Peran Ulama dalam Pembahasan Qanun

SUDUT HUKUM | Para ulama yang berhimpun dalam wadah Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Aceh memiliki draf rancangan qanun tersendiri. Proses pembuatannya menurut Tgk Ismail Yakob adalah MPU membentuk tim pembuat rancangan qanun yang terdiri dari ulama dan cendekiawan kampus yang di ketuai oleh Prof Rusdi Ali Muhammad MA. Tahap awal adalah menyusun naskah akademik kemudian baru menyusun draf qanun dan dibahas secara mendalam. Setelah draf qanun itu dianggap sudah memenuhi syarat maka terlebih dahulu draf qanun tersebut ditandatangani oleh pimpinan MPU kemudian diserahkan kepada pemerintah sebagai bahan pertimbangan dan bahan masukan.

Bersamaan dengan itu pula draf qanun dalam versi yang lain seperti draf qanun yang dibuat oleh Perguruan Tinggi, draf qanun yang dibuat oleh LSM (lembaga Swadaya Masyarakat). Pemerintah mempelajari semua draf-draf qanun tersebut kemudian dibuat dalam satu versi dengan menerima masukan dari berbagai saran dan usul. Draf qanun itulah yang dikirim oleh pemerintah kepada DPRA untuk dibahas menjadi qanun.

Peran ulama dalam pembahasan qanun Dalam proses pembahasan qanun syariat Islam di DPRA bersama pemerintah, ulama tidak dilibat secara langsung. Menurut keterangan Abu Mustafa dan Tgk Fakhruddin, ulama tidak diberi kesempatan untuk membahas qanun-qanun syariat lebih lanjut bersama DPRA dan pemerintah. Sehingga ulama tidak dapat memberikan konstribusi pemikiran yang lebih dalam terhadap subtansi dan materi qanun. Meskipun demikian ulama setuju dengan qanun-qanun tersebut, yang penting menurut ulama adalah syariat Islam dapat dijalankan di Aceh. Seharusnya karena qanun-qanun tersebut berkenaan dengan syariat Islam, maka materi dan subtansi qanun seharusnya dibicarakan secara mendalam bersama ulama. Menurut Tgk. Jamaluddin, sesuai amanat UU no 44 tahun 1999 sebenarnya ulama memiliki peran untuk mendalami qanun-qanun syariat Islam, sehingga ada kesamaan visi dalam melihat isi dan subtansi qanun-qanun.

Menurut Tgk Jamaluddin, Ketua MPU Kab. Bireun, bahwa pemerintah Aceh, belum memberdayakan ulama sesuai amanat Undang-undang. Banyak hal sebenarnya ulama harus dilibatkan sehingga terjadi keseimbangan antara pisik material dengan nilai-nilai agama. Dengan demikian penanaman nilai-nilai agama dalam masyarakat dengan mudah dapat dilakukan, dan pewarisan syariat Islam kepada generasi dapat menjadi budaya masyarakat sehingga pelestariannya terjaga dan terjamin. Tgk. Jamaluddin juga mangakui ada kekurangan dipihak ulama dalam pelestarian nilai syariat dalam masyarakat.

Menurut Tgk. Amirullah Muhammadiyah dan Prof. Jamaluddin, bahwa pelestarian nilai-nilai syariat melalui aturan perundangan yang dibuat pemerintah akan lebih mudah terimplementasi ke dalam masyarakat dan pewarisannya akan terjaga bersamaan dengan pelaksanaan aturan perundangan tersebut. Karena pemilharaan aturan perundangan dilakukan oleh lembaga negara dan masyarakat bersamaan dengan itu pula penjagaan dan pelestaian terhadap syariat Islam akan terjaga.

Menurut Tgk. Ghazali Muhammad Syam dan Tgk. Abdullah Atibi, bahwa para ulama di MPU sering melakukan pembahasan tentang qanun-qanun syariat Islam. Pembahasan tersebut yang dilakukan ulama berkenaan dengan materi dan substansi syariat Islam yang berlandaskan al-Qur’an dan Hadis serta pendapat para ulama. Ulama telah mempersipkan bahan dan materi berkenaan dengan materi qanun syariat tersebut bila suatu waktu diminta oleh DPRA dan pemerintah, sekaligus ulama telah menyiapkan utusan yang memiliki kompetensi tentang itu. Menurut Tgk. Ismail Yakob, ulama telah mempersiapkan tim ahli untuk membekali materi qanun syariat apabila diminta oleh pemerintah dan DPRA dalam pembahasan dua arah tentang qanun syariat Islam.