Dasar Hukum dan Hikmah Iddah

SUDUT HUKUM | Konsekuensi yang pertama kali muncul akibat pernyataan perceraian adalah adanya masa ‘iddah.[1] Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apa pun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak, wajib menjalani masa ‘iddah itu. Kewajiban menjalani masa ‘iddah dapat dilihat dari beberapa ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 228:

Artinya:”Perempuan-perempuan yang ditalaq oleh suaminya hendaklah menunggu masa selama tiga kali quru. Tidak halal perempuan itu menyembunyikan apa yang dijadikan Allah dalam rahimnya (QS. al-Baqarah: 228).”


Dasar Hukum dan Hikmah Iddah

Di antara hadis Nabi yang menyuruh menjalani masa ‘iddah tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Aisyah menurut riwayah Ibnu Majah dengan sanad yang kuat yang bunyinya:


Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami dari Ali bin Muhammad dari Waki’ dari Sufyan dari Mansur dari Ibrahim dari Aswad dari A’isyah berkata: Nabi Saw menyuruh Barirah untuk ber‘iddah selama tiga kali haid. (HR. Abu Daud).”


Adapun tujuan dan hikmah diwajibkanya ‘iddah itu adalah sebagaimana dijelaskan dalam salah satu definisi yang disebutkan sebelumnya, yaitu:
Pertama: untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan tersebut dari bibit yang ditinggalkan mantan suaminya. Hal ini disepakati oleh ulama. Pendapat ulama waktu itu didasarkan kepada dua alur pikir:
  1. Bibit yang ditinggal oleh mantan suami dapat berbaur dengan bibit orang yang akan mengawininya untuk menciptakan satu janin dalam perut perempuan tersebut. Dengan pembauran itu diragukan anak siapa sebenarnya yang dikandung oleh perempuan tersebut. Untuk menghindarkan pembauran bibit itu, maka perlu diketahui atau diyakini bahwa sebelum perempuan itu kawin lagi rahimnya bersih dari peninggalan mantan suaminya.
  2. Tidak ada cara untuk mengetahui apakah perempuan yang baru berpisah dengan suaminya mengandung bibit dari mantan suaminya atau tidak kecuali dengan datangnya beberapa kali haid dalam masa itu. Untuk itu diperlukan masa tunggu.



Alur pikir pertama tersebut di atas tampaknya waktu ini tidak relevan lagi karena sudah diketahui bahwa bibit yang akan menjadi janin hanya dari satu bibit dan berbaurnya beberapa bibit dalam rahim tidak akan mempengaruhi bibit yang sudah memproses menjadi janin itu. Demikian pula alur pikir kedua tidak relevan lagi karena waktu ini sudah ada alat yang canggih untuk mengetahui bersih atau tidaknya rahim perempuan dari mantan suaminya. Meskipun demikian, ‘iddah tetap diwajibkan dengan alasan dibawah ini.[2]

Kedua: untuk taabbud, artinya semata untuk memenuhi kehendak dari Allah meskipun secara rasio kita mengira tidak perlu lagi. Contoh dalam hal ini, umpamanya perempuan yang kematian suami dan belum digauli oleh suaminya itu, masih tetap wajib menjalani masa ‘iddah, meskipun dapat dipastikan bahwa mantan suaminya tidak meninggalkan bibit dalam rahim isterinya itu.

Adapun hikmah yang dapat diambil dari ketentuan ‘iddah itu adalah agar suami yang telah menceraikan isterinya itu berpikir kembali dan menyadari tindakan itu tidak baik dan menyesal atas tindakannya itu. Dengan adanya ‘iddah dia dapat menjalin kembali hidup perkawinan tanpa harus mengadakan akad baru.




[1] Hammudah Abd. Al’ati, The Family Structure In Islam, Terj. Anshari Thayib, ” Keluarga Muslim”, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984, hlm. 310.

[2] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 201.