Mashlahah sebagai Tujuan Akhir Maqâsid Al-Syari’ah

SUDUT HUKUM | Ide sentral dan sekaligus tujuan akhir dari maqâsid al-syari’ah adalah mashlahah. Secara etimologi, mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi mashlahah yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam al-Ghazali, mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.”


Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.

Mashlahah sebagai Tujuan Akhir Maqâsid Al-Syari’ahMisalnya, di zaman jahiliyah para wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang menurut mereka hal tersebut mengandung kemaslahatan, sesuai dengan adat istiadat mereka, tetapi pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara’; karenanya tidak dinamakan mashlahah. Oleh sebab itu, menurut Imam al- Ghazali, yang dijadikan patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.

Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, lanjut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ di atas, maka dinamakan mashlahah. Di samping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan mashlahah.

Dalam kaitan dengan ini, Imam al-Syathibi, mengatakan bahwa kemaslahatan tersebut tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat, karena kedua kemaslahatan tersebut apabila bertujuan untuk memelihara kelima tujuan syara’ di atas termasuk ke dalam konsep mashlahat. Dengan demikian, menurut al-Syathibi, kemaslahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah harus bertujuan untuk kemaslahatan di akhirat.

Rujukan:

Husain Hamid Hasan, Nazhariyyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Muqarin, Beirut: Dar al- Ma’arif, 1971,
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa fi „Ilm al-Ushul, Jilid I, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1983, hlm. 286.
Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Ekonomi Islam Perspektif Maqâsid alsyari‟ ah, Jakarta: Kencana, 2014.