Problematika Hukum dalam Pembatalan Perkawinan

SUDUT HUKUM | Pisahnya suami isteri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talak. Sebab talak ada talak ba’in dan talak raj’i. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami isteri dengan seketika. Sedang talak ba’in mengakhirinya seketika itu juga.

Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu.

Akibat hukum dari pembatalan perkawinan juga diatur dalam Undang- Undang No. 1 tahun 1974 pasal 28 sebagai berikut:

Pasal 28
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(3) Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Adapun juga pengaturan akibat hukum dari pembatalan perkawinan terdapat dalam KHI pasal 75 dan 76 adalah sebagai berikut:

Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami isteri murtad.
b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hokum antara anak dengan orang tuanya.

Problematika Hukum dalam Pembatalan PerkawinanDari beberapa akibat pembatalan perkawinan yang terurai dalam Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 28 dan KHI pasal 75 dan 76 di atas, menunjukkan bahwasannya pembatalan perkawinan itu ada dua akibat hokum yakni, berlaku surut dan tidak diberlakukan surut. Pertama, hal yang diberlakukan surut dalam hal pembatalan perkawinan adalah dari waktu pembatalan perkawinan itu sendiri diberlakukan surut yang artinya perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.



Sedangkan akibat hukum pembatalan perkawinan yang kedua, yakni tidak diberlakukan surut dalam hal ini ada beberapa poin, yang pertama adalah anakanak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, meskipun telah terjadi pembatalan perkawinan, akibat hukumnya jangan sampai menimbulkan kerugian dan kesengsaraan bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

Dengan demikian jelaslah pembatalan perkawinan tidak berpengaruh terhadap status anak yang telah mereka lahirkan. Kedua, akibat hukum pembatalan perkawinan diberlakukan surut terhadap suami atau isteri yang murtad hal itu diatur dalam KHI. Dan yang ketiga antara KHI dan undang-undang perkawinan maknanya sama yaitu, pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dan akibat hukum yang keempat diatur dalam undang-undang perkawinan pasal 28 (b) suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.


Dari beberapa akibat pembatalan perkawinan di atas dalam pasal 28 (b) hanya menyinggung sedikit soal harta bersama yang diberlakukan surut, dengan alasan karena adanya perkawinan sebelumnya yang lebih dulu. Namun bagaimana jika tidak ada alasan adanya perkawinan terdahulu, apakah harta bersama tersebut tetap ada sebagai akibat hukum dari pembatalan perkawinan. Dalam hal ini belum ada peraturan yang membahas secara terperinci perihal harta bersama sebagai akibat hukum dari sebuah perkawinan yang dibatalkan, apakah harta bersama sebagai akibat hukum pembatalan perkawinan tidak diberlakukan surut ataukah diberlakukan surut yang berati harta bersama itu dianggap tidak ada. Maka dengan begitu perlu kita menggunakan beberapa teori pemahaman hukum agar bisa menafsirkan maksud dari undang-undang, terutama dalam undang-undang perkawinan pasal 28 tentang akibat hukum dari pembatalan perkawinan.