Macam-Macam Subjek Hukum Internasional

SUDUT HUKUM | Sebagaimana diketahui bahwa subyek hukum internasional meliputi:
  1. Negara;
  2. Organisasi Internasional;
  3. Palang Merah Internasional;
  4. Tahta Suci atau Vatikan;
  5. Organisasi Pembebasan atau Bangsa-Bangsa yang sedang memperjuangkan hak-haknya;
  6. Wilayah-wilayah Perwalian;
  7. Kaum Belligerensi;
  8. Individu.

Macam-Macam Subjek Hukum InternasionalDi antara beberapa subyek hukum internasional sebagaimana tersebut di atas, dalam pembahasan berikut materinya hanya dibatasi Negara sebagai subyek hukum internasional dan individu sebagai subyek hukum internasional. Negara sebagai salah satu subyek internasional dan merupakan subyek hukum utama dari hukum internasional. Negara sebagai subyek hukum internasional baik ditinjau secara historis maupun secara faktual. Secara historis, yang pertama-tama merupakan subyek hukum internasional pada awal mula lahir dan pertumbuhan hukum internasional adalah negara. Peranan negara sebagai subyek hukum internasional lama kelamaan juga semakin dominan oleh karena bagian terbesar dari hubungan-hubungan internasional yang dapat melahirkan prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum internasional dilakukan oleh negara-negara.



Unsur tradisional suatu Negara terdapat dalam Pasal 1 Montevidio (Pan American) Convention on Rights And Duties of State of 1933. Pasal Tersebut Berbunyi sebagai berikut: The State as person of international law should posses the following qualification :
  • A permanent population
  • A defined territory
  • A government; and
  • A capacity to enter into relations with other State.

Unsur-unsur diatas juga dikemukakan oleh Oppenheim Lauterpacht. Berikut adalah uraian beliau tentang masing-masing unsur tersebut :
  1. Harus ada rakyat. Yang dimaksud dengan rakyat yaitu sekumpulan manusia dari kedua jenis kelamin yang hidup bersama sehingga merupakan suatu masyarakat, meskipun mereka ini mungkin berasal dari keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan yang berlainan ataupun memiliki kulit yang berlainan. Syarat penting untuk unsur ini yaitu bahwa masyarakat ini harus terorganisasi dengan baik (organised population). Sebab sulit dibayangkan, suatu negara dengan pemerintahan yang terorganisasi dengan baik “hidup” berdampingan dengan masyarakat disorganised.
  2. Harus ada daerah, dimana rakyat tersebut menetap. Rakyat yang hidup berkeliaran dari suatu daerah ke daerah lain (a wandering people) bukan termasuk negara, tetapi tidak penting apakah daerah yang didiami secara tetap itu besar atau kecil, dapat juga hanya terdiri dari satu kota saja, sebagaimana halnya dengan negara kota. Tidak dipersoalkan pula apakah seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak.
  3. Harus ada pemerintah, yaitu seorang atau beberapa orang yang mewakili rakyat, dan memerintah menurut hukum negerinya. Suatu masyarakat yang anarchitis bukan termasuk negara. Dalam salah satu tulisnnya, Lauterpacht menyatakan bahwa adanya unsur ini, yaitu pemerintah, merupakan syarat utama untuk adanya suatu negara. Jika pemerintah tersebut ternyata kemudian secara hukum atau secara faktanya menjadi negara boneka atau negara satelit dari suatu negara lainnya, maka negara tersebut tidak dapat digolongkan sebagai negara.
  4. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain. Oppenheim- Lauterpacht menggunakan kalimat lain untuk unsur keempat ini, yaitu dengan menggunakan kalimat “pemerintah itu harus berdaulat” (sovereign). Yang dimaksud dengan pemerintah yang berdaulat yaitu kekuasaan yang tertinggi yang merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi. Kedaulatan dalam arti sempit berarti kemerdekaan sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar batas-batas negeri.

Di antara unsur- unsur negara tersebut sebenarnya unsur kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain kurang penting, karena negara mungkin dapat berdiri tanpa adanya kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain, sehingga disebut juga dengan unsur non phisik. Mengenai kemampuan mengadakan hubungan dengan negara lain ini ada kaitannya dengan pengakuan baik hukum nasional maupun internasional mengakui adanya kekuasaan dan kewenangan tersebut.

Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain dimaksudkan dalam pengertian yuridis, maksudnya karena hukumlah baik hukum nasional maupun hukum internasional mengakui adanya kekuasaan dan kewenangan tersebut. Sedangkan mengenai pernyataan yang berkenaan dengan kriteria atau ukuran tentang kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain, tidak ada ketentuan yang jelas dan pasti. Berkaitan dengan pengakuan “suatu negara diakui secara de jure sedangkan negara lain mengakuinya secara de facto, hanyalah pengecualian saja dan merupakan hal yang luar biasa”.

Menurut J.G. Starke, unsur atau persyaratan seperti yang disebut diatas adalah hal yang paling penting dari segi hukum internasional. Ciri-ciri diatas juga membedakan negara dengan unit-unit yang lebih kecil seperti anggota-anggota federasi atau protektorat-protektorat yang tidak menangani sendiri urusan luar negerinya dan tidak diakui oleh Negara-negara lain sebagai anggota masyarakat internasional yang mandiri. Bahkan hukum internasional itu sendiri boleh dikatakan bagian terbesar terdiri atas hubungan hukum antara negara dengan negara. Kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara menunjukkan bahwa suatu negara itu adalah merdeka atau tidak tunduk pada kekuasaan Negara lain. Tetapi hal ini tidak bisa diartikan bahwa kedaulatan itu tidak ada yang membatasi, atau sebagai tidak terbatas sama sekali. Pembatasannya sendiri adalah hukum, baik hukum nasional maupun hukum internasional.

Berdasarkan kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan ataupun kewenangan negara untuk mengatur masalah intern maupun eksternnya. Dengan kata lain, dari kedaulatannya itulah diturunkan atau lahir yurisdiksi negara. Dengan hak, kekuasaan dan kewenangan atau dengan yurisdiksi tersebut suatu negara dapat mengatur secara lebih rinci dan jelas masalah-masalah yang dihadapinya, sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan dari negara itu. Dalam pandangan hukum internasional, Negara juga mempunyai Hak dan Kewajiban. Hak dan kewajiban Negara terdapat dalam konvensi montevidio tahun 1933 tentang hak dan kewajiban Negara-negara oleh Negara-negara Amerika latin, serta dalam rancangan Deklarasi tentang hak dan kewajiban Negara-negara yang disusun oleh komisi hukum internasional PBB pada tanggal 1949. Rancangan tersebut dibuat agar dapat disahkan oleh majelis umum PBB.

Rujukan:

  • Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990,
  • Huala Adolf, Aspek Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1991,
  • Starke, J. G., Pengantar hukum Internasional I-edisi kesepuluh, Sinar Grafika Indonesia, Jakarta, 2008.