Hukum Mewakilkan Talak Menurut Pendapat Ibn Hazm

SUDUT HUKUM | Islam memberikan hak talak kepada laki-laki, banyaknya tugas yang dibebankan pada laki-laki, seperti memberi nafkah kepada isterinya dan mencukupi kebutuhan rumah tangga itu. Laki-laki itulah yang tadinya membayar mahar serta segala kebutuhan dalam upacara perkawinan mereka. Maka wajarlah kalau suami berhak mengakhiri kehidupan rumah tangga, kalau memang dia bersedia menanggung kerugian materi dan moral yang akan timbul dari keinginannya menjatuhkan talak itu.

Biasanya laki-laki lebih sanggup mengendalikan emosinya, lebih mampu untuk memikirkan akibat-akibat yang akan timbul di saat-saat ia marah. Laki-laki tidak begitu saja menjatuhkan talak, kecuali kalau sudah betul-betul merasa putus asa dari kemungkinan menciptakan kebahagiaan bersama isterinya dalam keluarga.

Imam Illaudin al-Kasani berpendapat bahwa talak adalah hak yang ditetapkan berada di tangan laki-laki, laki-laki lebih sempurna akalnya dalam menghadapi masalah yang timbul dalam rumah tangga dan lebih sabar dalam menghadapi perangai isterinya.

Hukum Mewakilkan Talak Menurut Pendapat Ibn Hazm


Seperti yang telah dijelaskan, bahwa talak merupakan hak laki-laki, karena itu ia berhak mentalak sendiri isterinya, atau menyerahkannya kepada isterinya atau menguasakannya kepada orang lain untuk menjatuhkan talaknya tanpa mengurangi haknya untuk itu.

Sebagaimana kaidah umum:
من ملك تصرفا يملك أن ينيب غيره فيه

Setiap orang memiliki tasharuf dari beberapa tasharuf ia dapat melakukannya sendiri atau menggantikannya kepada orang lain”.


Dalam mempercayakan orang lain ada dua jalan yang bisa dilalui oleh suami, yaitu lembaga taukil (perwakilan) dimana suami mewakilkan orang lain untuk menjatuhkan talaknya atau melalui lembaga tafwidh.

Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunah membedakan antara keduanya, yaitu talak tafwidh adalah penyerahan yang dilakukan suami kepada isterinya sendiri bukan kepada orang lain, sedangkan talak taukil ialah hak talak yang dikuasakan kepada orang lain yang mana penguasaan itu tidak dapat menggugurkan hak suami dan merintanginya untuk ia gunakan sewaktu-waktu dikehendakinya.

Ulama Jumhur sepakat bahwa mewakilkan talak adalah boleh. Seperti ashabul qiyas dengan persangkaan dan penglihatan mereka bahwa setiap orang itu mengetahui bahwa talak itu adalah suatu ucapan baik itu berupa ucapan talak dhihar, lian dan ila’, dan mereka tidak berselisih pendapat pada masalah tidak diperbolehkannya mengucapkan dhihar pada seseorang, tidak juga ila’ dan tidak juga menjadikan seseorang wali atas orang lain, tidak pada wakil dan tidak pada yang lainnya.

Sedangkan ulama Dhahiriyah sebaliknya yaitu tidak membolehkan perwakilan dalam talak maupun penyerahan hak atas talak (takwidh ath thalaq). Seperti halnya ulama dhahiriyah, Ibn Hazm juga menilai bahwa perwakilan dalam talak tidak boleh dan tidak sah.

Beliau berpendapat bahwa talak yang diwakilkan tidak diperbolehkan dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi dan ini dihukumi batal, berdasarkan firman Allah:

Katakanlah: Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sandiri, dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”(Q.S. al-An’am : 164)


Hal tersebut diungkapkan dalam kitab beliau “al-Muhalla”, sebagai berikut :
ولا تجوزالوآالة فى الطلاق لان الله عزوجل يقو ل : (ولا تكسب آل نفس الا عليها) فلا يجوز عمل احد عن احد الا حيث اجا زه القرأن اوا لسنة الثا بتة عن رسول الله ص.م. ولا يجوز آلام احد عن آلام غيره الا حيث اجازه القران اوسنة عن رسول الله ص.م.
ولم يأن فى طلا ق احد بتو آيله اياه قران ولا سنة فهو با طل

Tidak diperbolehkan mewakilkan seseorang pada masalah talak. Hal ini didasarkan pada firman Allah : ولا تكسب آل نفس الا عليها maka tidak diperbolehkan seseorang melakukannya pada orang lain terkecuali al-Qur’an/sunnah Rasulullah membolehkan juga mewakilkan perkataan seseorang kepada orang lain kecuali al-Qur’an dan sunnah memperbolehkannya dan tidak juga pada masalah talak seseorang pada orang lain dengan cara diwakilkan dan tidak diperbolehkan oleh al-Qur’an dan sunnah dan ini dihukumi batal”.


Ibn Hazm berpendapat demikian berdasarkan bahwa mewakilkan talak pada orang lain itu tidak boleh, karena hal ini mempunyai arti pemberian hak milik. Sedang menurut hukum syara’ hak talak itu berada di pihak laki-laki (suami). Oleh sebab itu tidak bisa seseorang merubah hukum Allah, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan kepada berlakunya perlakuan dalam masalah talak, dan walaupun hak talak ini merupakan hak pribadi tetapi apabila diwakilkan kepada orang lain, maka berarti telah melanggar ketentuan Allah karena telah melampaui had-Nya, beliau menyandarkan pendapatnya ini pada keumuman firman Allah :

Dan barang siapa yang melanggar ketentuan Allah maka ia termasuk orang yang dhalim.” (Q.S. al-Baqarah: 229)


Ibn Hazm juga menyandarkan pendapatkan berdasarkan firman Allah:

Dan tidak bagi mu’min ( laki-laki ) dan mu’min (perempuan) ketika Allah dan Rasul-Nya memutuskan suatu perkara maka bagi mereka ( laki-laki dan perempuan mu’min ) mempunyai pilihan bagi pemecahan masalah mereka.” (Q.S. al-Ahzab: 36)


Maka tidak ada pilihan bagi seseorang ketika ada perbedaan di dalam penafsiran nash dan kita tidak mengetahui diperbolehkannya mewakilkan seseorang ketika akan melakukan talak. Hal ini menurut ulama mutaqadimin bahwa mewakilkan talak tidak diperbolehkan kecuali Ibrahim dan Hasan.

Metode Istinbath Hukum Ibn Hazm tentang Mewakilkan Talak
Dalam beristinbath hukum Ibn Hazm menggunakan empat sumber yaitu : al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw, ijma’ dan dalil-dalil yang tidak keluar dari nash itu sendiri. Namun dalam permasalahan mewakilkan talak tidak ditemukan nash ataupun sunnah yang secara sharih menerangkan tentang boleh atau tidaknya mewakilkan talak.

Maka Ibn Hazm yang terkenal dengan ulama pendukung dzahiri yang tekstual dalam memutuskan hukum berpendapat tidak membolehkan mewakilkan talak.

Dalam memandang masalah mewakilkan talak Ibn Hazm tidak terlepas dari metode istinbath yang telah digariskan sendiri, yaitu ada dalam al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah SWT:

Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri”. (QS. Al-An’am : 164)


Dan juga ayat:

Dan barang siapa yang melanggar ketentuan Allah maka termasuk orang-orang yang dhalim”. (Q.S. al-Baqarah: 229)


Ibn Hazm menetapkan bahwasanya al-Qur’an adalah kalam Allah semuanya itu jelas dan nyata bagi umat ini, maka barang siapa berhendak mengetahui syariat-syariat Allah dia akan menemukannya terang dan nyata diterangkan oleh al-Qur’an sendiri.

Ibn Hazm mengambil zahir maka segala lafal al-Qur’an dipahami zahirnya. Berdasar pada keterangan ini maka al-Qur’an dari segi bayannya terbagi tiga bagian:
  • Jelas dengan sendirinya, tidak memerlukan baying-bayangnya lagi baik dari al-Qur’an sendiri ataupun as-Sunnah.
  • Mujmal, yang penjelasannya diterangkan oleh al-Qur’an itu sendiri.
  • Mujmal, yang penjelasannya diterangkan oleh as-Sunnah.



Ringkasnya pokok penjelasan bagi ayat al-Qur’an adakalanya terdapat dalam al-Qur’an sendiri, adakalanya terdapat dalam as-sunnah adakalanya terdapat dalam ijma’ yang bersendikan pada sunnah. Hanya saja daya menanggapinyalah yang berbeda-beda. Ada ayat yang jelas bagi semua manusia dan ada yang masing-masing manusia menanggapi menurut kekuatan fahamnya.

Seperti dalam ayat yang digunakan sebagai dasar ketidak bolehan dalam mewakilkan talak merupakan dalalah ‘am, karena ayat tersebut menerangkan secara umum ketentuan bagi orang yang merubah hukum Allah. Ibn Hazm mengatakan bahwa dalalah ‘am adalah qath’iyyah sedangkan Asyafi’i mengatakan dalalah ‘am adalah dzani.

Ibn Hazm berpendapat bahwa ra’yu sama sekali tidak boleh dipakai dalam menetapkan hukum agama, maka dia menutup pintu istinbath dengan jalan qiyas, istihsan, masalahah mursalah, saddud
dzara’i, dan menyumbat usaha mencari illat-illat hukum daripada nash. Dia hanya menggunakan nash secara zahir. Asas Ibn hazm dalam menolak segala sumber tasyri’ yang lain dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ ialah menolak ar-ra’yu.

Di dalam menolak ar-Ra’yu Ibn Hazm berkata :
لايحل لأحد الحكم بالرأي

Tidak halal bagi seseorang menetapkan hukum dengan dasar ijtihad saja”.


Dari uraian tersebut Ibn Hazm melarang adanya mewakilkan talak karena tidak adanya nash yang membolehkan dan melarang mewakilkan talak. Maka Ibn Hazm menggunakan metode istinbath hukum al-Qur’an secara zahir Karena lafal umum harus diambil umumnya, sebab itulah yang zahir, terkecuali ada keterangan bahwa yang dimaksudkan adalah bukan yang zahir.

Jadi metode istinbath hukum yang digunakan sebagai dasar ketidak bolehan mewakilkan talak adalah mengambil makna zahir dari al-Qur’an, tidak melihat illat dan tidak mentakwilkan hukum.

Rujukan:

  • Illauddin al-Kasani, Al-Bada’i, Juz III, Dar al-Fikr, t.th.
  • Muhammad Ibrahim al-Hafnawi, Al-Mansu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah al- Thalaq, t.th.
  • Ahmad al-Ghundur, Al-Talak fi Syar’iyah al-Islam wa al-Qanun bi has Muqaran, Juz I, Indonesia: Daar al-Ma’arif bi Makr, 1967,
  • Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989,
  • Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz X, Dar al-Fikr, t.th.
  • Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, Dar al-Fath lil I’lami al-Arabi, 1990,