Harta dalam Pandangan Imam Ghazali

SUDUT HUKUM | Dalam surat Al-Baqarah 180, harta (al-mal) disebut dengan khair yang secara harfiah berarti baik atau kebaikan. Di ayat lain harta dinamakan fadhl, yaitu anugerah dan keutamaan dari Allah. ‘‘Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.’‘ (Al-Jumu’ah: 10).

Jadi, harta pada dirinya sendiri merupakan sesuatu yang baik. Ia dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperbanyak ibadah dan amal saleh. Dalam Mizan al-‘Amal, Imam Ghazali mengakui keutamaan harta itu.

Dikatakan, orang yang mencari kebaikan tanpa harta ibarat orang pergi ke hutan tanpa membawa senjata atau ibarat burung elang tak bersayap. Orang miskin, kata Ghazali, menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk mencari sesuap nasi. Karena melarat, ia pun tak dapat pergi haji, memberi sedekah, mengeluarkan zakat, dan memperbanyak kebajikan.

Sungguh pun demikian, dalam al-Arba’in fi Ushul al-Din, Ghazali mengingatkan agar kita mengenali kegunaan dan fungsi dari harta itu. Bagi Ghazali, harta tidak lebih dari sarana. Oleh karena itu, Ghazali menyarankan agar kita tidak rakus dan berlebihan, tetapi mengambil secukupnya. Menurut Ghazali, siapa berbuat demikian, ia selamat.

Harta dalam Pandangan Imam Ghazali


Tapi, jika tidak, ia berpeluang terjatuh ke dalam tiga kehancuran berikut ini. Pertama, ia dapat terjerumus pada dosa-dosa. Sebab, dengan kekayaannya ia dapat melakukan apa saja. Ia dipastikan sulit mengendalikan diri. Perlu diingat, ujian dengan kesenangan itu lebih berat daripada ujian dengan kesusahan. Dalam keadaan lapang dan berlimpah uang, seseorang sulit dapat bersabar dan mengendalikan diri.

Kedua, ia cenderung untuk bersenang-senang dan berfoya-foya. Pola hidup seperti ini membuat dia ingin tetap kaya. Untuk mempertahankan kekayaannya, berbagai cara dapat ia lakukan. Tak soal cara-cara itu melawan hukum dan melanggar norma-norma agama, seperti mencuri, menipu, korupsi, dan mengeksploitasi rakyat kecil.

Dari sini dapat lahir berbagai kejahatan yang lain. Dalam konteks inilah Rasulullah SAW bersabda, Cinta dunia adalah pangkal segala keburukan.” Ketiga, ia cenderung lupa mengingat Tuhan. Perhatiannya yang besar pada harta dan kekayaan membuat ia lupa dan tidak punya waktu untuk mengingat Allah. Seluruh perhatiannya dihabiskan untuk proyek pengumpulan uang. Mula-mula ia berpikir bagaimana mendapatkannya, lalu menjaga dan menyimpannya, dan terakhir bagaimana membelanjakannya. Inilah makna firman Allah, ”Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.” (Al-Takatsur: 1).

Para sufi, kata Ghazali, sedikit membuat jarak dan mengambil harta sekadarnya, bukan karena mereka memandang harta itu tidak baik (buruk). Dalam pandangan mereka, harta dan kekayaan sebagai anugerah Tuhan tetap baik dan utama. Mereka hanya khawatir kalau-kalau harta itu menghambat dan membelokkan perhatian mereka dalam perjalanan menuju Allah. Jadi, agar harta tetap bernilai baik, ia tidak boleh dijadikan sebagai tujuan dalam hidup. Ia harus diposisikan sebagai sarana dalam mencari dan menggapai ridha Allah. Wallahu a’lam.
Sumber: Republika Online