil itu, dan ada BPKBnya atas nama penggugat, maka dapat dikabulkan dengan ketentuan uitvorbaar bij vooraad.


Sehubungan dengan ketentuan Pasal 180 HIR, Pasal 191 Rbg, para ketua dan hakim pengadilan negeri supaya sungguh-sungguh memperhatikan dan mengindahkan syarat-syarat tersebut di atas, supaya berhati-hati menggunakan lembaga uitvoerbaar bij vooraad , karena apabila dalam tingkat banding atau

kasasi putusan pengadilan negeri dibatalkan, akan timbul banyak kesulitan dalam mengembalikan pada

keadaan semula. Apabila terdapat kekeliruan atau kekhilapan yang menyolok, Mahkamah Agung dengan kekuasaannya selalu dapat memerintahkan penundaan pelaksanaan putusan pengadilan negeri.