Eugen Ehrlich dan Pemikiran Aliran Sosiological Jurisprudence

SUDUT HUKUM | Aliran Sosiological Jurisprudence memiliki beberapa tokoh yang banyak menyumbangkan pemikira tentang ilmu hukum sosiologis, akan tetapi yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya tiga tokoh. Pembatasan ini dilakukan agar penelitian ini tidak terlalu luas dan menurut penulis ketiga tokoh tersebut mampu merepresentasikan inti pemikiran dari aliran sosiological jurisprudence. Ketiga tokoh tersebut adalah Eugen Ehrlich, Roscoe Pound, dan Benjamin N. Cordozo.

Eugen Ehrlich adalah seorang ahli hukum yang lahir di Czernowitz sekarang dikenal dengan Chernivtsi Ukraina pada 1862. Daerah Czernowitz dahulu dikenal sebagai bagian dari provinsi Bukovina, kerajaan Austo-Hungarian. Oleh sebab itu dia dapat dikatakan sebagai seorang berkebangsaan Austria.

Masa kecilnya turut memberikan pengalaman yang khas dalam pemikiran hukumnya. Budaya hukum Bukovina diwarnai oleh hukum Austria dan kebiasaan setempat, telah meninggalkan sebuah gugatan pemikiran terhadap Hans Kelsen yang mengenalkan adanya hirarki norma hukum pada 1922.

Eugen Ehrlich  dan Pemikiran Aliran Sosiological JurisprudenceStudi Eugen Ehrlich tentang sosiologi hukum mempunyai ciri yang berbeda. Tidak seperti studi Max Weber, ia bernaksud untuk membuktikan teori bahwa : titik berat perkembangan hukum tidak terletak dalam perundang-undangan juga tidak dalam keputusan pengadilan maupun dalam ilmu pengetahuan di bidang hukum, tetapi dalam masyarakat itu sendiri.

Ehrlich mulai dengan satu pertanyaan apakah supermasi hukum dari kekuasaan atau adat kebiasaan. Dalam soal ini ia sangat sepaham dengan Savigny. Tetapi konsep mistis mengenai Volksgeist yang ditafsirkan oleh aliran historis dalam pengertian masa lampau, ia memasukkan gagasan yang realistis dan khas tentang fakta-fakta hukum (Rechtstatsachen) dan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Ia juga memberi sumbangan yang penting terhadap metode hukum secara sosiologis.

Ehrlich bertolak dari ide masyarakat. Menurut pendapatnya masyarakat adalah ide umum yang dapat digunakan untuk membedakan semua hubungan sosial, yakni keluarga, desa, lembaga sosial, negara, bangsa, sistem ekonomi dunia dan sebagainya.

Dalam konteks ini hubungan sosial berarti, bahwa orang dikumpulkan dalam suatu kesatuan yang lebih tinggi, yang berwibawa atas mereka. Ia juga memandang semua hukum sebagai hukum sosial, dalam arti semua hubungan hukum ditandai oleh faktor sosial-ekonomi. Sistem ekonomi yang digunakan dalam produksi, distribusi dan konsumsi bersifat menentukan bagi pembentukan hukum.

Dari pandangan tersbut tampak bahwa Ehrlich adalah pengikut naturalisme, yang memandang bahwa semua gejala alam dilihat dari seperti benda-benda alam, dan hubungan antara gejala-gejala itu dianggap bersifat alamiah.

Oleh karena itu Ehrlich menyangkal sifat normatif hukum. hukum merupakan kenyataan saja, sama seperti gejala benda dunia. Jadi norma-norma hukum berasal dari kenyataan, dan tidak melebihi kenyataan itu. Kenyataan yang melahirkan hukum menyangkut hidup bermasyarakat, hidup sosial.

Titik pokok dalam pendekatan Ehrlich adalah bahwa ia meremehkan perbedaan-perbedaan antara hukum dan norma-norma sesial lainnya yang bersifat memaksa. Menurutnya perbedaan itu adalah nisbi dan lebih kecil dari apa yang biasanya dinyatakan, karena sifat memaksa yang pokok di dalam hukum tidak berbeda dengan norma-norma sosial lainnya, adalah paksaan sosial bukan kekuasaan negara. Kepatuhan suku dan keluarga pada agama memberikan alasan-alasan untuk mentaati norma-norma sosial, termasuk sebagian besar norma-norma hukum.

Banyak norma-norma hukum yang tidak pernah diungkapkan dalam ketentuan-ketentuan hukum, bahkan juga dalam sistem-sistem yang berkembang. Denga kata lain hukum jauh lebih luas daripada peraturan-peraturan hukum. Negara hanya satu dari banyak asosiasi-asosiasi hukum, asosiasi lain seperti keluarga, gereja, atau badan korporasi dengan atau tanpa kepribadian hukum.

Dilain pihak ada norma-norma hukum tertentu yang khas, yang bersifat memaksa seperti hukuman atau pelaksanaan keputusan-keputusan perdata. Cara-cara paksaan yang khas ini dikembangkan oleh negara pertama untuk menjamin tujuan-tujuan pokok sejak semula, untuk menyusun organisasi militer, perpajakan dan administrasi kepolisian.

Negara sebagai sumber hukum yang pokok, bagi Ehrlich secara historis adalah perkembangan jauh kebelakang, dan negara bagi dia selamanya adalah alat masyarakat.
Pada dasarnya norma hukum selalu diambil dari fakta-fakta sosial yang ada dalam keyakinan asosiasi rakyat. Perlindungan oleh negara dengan alat-alat paksaan yang khusus adalah tidak perlu, juga kalau perlindungan itu diberikan. Badan yang sebenarnya dari ketentuan – ketentuan hukum selalu didasarkan atas “fakta-fakta hukum” sosial (Tatsachen des Rechts).

Fakta-fakta hukum yang mendasari semua hukum adalah kebiasaan, dominasi, pemilikian, dan pernyataan kemauan. Keempat faktor dari masing-masing melaksanakan hubungan-hubungan hukum, atau melakukan pengawasan, menghalanginya atau tidak memberlakukannya, atau melekat pada akibat-akibat hukum baginya daripada yang langsung mengikutinya. Dalam seluruh badan norma-norma hukum, hanya suatu kelompok tertentu yang disebut norma-norma keputusan (Entscheindungsnormen), yang dibuat dan tergantung pada negara.

Norma-norma keputusan ini merupakan bagian yang penting dari hukum resmi. Tetapi apakah norma-norma itu berkembang menjadi norma hukum fundamental (Rechtssatz) tergantung dari luasnya yang dibentuk oleh yurisprudensi pengadilan, administrasi, legislatif atau ilmiah, dan berhasil menjadikannya sebagai bagian hukum yang hidup.

Sedangkan para realis Amerika menempatkan keputusan pengadilan pada pusat hukum seperti fungsinya dalam kehidupan, Ehrlich menguranginya menjadi menjadi fungsi dengan bnyak batasan-batasan dalam hubungannya dengan keseluruhan hukum yang hidup dalam masyarakat. Karena proses pengadilan menunjukkan bahwa hukum adalah sebagai keadaan perang, bukan keadaan damai, dan hanya sebagian kecil dari hukum menemukan jalannya ke pengadilan.

Ehrlich melihat bahwa sukar untuk menarik garis batas yang tegas antara norma-norma hukum yang berbeda. Peraturan untuk menafsirkan merupakan hak para ahli hukum, hak-hak istimewa yang dioberikan oleh undang-undang adalah suatu hukum resmi. Tiap hukum dapat, tetapi tidak perlu menjadi hukum yang hidup.

Selain itu Ehrlich juga ingin menunjukkan bahwa jurisprudensi yang diselenggarakan oleh para ahli hukum adalah semata-mata suatu teknik yang bersifat relatif untuk mencapai tujuan praktis. Sementara itu jurisprudensi tidak mampu memahami apa-apa kecuali kulit yang paling luar dari kenyataan hukum yang efektif.

Kenyataan bahwa jurisprudensi dogmatis-normatif bukanlah suatu ilmu, melainkan suatu teknik yang dipakai untuk mencapai tujuan pengadilan yang bersifat sementara waktu. Seperti telah diketahui bahwa asas-asas yang bersumber pada logika hukum yang tidak berubah sesungguhnya hanyalah penyesuaian sejarah.

Ada tiga postulat logika hukum yang bersifat dogmatis-normatif yang ingin dibantah oleh Ehrlich : Pertama, keterikatan hakim pada dalil hukum abstrak yang ditetapkan terlebih dahulu merupakan hasil absorbsi yang sengaja dari hukum Romawi oleh sekelompok negara Eropa Daratan. Maka postulat ini tidak berlaku di negara Anglo Saxon.

Di bawah lembaga yang sama sekali baru dan dalam berbagai perkara yang harus di hadapi oleh hakim, postulat ini telah ditinggalkan. Kedua, postulat semua hukum tergantung pada negara hanya diterima mengingat kebutuhan negara monarki absolut, dan kemudian beralih ke dalam rezim republik. Ketiga, kesatuan monistik dari hukum merupakan suatu teknik yang menguntungkan sentralisasi yang berlebihan dari negara, suatu prosedur yang secara sadar bersifat khayal dan berdasarkan rasionalisme dedutif. Postulat ini bertentangan dengan kenyataan hukum yang hidup.

Ehrlich ingin keluar dari logika hukum semacam ini kemudian beralih pada sosiologi hukum yang bertugas untuk menyingkap simbolisme yang kasar dan untuk melukiskan peranannya yang sah dengan memperlihatkan asalnya.

Pada dasarnya hukum hukum bisa berupa hukum abstrak (rechtssatze) yang diselenggarakan oleh negara, di bawah peraturan konkret yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa diantara individu dan kelompok, yang pada umumnya diselenggarakan oleh hakim dan penasehat hukum. Ada pula hukum yang menguasai masyarakat sebagai suatu tata tertib perdamaian ke dalam. Hukum ini yang digunakan sebagai dasar untuk segala peraturan hukum dan karena jauh lebih obyektif daripada peraturan manapun, dan merupakan tata tertib hukum langsung dari masyarakat.

Telaah tata tertib ini merupakan tugas yang khas dari sosiologi hukum. dengan demikian tata tertib ini dibedakan dengan tegas dari jurisprudensi, bukan saja karena metodenya yang benar-benar obyektif berdasarkan pengamatan semata, tetapi juga karena sifat dan wujud persoalannya. Para ahli hukum lebih pada kajian dan sistematisasi lapisan pertama dari kenyataan hukum, yang merupakan permukaannya, sedangkan ahli sosiologi hukum pertolah dari lapisan yang paling bawahdari kenyataan hukum yaitu tata tertidb yang langsung dari masyarakat itu sendiri.

Dengan demikian sosiologi hukum dengan jelas menciptakan tesis bahwa pusat perkembangan hukum dalam zaman kita ini, sebagaimana halnya zaman yang lain, tidak harus dicari dalam undang-undang, jurisprudensi atau, dalam doktrin, lebih umum lagi dalam sistem peraturan manapun, melainkan dalam masyarakat itu sendiri.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Ehrlich membedakan antara hukum yang digunakan untuk menentukan keputusan-keputusan dan hukum sebagai peraturan tingkah lakuyang dipakai oleh anggota masyarakat dalam hubungannya satu sama lain. Dalam hubungan ini Ehrlich mengajukan konsep hukum yang hidup yang masih sering dipakai sampai sekarang. Hukum yang demikian itu tidak dapat ditemukan di dalam bahan-bahan hukum formal, melainkan diluarnya, di dalam masyarakat sendiri.

Untuk melihat hukum yang hidup, yang dipakai untuk menyelenggarakan proses-proses dalam masyarakat, orang tidak dapat hanya memandang kepada bahan-bahan dan dokumen-dokumen formal saja, melaikan perlu terjun sendiri ke dalam bidang kehidupan yang senyatannya. Untuk mempelajari hukum perkawinan, orang perlu terjun dalam kenyataan kehidupan perkawinan dan melihat bagaimana hukum perkawinan formal diterima di situ, dalam arti seberapa jauh diikuti, dibentuk, kembali, diabaikan dan ditambah-tambah.

Kekuatan pengaruh Ehrlich terletak pada kemampuannya untuk mendorong para ahli hukum mengabaikan cengkraman pemahaman hukum secara betul-betul abstrak, dan menarik perhatian mereka kepada problem-problem kehidupan sosial yang nyata.

Rujukan:

  • Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manulang, Pengantar ke Filsafat hukum (Jakarta: Kencana, 2008),
  • W. Friedmann, Teori dan Filsafat hukum; Idealisme Filosofis dan Problema keadilan, jilid II (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994),
  • Theo Huijibers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Kanisius, 2001)
  • Georges Gurvitch, Sosiologi Hukum (Jakarta: PT Bhatara Niaga Media, 1996),
  • Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Aditya Bhakti, 2006).