Syarat dan Rukun Shalat Ied

SUDUT HUKUM | Di dalam menjalankan ibadah shalat ied, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi–sebagaimana menjalankan ibadah shalat lainnya. Secara garis besar para ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal memandang bahwa syarat-syarat shalat ied adalah sama persis seperti syarat shalat Jum’at, yakni harus mencapai bilangan tertentu, dilakukan oleh penduduk yang menetap dan ada ijin dari pemerintah.[1]
Menurut Imam Malik dan Syafi’i bahwa shalat ied (hari raya) tidak memerlukan syarat-syarat khusus. Semua orang, laki-laki atau perempuan boleh mengerjakan shalat ied dengan berjama’ah atau sendiri-sendiri. Ini mengikuti pernyataan Rasul, bahwa hari raya adalah hari makan-makan (pesta) dan bersenang-senang dengan keluarga. Bila Rasul sendiri memberikan keringanan seperti itu, maka kehadiran untuk mengikuti jama’ah shalat ied berarti hanya anjuran bukan wajib.[2]
Syarat dan Rukun Shalat Ied
Namun demikian, syarat-syarat shalat ied secara terperinci adalah sebagai berikut; pertama, shalat ied (baik Idul Fitri maupun Idul Adha) dilaksanakan setelah terbit matahari. Syarat ini adalah ittifaq (kesepakatan ulama). Hal ini diterangkan dalam atsar sahabat bahwa Nafi’ berkata perihal Ibnu Umar:

Bahwa dia (Ibnu Umar) berangkat menuju mushala pada hari raya Fitri apabila matahari telah terbit, kemudian ia bertakbir hingga tiba di mushala, lalu ia melanjutkan takbirnya hingga imam duduk (di atas mimbar). Jika imam telah duduk ia hentikan takbirnya”.[3]

Kedua, didirikan di tempat terbuka atau tanah lapang bila tidak ada halangan, semisal hujan dan lainnya menurut ittifaq mazhab empat. Namun menurut mazhab Syafi’i shalat ied lebih baik dilaksanakan di masjid, jika masjidnya besar dan dapat menampung jama’ah. Hadits Nabi;

Dari Abi Sa’id al-Khudri berkata bahwa Rasulullah SAW keluar pada hari Raya Fitri dan Adha ke Mushalla. (HR. Bukhari).[4]

Ketiga,dilaksanakan secara berjamaah. Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah bahwa berjama’ah adalah syarat sahnya shalat ied–sebagaimana shalat Jum’at. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa shalat ied secara berjama’ah adalah sunnah.[5]
Keempat, diakhiri dengan khutbah. Khutbah menurut pendapat Imam Syafi’i dan Maliki hukumnya adalah sunnah. Sedangkan Imam Hanafi dan Hambali menjadikan khutbah sebagai syarat sahnya shalat ied. Hadits Nabi;

Dari Abas r.a. berkata: “Saya menyaksikan fitri bersama Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar dan Usman r.a. Mereka menjalankan shalat sebelum khutbah, kemudian baru berkhutbah sesudahnya ”. (HR. an- Nasa’i).

Adapun rukun dalam shalat ied sama dengan rukun dalam shalat wajib lainnya, yaitu meliputi;
  1. Niat
  2. Berdiri bagi yang kuasa ketika shalat
  3. Takbiratul Ihram[6]
  4. Membaca surat Al-Fatihah
  5. Ruku’ dengan tuma’ninah
  6. I’tidal dengan tuma’ninah
  7. Sujud dengan tuma’ninah
  8. Duduk diantara sujud dengan tuma’ninah
  9. Duduk pada tahiyat akhir
  10. Membaca tahiyat
  11. Membaca shalawat
  12. Membaca salam pertama
  13. Tartib (berurutan)[7]



[1] Ach. Khudlori Soleh, Fiqh Kontekstual Perspektif Sufi Falsafi, Jakarta: PT. Pertja, 1998, hlm. 159.

[2] Ibid, hlm. 159.

[3] Syekh Muhammad Abid as-Sindi, Musnad asy-Syafi’i, terj. Bahrun Abu Bakar, “Musnad Syafi’i”, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000, hlm. 352

[4] Abi Abdillah Muhammad ibnu Isma’il Al-Bukhari, Op. cit., hlm. 289.

[5] Ach. Khudlori Soleh, Op. cit., hlm. 317.

[6] Menurut ulama Syafi’iyah, setelah takbiratul ihram ada yang disebut takbir tambahan pada raka’at pertama sebanyak tujuh kali. Sedangkan pada rakaat kedua sebanyak lima kali. Lain halnya dengan ulama Malikiyah dan Hanabilah yang menyatakan bahwa pada rakaat pertama disunahkan takbir sebanyak enm kali dan rakaat kedua lima kali. Ulama Hanafiyah sebanyak lima kali. Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Al-Adillatuh, Juz II, Beirut, Dar Al-Fiqr, 1989, hlm. 370.

[7] Ahmad Ibnu Husein Abi Suja’, Op. cit., hlm. 13-14.