Geneologi Pemikiran Sejarah Hasan Hanafi

SUDUT HUKUM | Geneologi pemikiran sejarah Hasan Hanafi dapat kita lacak tatkala ia berpendapat bahwa manusia menurut Socrates adalah ruh yang abadi tanpa sejarah. Sedangkan menurut Plato sejarah adalah sejarah ‘astury” dan menurut Aristoteles sejarah adalah alamiyah. Menurut Augustine sejarah adalah sejarah para malaikat di langit dan sejarah nabi-nabi.

Sejarah baru menjadi “sebuah kesadaran” ketika berada di Barat setelah masyarakat barat menghidupkan khazanah klasik pada abad ke-14 serta setelah terjadi reformasi agama pada abad ke-15. Setelah itu manusia menjadi pusat dari alam raya, hal ini ditandai dengan munculnya “humanisme”. Pada abad ke-18 inilah muncul filsafat sejarah yang menyatakan bahwa manusia pada asasnya telah sampai pada sebuah fase kematangan dan kesempurnaan, Manusia tidak membutuhkan intervensi di luar dia seperti Tuhan, Nabi dan sihir. Setelah itu filsafat sejarah mewujud dalam revolusi Perancis yang menjadi titik tolak dari lahirnya filsafat pencerahan Barat.
Giambattista Vico (1667-1744) adalah tokoh sejarah yang sangat berpengaruh dalam pemikiran sejarah Hasan Hanafi. Ia adalah pendiri filsafat sejarah sebelum filsafat sejarah ditemukan oleh Montesque, Rousseou, Kant dan Marx. Pemikiran sejarah Vico tertuang dalam karyanya tentang ilmu baru (New Science). Pemikirannya tersebut tertuang dalam bukunya yang berjudul “Principle of New Science of Giambattista Vico Concerning The Common Nature of The Nations”.
Ilmu baru yang menjadi icon intelektual Vico mempunyai sebuah pemahaman bahwa ilmu ini berusaha menyingkap hukum-hukum alam terhadap perkembangan suatu bangsa dengan mempelajari “thabi’ah” atau karakter yang menyertai masyarakat tersebut yang terdapat dalam aturan-aturan sosial, institusi agama dan institusi sekuler dalam sebuah masyarakat dan bahwa “hukum” yang umum adalah bersifat universal dan serba meliputi sehingga semua masyarakat terakomodir di dalamnya. Dalam hal ini Vico,-menurut Hasan Hanafi- hendak membangun sebuah ilmu kemasayarakatan dan ilmu humaniora (‘ilman li al thabi’ah al insaniyah wa lil ‘alam al insany).
Dalam konteks hukum, Vico berpendapat bahwa ada dua hukum yang harus dibedakan, yaitu hukum sipil (al qanun al madany) dan hukum kemasyarakatan (al qanun li al sya’by). Hukum sipil adalah berbeda di setiap tempat, daerah dan bangsa sesuai sistem politik yang ada dalam suatu. masyarakat adapun hokum kemasyarakatan adalah hukum yang umum dan universal yang merupakan ungkapan dari seluruh masyarakat. Hukum sipil ini biasa disebut sebagai hukum adat dan hukum yang kedua merupakan kehendak si pembuat hukum. Prinsip hukum dalam perspektif sejarah ini dipengaruhi oleh pendapatnya tentang evolusi perkembangan masyarakat. Menurut Vico,sejarah manusia merupakan evolusi dari sejarah Tuhan, sejarah para Nabi dan sejarah manusia itu sendiri.
Menurut Hasan Hanafi, tujuan dari studi historis bukan hanya untuk mengetahui kejadian-kejadian masa lalu sebagaimana terjadi dalam historisisme dan reduksionisme historis, juga bukan hanya dalam rangka mengungkap kejadiankejadian dalam lintasan sejarah. Namun sejarah bermakna sebuah tujuan,sebuah kesadaran kolektif yang berawal dari sebuah kesadaran individual. Dengan demikian sejarah menghendaki sebuah kesadaran beserta asas-asasnya. Bukan hanya sebuah penggambaran terhadap masa lalu, namun sebuah spirit dan ruh sejarah. Tujuan dari studi sejarah adalah dalam rangka “menumbuhkan kesadaran terhadap sejarah”.
Dalam rangka ini, tambahnya ada dua metode memahami sejarah sebagai studi. Pertama adalah membaca masa sekarang dengan masa lalu. Hal ini berarti menjadikan sebuah “proses yang hidup” sebagai prinsip untuk memahami nash-nash yang historis.Kedua, membaca masa lalu dari masa sekarang. Artinya menyingkap pembuktian -pembuktian historis pada masa sekarang.
Menurut Hasan Hanafi, sekarang ini umat Islam kehilangan sebuah “kesadaran terhadap sejarah”. Yang berujung pada tiga pertanyaan. Pertama, apakah kesadaran kesejarahan telah hilang dalam emosi kita ?, sedangkan kita adalah makhluk historis. ?Kedua, Mengapa kesadaran kesejarahan hilang dalam tradisi klasik kita ? .Dan apakah hilangnya kesadaran tersebut dikarenakan tidak adanya kesadaran kesejarahan pada masa sekarang ?. Ketiga, Mengapa dalam Islam tidak ada filsafat sejarah yang memberi gambaran pemahaman tentang kemajuan dan fase-fase sejarah serta lebih memberi prioritas kepada masa depan dari pada masa lalu ?.Dalam rangka menjawab terhadap pertanyaan yang kedua, barangkali merupakan jawaban atas pertanyaan yang pertama. Karena masa sekarang merupakan akumulasi dari masa lalu. Dan apakah telah hilang kesadaran kesejarahan dalam tradisi klasik kita ? mengapa ?.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa hilangnya kesadaran kesejarahan kita saat ini, menurut Hasan Hanafi, disebabkan karena hilangnya kesadaran kesejarahan dalam tradisi klasik kita. Oleh karena itu usaha menemukan kembali kesadaran kesejarahan dalam tradisi klasik kita merupakan hal yang penting untuk melakukan pembangunan terhadap kesadaran kesejarahan masyarakat muslim saat ini.
Hasan Hanafi kembali menegaskan bahwa sebab utama dari hilangnya kesadaran kesejarahan yaitu hilangnya emosi dan perspektif sejarah dalam artian sebagai konsep “kemajuan”. Dalam tradisi klasik para sejarawan muslim telah membatasi sejarah dalam artian sebagai masa atau tingkatan-tingkatan (thabaqat) baik yang disandarkan kepada riwayat atau sifat hadis. Pada hal masa adalah rentang waktu yang tidak dibatasi dengan berlangsungnya sebuah kesadaran sejarah. Demikian juga thabaqat adalah rentang dari generasi yang tidak dibatasi dengan akumulasi sejarah sebuah generasi, ia juga tidak mengintegrasikan sebuah kesadaran sejarah di dalamnya .
Pemikiran historis Hasan Hanafi direpresentasikan oleh dua hal yang sangat berkaitan dan berhubungan antara satu dengan yang lain, yaitu “sejarah” dan “manusia”. Dua entitas ini menjadi faktor yang berpengaruh dalam membentuk pemikiran historis Hasan Hanafi. Hal ini memang tidak bisa diragukan lagi bahwa menafikan peran sejarah sangat berkaitan dan mempunyai korelasi yang erat dengan penafian terhadap peran manusia. Karena kedua hal ini sangat berhubungan antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi eksistensi antara keduanya .
Dalam konteks ini Hasan Hanafi berkata bahwa sejarah tidaklah berkembang dalam peradaban Tuhan namun berkembang dalam peradaban manusia. Dengan demikian adanya penanggulangan terhadap krisis kemanusiaan sesungguhnya berkorelasi erat dengan adanya penanggulangan terhadap krisis sejarah.
Sesungguhnya dalam ilmu-ilmu Islam klasik telah mewujud sebuah tampilan sejarah, namun belum mampu memberi kontribusi terhadap kesadaran sejarah umat Islam, dalam artian sebagai sebuah kemajuan (perkembangan). Dalam ilmu aqa’id misalnya dalam hal konsep imamah, sejarah telah mengalami distorsi dari konsep kenabian (nubuwah) menjadi khilafah dan akhirnya menjadi kerajaan.Dari kelompok yang benar menjadi kelompok yang sesat serta dari persatuan menjadi perpecahan. Dalam Ilmu tasawuf terlihat disana sebuah sejarah dalam konsep Isra’ Mi’raj. Jalan sufi sebenarnya muncul dari atas namun kemudian mengalami pembalikan, sufi menjadi proses dari bawah (manusia) ke atas (Tuhan). Demikian juga dalam konsep Ilmu Hikmah.
Sedangkan dalam Ilmu Ushul Fiqh, menurut Hasan Hanafi sejarah mewujud dalam konsep syar’ man qab lana sebagai salah satu sumber hukum Islam dan dalam konsep al bara’ah al ashliyah. Kemudian terjadi perkembangan sejarah dari nash menjadi ijtihad manusia. Dari al Qur’an dan Sunah menjadi Ijma’ dan Qiyas.
Demikian juga terlihat sejarah dalam dilalah nasikh mansukh dan dalam proses perkembangan tasyri’ dan dalam Ijma’ suatu masa yang tidak harus diikuti oleh generasi pada masa sesudahnya. Namun sayang, bersamaan dengan proses ini kesadaran kesejarahan tertutup dan ternaungi oleh suatu pentasyri’an yuridis yang tekstual dan istinbaty .

Rujukan:

Hasan Hanafi, Dirasat Falsafiyah, Kairo: Maktabah Anglo Mishriyah, 1988,
Hasan Hanafi. Al Din wa al Saqafah wa al Siyasah fi al wathan al ‘araby , kairo: Dar al Quba’ li al thib’ah wa al Nasyr wa al tauzi’, tt.
Ali Mabruk, al Turas wa al Tajdid : Mulahazat Awwaliyah. dalam “ Jadal al Ana wa al Akhar: Qira’at Naqdiyah fi Fikr Hasan Hanafi ”, Ahmad Abdul Halim ‘Ithyah (Ed) , Kairo: Maktabah Madbuly Shaghir, Cet I, 1997.