Kedudukan Ulama dalam Pembentukan Masyarakat Islam di Aceh

SUDUT HUKUM | Masyarakat Aceh sejak masa-masa kerajaan Islam sudah dikenal dengan masyarakat yang agamis, fanatik dan kental dengan nilai-nilai syari’at Islam. Di samping dari itu Aceh juga dikenal sebagai daerah yang pertama sekali agama Islam masuk di Nusantara, sehingga daerah Aceh disebut dengan Serambi Mekkah.

Pembentukan masyarakat Aceh menjadi masyarakat Islam, tentunya erat kaitannya dengan peran ulama dan para penguasa sejak awal masa kerajaan hingga pemerintahan sekarang ini. Karena untuk membentuk masyarakat tersebut menjadi masyarakat yang Islam membutuhkan kekuatan dan kekuasaan yang berlangsung dalam waktu yang lama.

Pola pembentukan masyarakat Aceh yang Islam tersebut dilakukan melalui pendidikan, pewarisan nilai-nilai dalam syari’at Islam melalui pembudayaan, penerapan syari’at Islam dalam lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat yang menyatu dengan adat istiadat masyarakat.

Kedudukan Ulama dalam Pembentukan Masyarakat Islam di Aceh



(Baca juga: Kedudukan Ulama dalam Pembentukan Hukum Islam di Aceh)


Di sisi lain adalah melalui pengajaran aqidah yang benar, membentuk akhlak yang terpuji, pengajaran ibadah dan pola pikir yang Islami. Pola pembentukan tersebut dijadikan sebagai suatu kebiasaaan masyarakat yang dibentuk dengan tata nilai dan norma yang mengikat. Sehingga secara langsung atau tidak langsung masyarakat telah membentuk diri dalam suatu komunitas masyarakat Islam.

Selanjutnya ulama mengawalnya agar suasana tersebut tetap berlangsung dalam masyarakat, dan mewariskan ke generasi berikutnya lewat jalan yang panjang dan metode yang sesuai dengan kondisi zaman. Ulama memiliki andil dalam membentuk masyarakat Aceh yang Islami, karena sejak awal ulama sudah berusaha membentuk masyarakat Islam di Aceh.

(Lihat juga: Foto-foto Ulama Karismatik Aceh)


Sebenarnya banyak faktor lain yang ikut memberi pengaruh terhadap pembentukan masyarakat Aceh, seperti pengaruh adat dan budaya. Namun pengaruh ulama lebih dominan mewarnai masyarakat Aceh, sehingga masyarakat Aceh lebih cendrung membentuk budaya Islam. Dan dalam kultur masyarakat Aceh ulama adalah salah satu elemen masyarakat yang memiliki status sosial yang tinggi dan mulia, bahkan kadang-kadang melebihi pemerintah itu sendiri. Karena itu pemikiran ulama memiliki pengaruh dalam pembentukan masyarakat Aceh yang Islami.

Masyarakat sangat terkesan dengan ulama sehingga dalam doa keseharian nampak pengaruh ulama, seperti; masyarakat selalu berharap agar anak keturunannya nanti menjadi orang alim, pandai dan kaya. Menjadi ulama adalah cita-cita mulia masyarakat Aceh. Untuk itu profil dan sosok ulama merupakan orang yang diteladani, yang didengar ucapannya, dan yang dipatuhi. Di sisi lain pembentukan masyarakat Aceh yang Islami dilakukan oleh ulama melalui penerapan hukum Islam dalam masyarakat, dan pemantapan adat-budaya Aceh yang sesuai dengan syari’at Islam.

Sejak keluarnya Undang-undang no 44 tahun 1999, peran ulama menjadi legal formal secara hukum dan poerundangan dan bertanggung jawab dalam membentuk masyarakat Aceh yang Islami yang sebelum hanya merupakan tanggung jawab moral ulama semata. Pembentukan masyarakat Aceh melalui aturan dan hukum Islam mulai dilakukan kembali secara terprogram, sebagaimana pernah dilakukan ketika berlakunya Qanun Asyi Meukuta Alam.

Peraturan-praturan yang diatur melalui qanun-qanun syari’at Islam dapat membentuk kebiasaan masyarakat untuk mematuhi aturan syari’at Islam. Dengan demikian pengawasannya pelaksanaan syari’at Islam dapat dilakukan secara bertanggung jawab oleh lembaga wilayatul hisbah yang memiliki kekuatan dan berkesinambungan. Demikian juga pembentukan masyarakat Aceh yang Islami melalui program pengajaran yang berlandaskan nilai-nilai agama untuk masyarakat telah menyatu antara program ulama dan program pemerintah. Salah satu program prioritas Pemerintah Aceh tahun 2001 sampai 2005 adalah 39

pelaksanaan syari’at Islam yang di dalamnya terdapat program pendidikan agama. Namun program ini belum berjalan maksimal sebagaimana harapan, menurut Abu Mustafa program sangat bagus untuk membangun karakter bangsa, tetapi karena sudah terjadi pergantian tampuk kekuasaan sehingga program ini agak tersendat dan belum berjalan maksimal. Dan terakhir telah keluar intruksi Gubernur Aceh tahun 2010 untuk pemantapan pengajaran agama untuk masyarakat dengan istilah maghrib mengaji. Program maghrib mengaji sudah dicanangkan pemerintah Aceh, dan teknis pelaksanaannya perlu dirumuskan sehingga program ini dapat berjalan dengan sempurna.

Pola pengajaran agama seperti tersebut di atas dilakukan dengan cara memberikan materi pokok ajaran Islam, materi-materi pokok tersebut meliputi materi tentang iman, ibadah dan akhlak, kemudian dilanjutkan dengan pembentukan hukum. Pengajaran-pengajaran agama dilakukan dalam berbagai bentuk. Pola pendekatan tersebut masih dilestarikan, dan dipertahankan serta masih diterapkan hingga saat ini. Adapun pola pengajian tempo dulu adalah, tingkat awal pengajian dilakukan di rumah-rumah teungku Imam atau ustaz yang mengajarkan dasar-dasar ilmu agama seperti; belajar salat, cara membaca al-Qur’an, mengajarkan dan menghafal rukun iman dan rukun Islam.

Tahap selanjutnya belajar tahsin baca al-Qur’an dan baca kitab-kitab dalam bahasa jawi, dan setelah itu diajarkan dasar bahasa Arab dan kitab-kitab dalam bahasa Arab yang masih rendah. Setelah selesai belajar ditingkat ini bagi yang ingin melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi yaitu meudagang ke dayah.

Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, meskipun intensitas kegiatan keagamaan berkembang namun belum ada aturannyang mengikat. Namun pengajaran agama masa sekarang sudah menjadi legal formal dan berkembang. Dayah-dayah di Aceh sudah disertifikasi oleh pemerintah, pemerintah menentukan tingkatan dayah dengan tipe, mulai dari tipe A, tipe B, tipe C dan tipe D dianggap sebagai balai pengajian. Menurut Tgk. Ghazali Muhammad Syam, pola pengajian itu dapat dilihat pada beberapa pola, antara lain: Pertama, pengajaran agama di dayah atau pesantren baik dayah salafi maupun dayah modern. Kedua, pengajaran agama di sekolah, baik sekolah agama maupun sekolah umum. Pelajaran agama di sekolah umum terjadi penambahan jam belajar agama selain dari jam agama yang ada dalam kurikulum secara nasional. Pemerintah Aceh telah mengintruksikan agar semua sekolah umum mulai dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas yang ada di Aceh untuk mengadakan tambahan pelajaran agama. Ketiga, pengajian agama untuk masyarakat di mesjid, meunasah, musalla. Keempat, melalui dakwah, ceramah dan tausiyah.

Sementara itu ulama menginginkan agar masyarakat Islam yang ingin dibentuk adalah masyarakat yang Islami yang dilandasi oleh iman yang benar, memahami ajaran agama Islam yang benar, memahami hukum-hukum dalam agama. Sehingga akan terbentuk suatu masyarakat Islam yang memiliki kesadaran yang tinggi dan taat pada aturan agama. Ulama Aceh berharap agar pengajaran-pengajaran agama Islam dapat membentuk kepribadian masyarakat yang Islami, yang taat, yang patuh dan berkarakter Islami.

Sebab kondisi hari ini generasi Islam di Aceh telah jauh dari nilai dan karakter yang Islam. Pergeseran itu dapat terjadi karena pengaruh globalisasi yang tidak diikuti oleh sistem pertahanan pengajaran agama Islam yang mampu menjawab tantangan global. Apabila ulama tidak menguasai tangangan global maka segala bentuk problem yang diakibatkan oleh global sulit dapat di atasi. Ulama kurang memahami dan tidak menguasai sebab terjadinya perubahan itu, sehingga sulit menghadapi persoalan pengaruh global itu apalagi untuk menyelesaikan masalah yang sedang terjadi.

Di kota Lhokseumawe Ulama mendukung program pemerintah daerah tentang pengajaran agama Islam kepada masyarakat, pemerintah Daerah telah menyebarkan guru agama yang berasal dari dayah dan sekolah yang dianggap mampu untuk mengajar ilmu kepada masyarakat. Karena dalam beberapa tahun terakhir ini menurut pantauan MPU kota Lhokseumawe, telah banyak terjadi ajaran aneh yang dianggap sesat dan pendangkalan aqidah serta pemurtadan. Maka dari itu pengajaran agama harus dilakukkan oleh orang yang memiliki kapasitas ilmu agama yang memadai yang diambil dari kitab-kitab yang muktabar. Untuk terlaksananya program tersebut diperlukan kepada grand konsep yang matang dan jelas, tujuan yang ingin dicapai, sasaran program, metode yang digunakan, evaluasi dan usaha perbaikan. Apabila program ini bersifat responsif maka program berhenti apabila tidak ada yang merespon dan tidak ada yang mengkritik.

Dengan demikian jelas terlihat bahwa pembentukan masyarakat Aceh melalui penerapan hukum Islami, membentuk adat kebiasaan masyarakat ysnag Islami dan dengan melakukan pendidikan pengajaran agama yang berkesinambungan dalam masyarakat, sehingga membentuk suatu komunitas masyarakat yang Islami.